Halilintar: Layaknya Cahaya Kecil (1/3)

2.1K 117 33
                                    

oO)-----------------♦-----------------(Oo

Aku tidak tahu lagi, apa yang sebenarnya kuinginkan. Aku selalu menyakiti adik-adikku. Mendorong mereka supaya menjauh. Terutama Taufan. Aku ... Aku takut ... Aku takut menyakitinya lagi. Seperti waktu dulu.

Banyak yang bilang, di antara kami bertiga, akulah yang terkuat. Apa benar begitu? Kenyataannya, aku tidak mampu melindungi Taufan dan Gempa. Aku tidak bisa melindungi siapa pun.

Aku ... tidak bisa melindungi apa pun ...

 oO)-----------------♦-----------------(Oo 



Aku benci padamu.

Halilintar selalu berpikir, ia ingin mencoba mengucapkannya kepada anak itu. Sekali saja. Dan dia benar-benar sudah melakukannya. Tak usah dicoba pun sebenarnya dia tahu, kata-katanya bukan cuma akan melukai anak itu, tetapi juga melukai hatinya sendiri. Paling tidak, sekarang dia sudah memastikannya.

Benar-benar sakit.

Setiap kali teringat wajah anak itu, Halilintar merasa dirinya benar-benar jahat. Wajah itu, mata itu, tampak begitu terluka. Benar juga. Saat makan malam kemarin, mereka sama sekali tidak bertegur sapa. Ketika Halilintar terbangun dini hari gara-gara mimpi buruk, hanya Gempa yang datang. Lalu pagi ini, waktu dirinya tumbang karena demam, anak itu juga tidak mendekat. Yah, walaupun samar-samar dilihatnya anak itu cepat-cepat pergi mengambilkan plester kompres, jelas sekali dia lebih menjaga jarak.

Dia pasti membenciku sekarang.

Halilintar mendengus sinis ketika pemikiran itu melintas di benaknya. Menertawakan diri sendiri. Padahal dialah yang sengaja membuat anak itu menjauh, dengan cara menyakitinya. Sekarang, saat anak itu sudah benar-benar menjauh, kenapa dirinya malah galau sendiri?

Kelakuan macam apa itu?

Tok. Tok. Tok.

Halilintar tersentak kecil ketika pintu kamarnya tiba-tiba diketuk. Refleks, ia menoleh ke jam dinding di atas meja belajar. Hampir setengah empat sore. Harusnya kedua adiknya belum pulang jam segini. Gempa pasti masih di kedai, dan Taufan ada kegiatan klub hari ini. Kalau Tok Aba, biasanya tak pernah mengetuk pintu.

"Siapa?" tanya Halilintar.

Hening satu-dua detik. "Ini aku, Yaya."

Jawaban yang sama sekali tak disangka itu membuat Halilintar tersentak. Kenapa bisa ada Yaya di sini?!

"Halilintar? Boleh aku masuk?"

Teguran Yaya membuat Halilintar tersadar dari kecamuk pikirannya. Ia lantas memperbaiki posisinya yang sedang berbaring santai, menjadi duduk dengan bersandar ke kepala tempat tidur.

"Ya," jawab Halilintar kemudian. "Masuklah, Yaya."

Pintu terbuka perlahan. Yaya masuk dengan membiarkan pintu kayu itu tetap terbuka.

"Assalamu'alaikum," Yaya memberi salam.

"Wa'alaikum salam." Halilintar mengikuti gerak-gerik Yaya dengan iris merah delima yang—tidak seperti biasanya—menyorot lembut. Dilihatnya, gadis itu mengambil kursi di dekat meja belajar, lalu membawanya ke dekat tempat tidur.

"Kamu sudah baikan ya, kayaknya?" kata Yaya sambil tersenyum. Dia sudah duduk manis di kursinya, menghadap ke arah Halilintar.

"Yah ... lumayan," Halilintar menyahut singkat, sedikit menghindari tatapan Yaya.

Layaknya Cahaya KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang