CHAPTER EIGHT

60 3 0
                                    

Louis' point of view

Darah mengalir deras dimana-mana. Tanganku penuh dengan darah itu. Mimpi! Tapi ini terlalu nyata untuk dikatakan mimpi. Air mata pun tak dapat berbohong, ia mengalir tak kalah deras dengan darah dari tubuhnya.

Adikku, gadis kesayanganku, Qamillia Evans. Kini berbaring lemas tak sadarkan diri di tengah jalan raya. Darah disekelilingnya berhasil membuat dress silver itu berubah warna. Cath terus menjerit histeris melihat kondisi sahabatnya, menggoyangkan tangannya dan terus memanggil namanya. Paman yang terus bertahan tegar menelepon ambulans tetap tidak dapat menahan air matanya. Pengendara asing berhenti di sekitar kami. Kacau, sesak, takut, marah. Emosiku sungguh tak terkendali.

Pukul 08.45 ambulans datang. Petugas dengan gesit membawa Mila ke dalam mobil. Aku terus memegang tangannya. Berusaha tenang walau sebenarnya aku tak bisa.

"Semua akan baik-baik saja, Mila" suaraku bergetar.

Everbee Hospital

Mila segera dilarikan menuju Emergency Room. Namun, aku tercegat oleh suster pengawas. "Kondisi darurat, pihak rumah sakit akan mengurus " begitu katanya. Ingin rasanya memberontak dan menembus pintu itu, tapi aku percaya dokter akan menjaga Mila di dalam. Aku berpasrah. Di balik ketakutan ini, paman dan Cath sibuk mencari sang pelaku tabrak lari tersebut. Aku terlalu lemas untuk bergabung dengan mereka, aku terlalu takut.

Pandanganku kosong, menunggu kabar dalam keadaan seperti ini bukanlah hal yang mengasyikan. Semakin gelisah setiap bertambahnya menit. Duduk tanpa nyawa kurasa. Entah, semuanya terasa kosong. Pikiranku kabur, hatiku hampa. Mila adalah segalanya untukku dan aku tidak ingin kehilangannya.

Pintu Emergency Room terbuka setelah beberapa jam. Dokter dengan piluh di wajahnya keluar.

"Kamu pihak keluarganya?"

"Iya, saya kakak kandungnya. Bagaimana keadaan adik saya?" aku menjawab sekuat tenaga. Menyiapkan diri atas segala jawaban yang mungkin ada walau sebenarnya aku tak siap. Sedikit harapan yang aku miliki untuk mendengar ia baik-baik saja.

"Tenanglah. Adikmu sangat kuat menahan segala rasa sakit, mungkin pasien lain sudah tidak tertolong. Ini merupakan suatu mujizat"

Sedikit senyum bersyukur terukir di wajahku, akhirnya aku dapat menarik udara baru.

"Luka yang diakibatkan tabrakan cukup fatal. Adik mu koma. Terjadi banyak pendarahan, tulang punggung dan kakinya patah. Adikmu sangat kekurangan darah dan kami membutuhkan darah dari pihak keluarga Anda sekitar dua labu" lanjut dokter menjelaskan. Aku tanpa berpanjang-panjang langsung menyerahkan diri menyumbangkan darah. Dokter menyetujuinya dan kami langsung beranjak menuju ruang pengambilan darah.

Aku duduk terdiam di atas ranjang rumah sakit ini, mencoba untuk menenangkan pikiranku. Sampai akhirnya perawat pun datang dengan membawa nampan yang berisikan sebuah jarum suntik yang tentunya tidak kecil beserta selang, alcohol, kapas dua buah kantung darah, dan tempat untuk membekukan darah.

Perawat itu menyiapkan segala yang dibutuhkan, lalu dengan sopan meminta lenganku. Setelah memastikan aku mengizinkannya, ia mulai dengan mengusap lenganku menggunakan alkohol lalu mencari letak pembuluh darah dan dengan segala tindakan akhirnya darah itu keluar, mulai memasuki kantung darah. Aku memejamkan mata. Wajah Mila yang tergambar disegala bayanganku. Gadis yang selalu terlihat kuat, tersenyum seperti tak ada beban walau sebenarnya aku tahu jelas beban yang ia rasakan. Gadis yang tangguh meskipun ia merasa lemah. Aku tak tahu apa yang akan terjadi jika tidak Mila disampingku. Pikiranku semakin kacau.

Akhirnya selama empat jam lebih kantung darah ini terisi penuh. Aku pergi meninggalkan ruangan setelah perawat memastikan semua sudah selesai. Aku bergegas menemui paman dan Cath yang masih setia menunggu di ruang tunggu itu.

UnexpectedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang