CHAPTER NINE

11 0 0
                                    

Cath tidak berhenti menepuk pundakku, menenangkanku dan berkata semuanya akan baik-baik saja. Kami keluar dari ruangan dokter, kembali duduk di ruang tunggu. Hening, kami terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing.

Paman keluar dari ruangan, tangannya memegang handphone. Hendak menelepon? Entahlah, aku tidak terlalu menghiraukannya. Cath melamun di sampingku, pandangannya sangat kosong. Ia hanya berbisik sesekali, "Louis, aku takut". Sebenarnya aku juga Cath, tapi aku tetap harus kuat, beberapa kali aku menenangkannya.

Dokter keluar dari ruangannya dan kembali memasuki ruangan Mila, mengkontrol kondisi Mila yang masih kritis. Tak berapa lama, paman kembali menghampiri kami, duduk di sebelahku dan memejamkan matanya.

Waktu terasa begitu lama dan kami masih belum tahu harus berbuat apa. Satu jam terlewati. Kami mendapat pemberitahuan Dokter Tony, "Ada 2 labu darah seseorang yang dapat di proses untuk transfusi ke tubuh Mila". Kami tersentak, hampir meminta ulang perkataan dokter. Senang tidak menyangka namun dicampur bingung. Dari siapa darah itu?

"Maaf, tapi siapa yang memberi darah itu, dok?" aku bertanya penasaran.

"Ada seseorang yang dengan sukarela memberinya. Tapi, maaf. Kami tidak dapat memberitahukannya kepada Anda, ia meminta kami untuk merahasiakannya"

"Tapi, dok ... Hm, baiklah kalau begitu" aku menyingkirkan banyaknya pertanyaan yang muncul di benakku.

"Tolong lakukan transfusinya sekarang, dok" minta paman.

"Baiklah, berdoalah agar Mila tetap kuat. Keluargalah satu-satunya harapan untuk ia dapat bertahan" Dokter Tony tersenyum sebelum akhirnya berpaling ke ruangan Mila, menutup ruangan tersebut dan melakukan transfusi darah.
"Siapa orang itu?" suara Cath datar, pandangannya masih kosong.

"Entahlah, paman juga ingin tahu siapa orangnya. Tapi yang perlu kita lakukan sekarang adalah berdoa agar Mila baik-baik saja" paman memegang pundakku dan Cath bersamaan. Raut wajah paman tak kalah penasaran denganku.
Sekitar dua jam berlalu, dokter keluar dari ruangan Mila.

"Tubuh Mila dengan baik menerima darah itu. Namun, kondisinya masih tetap lemah dan koma. Mila akan dipindahkan ke ruang rawat khusus" Dokter Tony menjelaskan sebelum kami sempat bertanya.

Kami menarik napas lega, Cath memeluk paman dan akhirnya senyum tipis terlukis di wajah Cath yang sedari tadi melamun. Kami menyetujui pemindahan ruangan Mila.

Ruang rawat khusus terlihat seperti ruangan VIP, hanya ada satu ranjang di dalamnya, sofa dibagian kanan ruangan, kamar mandi, tv, dan peralatan rumah sakit yang bagiku begitu mengerikan.
"Malam ini biar aku saja yang jaga Mila, kalian pulanglah. Kau harus membersihkan tubuhmu dan berganti pakaian, Louis. Paman, beristirahatlah, kau pasti sangat lelah" tatapan Cath tidak beralih dari Mila walau ia berbicara kepadaku dan paman. Tangannya tak lepas sedikit pun menggenggam tangan sahabatnya itu. Aku setuju, pakaianku harus diganti. Aku melihat paman, matanya sayu, Cath benar bahwa paman pasti lelah.

Aku dan paman meninggalkan rumah sakit setelah berpamitan dengan Cath. Lagi-lagi keheningan terjadi, tidak ada yang menarik dalam perjalanan, bahkan pemandangan kota dengan hiasannya tidak berhasil menarik perhatianku.

Pukul setengah 6 pagi kami sampai di rumah. Kami melewati pagi buta dengan beban yang begitu berat. Aku berpisah dengan paman di ruang tengah, berjalan menuju kamar masing-masing.

"Rumah ini jadi terasa aneh" aku tersenyum tipis, menarik napas sambil melihat sekitar. Walau biasanya Mila memang banyak menghabiskan waktu di kamar, tapi kini secara sadar aku tahu Mila tidak di sini sungguh rasanya begitu aneh.

Aku memasuki kamar mandi, mulai membersihkan tubuh ini, pikiranku terlempar pada kejadian tadi malam, dengan jelas aku melihat adikku tertabrak begitu kencang. Pengendara mobil itu melarikan diri dengan cepat, aku tidak sempat melihat nomor mobilnya.

"Sampai aku menemukanmu, lihat saja apa yang akan terjadi" suaraku beradu dengan shower. Ya, aku mengancamnya. Aku menghindari perasaan dendam, tapi kali ini berbeda rasanya.

Selesai mandi dan berpakaian, aku merebahkan diriku ke kasur. Niat tidurku gagal, perasaanku sangat tidak tenang. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke rumah sakit. Kumasukan beberapa pasang pakaian dan juga selimut.

"Paman?" aku berhenti tepat di depan pintu kamar paman. "Apakah ia sudah tidur?" bisikku. Mungkin ia terlalu lelah atau sebenarnya sama sepertiku yang tidak bisa tidur tapi terlalu terbeban untuk beranjak dari tempat tidur. Entahlah, pintu kamarnya tertutup rapat, tak ada suara sautan.

Aku kembali ke ruangan Mila berada. Cath sudah tertidur pulas dalam posisi duduk di kanan ranjang, tidak melepas pegangan tangan dengan sahabatnya. Aku menggendongnya ke sofa, menutupi tubuhnya dengan selimut agar ia tidak merasa dingin.

"Mila" panggilku sambil mengambil alih kursi yang diduduki Cath. Aku membelai rambutnya dengan hati-hati. Menyingkirkan helai rambut yang jatuh ke wajahnya. Wajahnya tetap terlihat cantik walau sebenarnya di balut perban.

Tanganku meraihnya, menggenggam tangannya yang begitu lemas. "Cepat sadarlah, Mil. Aku sudah sangat merindukan senyum manismu".

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 13, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

UnexpectedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang