CHAPTER SEVEN

48 3 0
                                    

Pagi ini terasa berbeda, ntah kenapa aku yang biasanya tidak pernah bersemangat bangun pagi kali ini seperti orang yang paling bahagia di dunia. Meregangkan tubuh sebagai rutinitasku sebelum beranjak dari kasur kesayangan. Mataku terfokus pada meja kecil di pojok kamar. Sebuah kotak kecil terikat rapi dengan pita biru.

"Apa ini? Bom?" aku terkikik.

Aku membuka kotak itu perlahan, tetap takut kalau sebenarnya itu bom. Tapi jauh dari bayanganku, kotak itu membungkus Ipod hitam lengkap dengan earphone, dibaliknya terdapat secarik kertas.

Dari Paman.

"Manisnya" senyumku melebar membaca tulisan tangan khas seperti ukiran itu. Kunyalakan Ipod dengan perlahan, sungguh berharap sudah diisikan lagu klasik yang paman suka.

Dugaanku benar. Nada klasik yang begitu menenangkan.

Fairy Tale - Frank Sinatra

Salah satu lagu kesukaan paman. Lagu yang seperti menggambarkan dirinya dengan sesosok wanita yang sudah lama dicintainya. Sebenarnya aku muak dengan percintaan, sungguh, aku selalu mual dengan halusinasi bernama cinta. Tapi aku tidak akan berbohong kalau lagu ini memang enak di dengar. Alunannya selalu berhasil membuatku tersenyum, terjatuh dalam bayangan masa lalu paman. Masa dimana ia begitu bahagia sebelum akhirnya bertemu dengan kata berpisah. Mungkin.

Lagu berikutnya terasa aneh. Bukan lagu. Sebuah rekaman suara. Terdengar suara sedikit bising, mungkin direkam saat benda perekam diletakan.

"Mila, cepat turun!" suara Cath memecahkan konsentrasiku. Baiklah, aku memutuskan untuk mendengarkan Ipod itu lain waktu. Aku tahu Cath akan mengomel jika aku tidak cepat mendatanginya.

Badanku masih berbalut baju tidur, terlalu pagi dan terlalu malas untuk mandi. Berbeda dengan Cath dan yang ternyata sudah bersama Loius berpakaian rapi siap membagikan coklat dan permen kepada anak-anak. Ya, di wilayah rumahku memang unik. Hari natal yang memiliki tradisi seperti Halloween. Anak-anak akan berdatangan ke rumah tetangganya, berpakaian tema natal yang lucu, mengetuk dan meminta orang di rumah itu mengisi keranjang tangannya dengan butiran permen atau coklat.

"Astaga, cepat mandi!" sentak Louis begitu melihatku yang masih sangat berantakan. Aku yang mendengarnya hanya menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal, hanya agar terlihat sedikit merasa bersalah. Tanpa jawaban, aku segera mengikuti perkataannya.

Setelah selesai merapikan diri, aku menyusul mereka yang masih sibuk membagikan coklat dan permen. Belum terlihat paman sedari tadi, mungkin di perpustakaan rumah? Entahlah.

"Kakak, aku mau minta coklat yang besar boleh?" gadis mungil berkepang dua meminta padaku begitu nyaring ditambah senyum manis yang sungguh tulus.

"Boleh, mau 2 juga boleh"

"Yay! Thankyou!" ia melompat senang begitu aku memberinya 2 buah coklat berbentuk rusa dan Santa Clous.

Senyumku berubah sendu, "Kadang aku ingin seperti anak kecil, memiliki kebahagiaan yang sangat sederhana. Tapi, aku tahu, aku harus menelan kenyataan pahit bahwa kebahagiaan itu bukanlah hal yang sederhana."

Sepertinya gadis mungil itu adalah anak terakhir yang mengunjungi rumah kami. Udara dingin mulai menembus pakaian hangatku. Kulangkahkan kaki ke dalam rumah merangkul Cath dan Louis.

Paman sudah menyiapkan makan pagi yang dapat terhitung telat.

"Makan pagi atau makan siang?" ledekku menyikut iseng lengan paman.

"Mil" Louis menatapku sinis. Eugh, aku benci tatapan itu. Padahal niatku hanya bercanda.

Sourdough bread, scramble egg, bacon. Menu makanan yang menarik. Makan pagi terasa begitu hangat.

UnexpectedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang