Epilog

2.2K 162 52
                                    

"Hei ... Hali!"

"Hm?"

"Haalii ..."

"Hmmm?"

"Hali, Hali, Haliii ..."

"Apa, Taufan?!"

Halilintar akhirnya mengalihkan perhatian dari segala pekerjaan, demi menghentikan sang adik yang sejak tadi terus mengganggunya. Padahal dia sedang fokus menghias cokelat panas dalam cangkir, berusaha supaya bisa semirip mungkin dengan minuman cokelat panas istimewa kedai Tok Aba. Bukan hal yang mudah bagi Halilintar, dan sejauh ini dia baru berhasil menyelesaikan cangkir kedua.

"Sebaiknya kau punya alasan yang bagus untuk menggangguku!" Halilintar menatap galak, tetapi tak digubris oleh sang adik.

"Itu ... Cokelatnya belum dikasih gula," kata Taufan sambil cengar-cengir. "Aku lupa."

Halilintar terdiam, tampak kaget. Untuk beberapa detik dia tidak bereaksi. Sampai akhirnya sepasang mata beriris merah delima itu melebar.

"KENAPA BARU BILANG SEKARANG?! AAARGH—!"

"Salah sendiri," Taufan tetap santai menghadapi kakaknya yang marah-marah, "dari tadi kupanggil nggak nyahut—"

"Aku sudah menyahut!" Halilintar memandang adiknya dengan tatapan menuntut.

"Apaan? Cuma 'hmm' gitu," kata Taufan. "Panggil namaku, dong ..."

"Iikh—!"

Serius ... saat ini, detik ini juga, Halilintar ingin sekali menjitak kepala adiknya keras-keras. Biar otaknya agak bener sedikit. Tapi melihat Taufan yang kemudian tersenyum lebar, hatinya langsung luluh. Sampai beberapa waktu lalu, senyum Taufan yang dilihatnya tidak pernah secerah ini. Setulus ini. Senyum yang benar-benar dari hatinya.

Mana mungkin Halilintar tega membuat senyum itu terhapus?

"Terus gimana sekarang ... Taufan?" Halilintar mendesah lelah, setengah mengeluh. "Aku sudah telanjur menghiasnya."

"Ya udah, buang aja bagian atasnya. Tambahin gula, aduk, baru dihias lagi. Gampang, 'kan?"

Gampang dari Hongkong?!

Halilintar benar-benar harus menahan diri supaya tidak mengamuk sekarang.

"Oke ... Terus, gulanya mana?"

Taufan tersentak kecil, lalu celingukan. Diedarkannya pandang ke tikar yang terhampar rapi di rerumputan. Sudah jelas tidak ada di sana. Dipandangnya meja lipat kecil tempat Halilintar berkutat dengan cokelat panas sejak tadi. Hanya ada termos berisi cokelat panas—tanpa gula, beberapa cangkir dan sendok, juga bahan-bahan untuk membuat topping.

Taufan kembali memandang sang kakak, dengan senyum lebar andalannya. "Lupa, nggak kubawa."

Baiklah. Lupakan yang tadi. Anak ini benar-benar harus dijitak!

"Halii ... Jangan serem-serem gitu dong, mukanya." Taufan masih cengengesan. "Lagian ... topping yang kamu bikin itu berantakan, tahu! Udah, bikin ulang aja—Huwaa!"

Listrik berkilat-kilat tercipta di tangan Halilintar dalam bentuk petir kecil. Warnanya—tidak seperti biasa—kuning menyala. Barusan sudah langsung dilempar ke arah Taufan, yang bisa menghindar dengan gesit. Petir kecil berikutnya sudah siap menyusul.

"Hali, apaan, sih! Bahaya!" seru Taufan dengan nada memprotes, sebelum pusat perhatiannya teralih kepada hal lain. "Tumben ngeluarin Keris Petir lagi. Masih bisa, ternyata, ya ...?"

Layaknya Cahaya KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang