Taufan: Nama Yang Engkau Sebut (2/3)

1.4K 124 5
                                    

Sesak.

Taufan merasakan ketakutan yang amat sangat, melumpuhkannya. Ia nyaris tak bisa bernapas. Kegelapan mengelilinginya. Sampai dia sadar bahwa kedua matanya tengah terpejam. Terasa begitu berat, tetapi dipaksakannya membuka mata.

Sosok berpenampilan serba merah-hitam itu ada di sana. Begitu dekat di hadapannya. Sepasang iris merah delima menatapnya dengan pandangan yang seolah membekukan. Sementara, tangan kanan sosok yang sangat dikenal Taufan itu terulur ke arahnya. Ke lehernya.

Halilintar.

Halilintar sedang mencekiknya.

Eh?

Tunggu ... Kenapa sosok Halilintar begitu kecil? Dan Taufan juga baru menyadari bahwa dirinya pun sama. Dia seperti terperangkap di dalam tubuhnya sendiri yang masih berusia sebelas tahun.

Ah ... Begitu rupanya. Ini mimpi. Setelah sekian lama, Taufan melihat mimpi ini lagi. Refleksi dari masa lalu yang paling membekas di dalam ingatannya, dengan cara yang sangat tidak menyenangkan. Kenangan buruk yang ingin dilupakannya, tetapi tidak pernah bisa.

"Hali ... ingatlah aku ..."

Taufan mendengar suara kanak-kanak itu terucap lirih dari bibirnya sendiri. Bergetar, seperti seluruh tubuhnya. Tentu saja. Inilah alasan rasa takut yang menderanya sejak tadi. Padahal Halilintar tidak benar-benar mencekiknya. Cengkeraman di leher itu hanya lemah. Yang membuat Taufan merasa sesak adalah ketakutannya sendiri. Karena ia tahu apa yang akan terjadi setelah ini.

Serangan petir merah menyetrumnya tanpa ampun!

Seperti yang sudah-sudah, Taufan hanya bisa berteriak kesakitan. Sungguhpun ini hanya mimpi. Rasa sakit itu seolah nyata, persis seperti yang dirasakannya lima tahun silam. Entah sudah berapa kali Taufan harus mengulangi kejadian ini di dalam tidurnya. Dia sudah tidak menghitungnya lagi. Terlalu sering.

Sakit.

Sesak.

Kalau boleh memohon sesuatu, Taufan ingin siksaan ini dihentikan sekarang juga. Sudah cukup. Dia tidak ingin mengingatnya lagi.

Dia tidak ingin membenci Halilintar.

Seolah mengabulkan jeritan hati Taufan, dunia mimpi itu perlahan runtuh. Kegelapan kembali merayap mendekat. Menelan semua warna. Menelan sosok Halilintar, bahkan juga Taufan.

Menelan segalanya.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Aaargh—!"

Taufan mendapati dirinya terduduk di atas ranjang, di dalam kamarnya sendiri. Tersengal-sengal, gemetar, dengan tubuh basah oleh keringat. Butuh setengah menit penuh sampai pemuda itu mulai tenang. Cukup tenang untuk menyadari sesuatu yang aneh.

Layaknya Cahaya KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang