Taufan: Nama Yang Engkau Sebut (1/3)

1.5K 120 27
                                    

oO)-----------------♦-----------------(Oo

Dia menghindariku. Sejak kejadian itu, dia telah membangun dinding kasat mata di antara kami. Aku tahu, tapi sengaja mengabaikannya. Sampai suatu hari, aku sadar, dia berhenti memanggil namaku. Dan itu sangat menyakitkan. Betapa aku ingin dia menyebut namaku lagi.

"Taufan."

Hanya itu.

  oO)-----------------♦-----------------(Oo  


From: Kakak Bodoh

Temui aku di halaman belakang sekolah selepas kegiatan klub.

Barangkali semua bencana hari ini berawal dari pesan itu. Singkat, padat, jelas. Namun, pada saat membaca pesan singkat yang masuk ke ponselnya itu, Taufan tidak berpikiran macam-macam. Belum. Meskipun dia memang heran, tumben sekali Halilintar mengajaknya bertemu di tempat sepi. Halaman belakang sekolah yang dimaksud itu jarang didatangi siapa pun karena—katanya—angker. Dan tentunya, yang dimaksud Halilintar, Taufan harus datang sendirian.

"Taufan."

Suara lembut itu menyapa Taufan yang sedang membereskan kertas-kertas di atas meja. Ia menoleh sejenak, melihat Yaya baru saja masuk ke ruangan OSIS yang saat ini sepi. Cuma ada mereka berdua.

"Kamu masih di sini?" tanya Yaya sambil memasukkan barang bawaannya ke dalam satu-satunya lemari di tempat itu. Sebuah paper bag coklat, entah apa isinya.

"Yah ... tinggal membereskan ini," sahut Taufan. "Oh ya, semua kertas pengumuman sudah selesai kutempelkan. Di mading, dan di beberapa tempat lain."

"Thanks, ya!" Yaya tersenyum, lalu duduk di kursi terdekat. Melepas penat setelah nyaris sibuk seharian. "Maaf, kegiatan klub-mu jadi terganggu."

"Nggak apa-apa kok, Yaya." Taufan memasukkan kertas-kertas di tangannya ke dalam laci, lantas ikut duduk beristirahat. "Klub Skateboard lagi santai ini."

Yaya mengulas senyum kecil sekali lagi, ketika melihat cengiran lebar khas Taufan. Keceriaan pemuda itu adalah sesuatu yang bisa menular kepada semua orang di dekatnya. Dan Yaya menyukai itu.

"Hmm ... Kamu sudah dengar?" tiba-tiba Taufan membuka topik dengan nada santai. "Kejadian tadi pagi jadi heboh, lho!"

Yaya menaikkan alis sejenak. Kali ini dia melihat senyum jahil di wajah Taufan. "Kejadian apa, sih?"

"Yaya menampar Taufan," pemuda bertopi biru-putih dengan bagian lidah miring ke kanan itu, bicara layaknya pembawa berita di televisi. "Bahkan sudah berubah jadi gosip bahwa kita pacaran. Aku dengar dari Gempa."

"E-Eeh ...? Yang benar?" Yaya merona, lebih karena malu. Sementara, Taufan hanya tertawa melihatnya. "Sorry. Kamu jadi digosipin yang aneh-aneh gara-gara aku."

"Aku sih nggak apa-apa digosipin sama Wakil Ketua OSIS," Taufan menyahut dengan nada penuh canda.

"Ish! Kamu ni!" Yaya memberengut, sebelum akhirnya menghela napas. "Hh ... Ada-ada aja, deh! Padahal aku cuma refleks menepuk nyamuk di pipimu ..."

"Ng?" Taufan mengerutkan kening sejenak ketika Yaya tiba-tiba terdiam. "Kenapa, Yaya?"

"... Nggak. Aku cuma masih ngerasa aneh. Kayaknya itu bukan nyamuk, deh. Tapi apa ya kalau bukan ...?"

"Udah. 'Gitu aja dipikirin." Taufan melihat jam tangannya, lalu segera beranjak. "Sudah hampir jam bubaran klub. Aku permisi dulu, ya!"

"Hm. Terima kasih banyak ya, Taufan. Aku sangat tertolong."

Layaknya Cahaya KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang