CHAPTER TWO

171 24 3
                                    

Mentari pagi masuk melalui jendela kamarku dan kembali membuatku mengerang diatas tempat tidur. Terlalu nyaman untuk beranjak dari tempat ini, namun aku mulai mendengar suara Louis membangunkanku dan semakin lama semakin kencang.

"Mil, bangun ini sudah jam 7 bukannya kamu harus berangkat kerja?" kata Louis jahil.

Aku tidak langsung menjawab, mata ini terlalu berat rasanya untuk dibuka. Aku terdiam dan berpikir. "HAH JAM 7?! kenapa baru sekarang membangunkannya, kak?! AH AKU TELAT!" kataku nyaris teriak sambil bergegas pergi ke kamar mandi. Louis yang melihat tingkahku langsung tertawa terbahak dan berjalan keluar kamar. Secepat mungkin aku mandi pada pagi hari ini. Setelah selesai dengan seragam dan sebagainya, aku pun langsung berlari menuruni anak tangga, mengambil roti lapis coklat yang sudah ada disiapkan atas meja makan, memakai sepatu dan dan langsung berlari menuju halte bus agar tidak tertinggal.

Sekitar 15 menit perjalanan, akhirnya Mini Café terlihat dari perhentian bus. Aku sudah merasa mulai lelah karena terus menerus berlari ditambah dengan mataku yang masih sangat berat ini. Seperti biasa, sambil berjalan menuju café aku mulai mengikat rambutku dan sesampainya didepan café, aku membuka pintu utama tetapi anehnya pintu tersebut terkunci dan ada kertas tertulis;

MINI CAFÉ LIBUR SAMPAI DENGAN TANGGAL 1 JANUARI 2017.

Aku menarik nafas dan menepuk jidatku. Aku duduk di tangga depan café sambil memijat betis kakiku yang sudah mulai terasa pegal. Tak lama kemudian, aku mendengar suara langkah kaki dan berhenti dihadapanku. Orang itu tertawa, aku mengenali suaranya. Aku mengangkat kepalaku mencari wajah orang tersebut. "Louis" batinku berkata.

"Cukup lelah? Hahaha" nadanya mengejek.

"KAMU TEGA YA SAMA ADIK SENDIRI? KALAU TERJADI SESUATU PADAKU DIJALAN KARENA TERLALU SIBUK BERLARI BAGAIMANA?!" hentakku berdiri dihadapannya. Louis terlihat tak dapat menahan rasa tawanya.

"Hahaha maafkan aku adikku sayang" katanya sambil masih tertawa dan menepuk kepalaku. Kupalingkan pandanganku darinya berusaha bersikap marah. Namun sia-sia, ia langsung menarik lenganku. "Ayo! Waktunya berkeliling!"

Kami berjalan santai dari Mini Café menuju tempat pembunuhan masa lalu itu terjadi yang sekarang telah dijadikan Mini Bar. Sepanjang perjalanan aku melihat anak-anak sedang bermain salju, membuat snowman, membuat benteng dan perang bola salju bersama teman-temannya. Sungguh membahagiakan. Aku hanya menghela napas melihat semua itu. Mengingatkanku bahwa aku pun pernah merasakannya, walau hanya sementara. Masa dimana aku dan Louis bermain bola salju bersama ayah dan ibu, saat itu aku merasa sangat bahagia dan setiap tahun aku selalu dengan setia menunggu turunnya salju. Tetesan air mata mulai membasahi pipiku, kucoba secepat mungkin menghapusnya agar Louis tidak melihatnya.

"Hey, sudah beberapa tahun berlalu. Sudahlah, Mil. Mau sampai kapan kau membuang air mata itu? Aku tahu melihat suasana anak-anak dengan permainan bola saljunya pasti membuat kamu kembali mengingat saat dimana kita sekeluarga bermain bersama. Tetapi janganlah kembali lagi pada masa itu. Masa itu sudah lewat dan sudah menjadi kenangan indah yang cukup selalu kita simpan, Mil" tangannya merangkul pundakku, aku tahu bagaimanapun aku menyembunyikan air mata ini padanya tidak akan pernah berhasil.

Aku tersenyum sendu mendengar perkataan Louis. Kami terdiam sesaat, lalu Louis berlari dengan tiba-tiba, mengambil salju, membuat beberapa bola salju dan melempar kearahku dengan ayunan cukup kencang. Spontan aku terjatuh akibat badanku yang tidak seimbang. Aku yang tak mau kalah dengannya langsung membalas dendam dengan melempar kembali bola salju yang kubuat. Lima belas menit berlalu, kebahagiaan yang sudah lama tidak pernah dirasakan akhirnya terasa dan menjadi sebuah kenangan tersendiri. Bermain bersama Louis dengan bola-bola salju ini adalah hal yang paling kurindukan. Dan aku menyadari bahwa seharusnya aku bersyukur dengan keadaanku saat ini karena aku masih dapat bersama Louis. Kami menyudahi permainan salju ini dan kembali berjalan menyusuri kota.

"Lain kali kita harus mengajak paman George untuk bermain bola-bola salju ini, Louis"

"Haha aku setuju! Berdoa saja paman mendapat waktu beristirahat dari pekerjaannya yang sangat sibuk itu" jawabnya mengiyakan.

Kami berjalan beriringan, bergandengan tangan selayaknya adik dan kakak, kadang aku mengayunkannya dan itu berhasil membuat ia tersenyum. Tak terasa Mini Bar telah terpampang jelas disebrang sana. Aku menghentikan langkahku seketika. Tak kuasa melangkah lagi untuk memasuki bar itu. Trauma. Lagi-lagi kejadian dimasa lalu masih sangat jelas terbayang di ingatanku. Darah segar yang mengalir tiba-tiba secara jelas terlihat di tanah ini, suara senapan mesin itu pun masih terdengar jelas. Aku tak kuat melihat ilusi yang tercipta oleh pikiranku, penglihatanku memudar. Aku terhuyung jatuh.

"MILA!" terdengar teriakan Louis, ingin kumenjawabnya namun pandanganku gelap dan aku tak dapat mendengar suara apapun lagi.

----

MILA JATUH PINGSAN! Apakah Mila akan baik-baik saja? Apa yang terjadi selanjutnya?

Nantikan kisah selanjutnya!

Don't forget to follow and vote, thankyou

UnexpectedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang