PROLOG

466 36 7
                                    

Malam itu terjadi begitu saja, malam yang seharusnya menjadi kebahagiaan dari keluarga kecilku ini dengan sekejap sirna ditangan seseorang oleh senapan mesinnya. Aku tercengang melihat semua darah segar yang mengalir dari setiap orang, bahkan orang tuaku pun harus terbunuh pada malam itu. Aku yang mematung melihat kejadian itu dengan tubuh yang gemetar langsung ditarik oleh Louis yaitu kakak laki-lakiku untuk kabur melarikan diri.

Mimpi buruk! Aku berusaha meyakinkan diri bahwa kejadian mengerikan itu hanya mimpi paling buruk dan berharap akan segera bangun dari segala kekacauan ini. Namun, hal yang kuharapkan tak kunjung terjadi. Ini bukan mimpi, ini nyata. Ada apa dibalik semua ini? Mengapa harus keluarga ini? Ayah? Ibu? Kakak? Mengapa?! Dengan terus berlari, air mata ini kian terjatuh, perih menyayat hati dan mulut pun tak dapat berkata apa-apa hanya isak tangis yang terdengar oleh telingaku sendiri. Louis terus memegang tanganku berlari tanpa tujuan pasti. Berlari hanya untuk menyelamatkan diri.

Aku tak mengerti. Umurku yang baru menginjak usia 9 tahun tak bisa berpikir jauh. Semua yang aku ketahui adalah keluarga ini hancur, aku dan Louis menjadi yatim piatu tanpa tujuan hidup, dan aku terlalu takut untuk bertemu dunia luar yang mengerikan. Sungguh tak bisa membayangkan hidup tanpa orang tua di kota New York sebesar ini, kota yang penuh dengan kesibukan dan kota yang tak pernah beristirahat. Apakah aku dapat bertahan? Apakah aku dapat menemukan siapa yang membuat keluarga ini hancur? Hanya waktu yang dapat menjawab semua ini.

Louis pun terlihat sangat hancur pada saat itu karena tak tau harus bagaimana, tidak ada uang sedikit pun di dalam kantung kami karena kami langsung kabur begitu saja ketika kejadian itu terjadi. Kejadian itu di bulan Desember dimana salju turun menutupi jalan raya di kota New York. Tidak ada obrolan sedikit pun yang kami ucapkan, hanya berjalan tanpa arah sampai akhirnya Louis menemukan beberapa keping uang logam dijalan yang kami lalui. Ide bagus memasuki pikirannya yaitu untuk melaporkan kejadian ini kepada polisi, sungguh ini adalah koin keberuntungan kami. Akhirnya kami berusaha mencari telepon umum dan melaporkan kejadian mengerikan ini. Di persimpangan jalan kami melihat box telepon merah, tanpa berpikir panjang kami langsung berlari dan menelepon polisi secepat mungkin. Telepon dimatikan, polisi berjanji akan menyelidiki dan memberi tahu masyarakat. Aku dan Louis duduk di dalam box telepon merah itu, kami diam membisu, tak tahu harus kemana. Udara malam masuk melalui celah-celah pintu dan berhasil membuat kami menggigil. Kaki Louis berdarah akibat sepatunya yang mulai terkikis dan membuat kakinya harus terus menginjak salju. Pada saat itu hanya sekecil harapan saja yang dapat menolong kami.

Lewat beberapa jam terdengar suara langkah kaki mendekat dan hendak menuju box telepon merah ini. Aku dan Louis mematung, terlalu takut untuk melihat siapa orang tersebut. Takut untuk menyadari bahwa pembunuh itu mengejar kami. Namun, kami salah. Seorang lelaki yang mungkin berumur 30 tahun melihat kearah kami. Kelegaan kami pun menutupi sedikit ketakutanku dan Louis, kami keluar dari box telepon merah itu dan pria itu bertanya mengapa kami diluar dengan cuaca yang tidak menentu ini. Setelah terjadi perbincangan yang cukup panjang, pria ini merasa iba kepada kami dan akhirnya ia membawa kami ke rumahnya dan dia berjanji akan merawat kami. Aku dan Louis tidak dapat menolak sedikit pun karena ini adalah jalan satu-satunya agar kami selamat dari pembunuh itu yang mungkin masih mengincar kami saat ini.

Kejadian itu sungguh sangat jelas teringat oleh otakku, tidak sedikit pun bagian yang aku lupakan dari alur kejadian itu. Bahkan lelaki bertopeng itu masih sangat jelas ada di otakku yang terkadang memasuki mimpi indahku dan menghancurkannya. Lelaki itulah yang menembak ayahku dan ibuku. Karena kejadian itu, kebahagiaanku telah sirna. Dan aku Qamillia Evans tidak akan pernah tinggal diam.

UnexpectedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang