Halilintar: Layaknya Cahaya Kecil (2/3)

2.1K 132 38
                                    

Dug!

"Uukh ... Hh ... hh ... hh ..."

Halilintar baru saja terhempas ke sebatang pohon, setelah menahan serangan dengan pedangnya. Segera, tubuhnya merosot turun, hingga terduduk bersandar. Dengan napas berat, ia mencoba bangkit kembali. Namun, percuma.

Ah ... Pedangnya patah lagi.

Sepasang iris merah delima menatap senjata andalannya yang sudah tak berbentuk. Bukan cuma patah, benda itu sudah jadi berkeping-keping. Teronggok tak berguna di tanah.

Sama seperti pemiliknya.

Halilintar menggeretakkan rahang. Menggunakan kedua tangan sebagai tumpuan, pemuda itu berusaha bangkit. Dengan sedikit usaha ekstra, akhirnya ia mampu berdiri, walau tidak tegak. Lantas maju selangkah.

"... Pedang ... Halilintar ..."

Alih-alih sepasang seperti yang diniatkan, hanya sebilah pedang yang tercipta di tangan kanan Halilintar. Digenggamnya senjata itu erat, sembari menguatkan tekad.

"Gerakan Ki—"

Seruan itu terhenti. Seluruh gerakan Halilintar juga terhenti. Tubuhnya mendadak limbung, lalu roboh ke tanah. Tertelungkup. Sementara, pedangnya terjatuh sampai beberapa jengkal di depan.

Saat itulah, mata Halilintar menangkap Jam Kuasa di tangan kanannya yang bermaksud meraih pedang. Sontak, ia teringat benda itu juga bisa digunakan sebagai alat komunikasi. Lantas ia merutuki kebodohannya sendiri, kenapa tidak terpikir untuk meminta bantuan?

"Gempa ..."

Halilintar mencoba menghubungi adik bungsunya. Namun, hanya terlihat garis-garis statis. Sama sekali tak bisa terhubung.

"Apa ... Kenapa ...?" pemuda itu menggeretakkan rahang. Akhirnya ia menyerah setelah beberapa kali mencoba tanpa hasil. Satu harapan kecil kembali padam.

Lagi, Halilintar mencoba memaksakan tubuhnya yang letih untuk bergerak. Akan tetapi, kali ini benar-benar tidak bisa. Ia hanya mampu mengangkat kepala sedikit. Saat itulah, matanya malah menangkap sosok Mukalakus yang mulai mengabaikannya. Kemudian, beralih ke arah lain.

Halilintar tersentak. Robot hijau itu mulai berjalan perlahan ke satu haluan yang pasti. Ke tempat Taufan!

"Uukh ... Tidak ... Jangan ..."

Berusaha keras untuk bangkit kembali, Halilintar harus menerima kenyataan bahwa tubuhnya sudah mencapai batas. Ketakutan mencengkeram hatinya, menyesakkan napasnya. Sekaligus menguatkan lagi tekadnya.

Gemetar, tangan kanannya menjangkau ke depan, meraih pedangnya. Begitu benda itu sudah ada di genggaman, Halilintar menolakkan tubuhnya ke atas. Terus, hingga ia mampu berdiri kembali. Dicobanya menarik napas dalam-dalam. Mengumpulkan kekuatan sekali lagi.

"Gerakan Kilat!"

Halilintar bergerak ke belakang Mukalakus. Arah yang berseberangan dengan posisi Taufan. Diperhatikannya, sejak beberapa menit belakangan, gerakan robot hijau itu seperti melambat. Mungkin saja, energinya juga sudah mulai menipis. Walau tak bisa menang, Halilintar mulai optimis dirinya mungkin masih bisa melakukan sesuatu. Paling tidak, dia bisa mencoba membuat Mukalakus kehabisan energi.

"Bola Kilat!"

Dari jarak sekian meter, Halilintar menciptakan bola petir merah di tangan kirinya yang bebas. Lantas dilemparkannya ke punggung Mukalakus. Robot itu berhenti berjalan, lalu menoleh lambat ke belakang.

"HEI! ROBOT JELEK!" Halilintar berteriak. Ditunggunya sampai Mukalakus berbalik ke arahnya. "SINI!"

Robot raksasa itu tiba-tiba memelesat cepat ke depan, sambil bersiap melepaskan tinju. Alih-alih melawan, Halilintar bergerak secepat kilat ke belakang. Mukalakus mengejar lagi, dan Halilintar tetap menghindar. Beberapa kali terus seperti itu.

Layaknya Cahaya KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang