Capitulum 2

59 2 1
                                    

Vianita's PoV

Yeyyy.... Hari ini piknik!! Jadi, kemarin kami melakukan diskusi. Dan, Neisha mengusulkan untuk mengadakan piknik. Walaupun sempat terjadi bentrok antara Neisha dan Reihan, yang aku tak tau kenapa pada awalnya. Tapi, ada satu hal yang sangat menggangguku....

KENAPA MEREKA BELUM DATANG JUGA??!!

Yap!! Aku sekarang berada di halte depan asrama, dan belum ada yang datang!!! Aku sangat frustasi dengan sahabat-sahabatku ini. Tiba-tiba, suara yang sebenarnya tidak kuharapkan datang duluan menyapaku di halte sepi ini.

"Kamu tuh kerajinan banget, Via... Datang kok pagi-pagi sekali?" Satu-satunya temanku yang bersurai biru laut, yaitu si Vincent, datang dengan kaos biru langit dan celana jeans. Dengan jaket biru dongker dan sepatu sneakers berwarna hitam garis putihnya itu, dia terlihat sedikit keren.

"Lah... Kamu sendiri? Kenapa datang pagi-pagi?"

"Udaranya dingin kalau pagi-pagi, dan aku menyukainya."

Selanjutnya yang terjadi adalah timbulnya keheningan di antara kami. Yah... kau tau sendiri kan? Seorang Vincent Mier Aequrio itu orangnya sangat, sangat, sangat irit bicara.

"Hai Guys....!!!!" Syukurlah Frans datang di saat yang tepat. Ia memakai kaos berwarna putih garis hijau, celana jeans, dan sneakers berwarna putih garis coklat. Aku tak bisa membayangkan kalau kami dalam kondisi itu sebentar lagi. Mungkin aku akan mati membeku karena kebosanan dan kedinginan.

"Kenapa telat? Kamu bangun kesiangan kah?" aku bertanya pada si Casanova pirang itu.

"Ini loh jam 6 pagi!! Kesiangan dari mananya??"

"Hei...hei... jangan bertengkar dong." Nia, teman sekamarku (yang kutinggal karena belum bangun juga walau disiram air) datang bersama Reihan lalu melerai kami.

"Dimana si Icha? (jangan bilang-bilang kalau aku panggil dia Icha. Dia gak suka.) Kalian gak menjemputnya?" perkataanku hanya dibalas dengan gelengan kepala dari mereka berdua.

Aku sekamar dengan Nia, sementara Reihan sekamar dengan Frans. Icha serta Vincent kamarnya sendiri-sendiri. Kamar Icha di samping kamarku, sementara Vincent kamarnya terletak 2 kamar setelah kamar Reihan.

Kuakui, kalau baru kali ini si Icha telat. Awalnya aku sempat khawatir, tetapi kekhawatiranku menghilang setelah melihatnya melambaikan tangan ke arah kami.

"Hai...Kawan... Maaf ya aku telat, soalnya aku bawa bekal banyak." Kulihat dia membawa keranjang piknik yang (sepertinya) berat. Dengan sigap, aku menyabotase keranjang itu.

"Hei, aku saja yang bawa." aku menjawab sapaannya.

"Apa gak apa-apa? Ini berat loh!" Icha seperti enggan memberikan keranjang itu.

"Iya, gak apa-apa kok."

"Terimakasih, Via."

Ternyata benar dugaanku, keranjang ini sangat berat. Saking beratnya, aku sampai tertinggal di belakang.

"Hei, biar aku saja yang bawa." Suara dari sahabat irit bicaraku yang terdengar perhatian membuatku tidak percaya.

"Hee... jadi sekarang kau sudah punya hati yang berperasaan? tumben sekali, Mier." pertanyaan yang terlalu kasar itu keluar dari mulutku secara spontan. Saat itu juga aku merutuki diriku sendiri.

"Hanya kepadamu saja." Seketika itu juga aku pun membeku ketika mendengar perkataannya. Dan yang selanjutnya terjadi adalah kami berjalan berdampingan dalam diam.

Netra montanaku sesekali melirik ke samping, dimana orang yang sukses membuat aku malu berkepanjangan ini berjalan. Saat aku meliriknya lagi, ternyata manik obsidiannya tengah melirikku juga. Mata kami sempat beradu pandang sebelum kembali membuang muka hampir secara bersamaan.

Vincent's Pov

Saat netra montananya menatapku, seketika dunia terasa berhenti beberapa detik. Matanya memang membuatku jatuh hati sejak kami bertemu 1 tahun lalu, yang merupakan alasanku ingin mengenalnya. Tentu saja aku langsung membuang mukaku yang kian memanas ini sembari menyembunyikannya.

Hanya dia yang bisa membuatku bersahabat dengan orang lain. Selama ini, aku tak pernah punya teman sejati seperti mereka. Saat aku bertemu dengannya untuk pertama kalinya, aku berpikir jika ia sama dengan orang lain yang berteman denganku hanya karena kepintaranku saja (bukan sombong loh ya). Tapi ia mengenalkanku pada sahabatku ini. Saat itulah.... Aku mulai merasa bahagia.

"WOYY.....KALIAN GAK BISA LEBIH LAMBAT LAGI KAH!!??" lamunanku terbuyarkan oleh teriakan Frans yang dapat dijangkau dalam radius hingga 2,5 meter itu.

"IYA!!" seperti biasa, Via menjawabnya dengan semangat tinggi.

"A..Aku duluan, ya..." nada bicaranya yang terdengar canggung itu menyapaku.

"Baiklah.." jawabanku mengiringi dirinya yang berlari itu. Yang tidak aku duga adalah Frans yang mendatangi tempatku berjalan sambil.... Menyeringai?

"Kenapa?" Rasa ingin tahuku, ku keluarkan dari benak lewat pertanyaan itu. Tapi, yang bersangkutan hanya terus memandangiku sembari menyeringai.

"Jawab aku!!" sudah hampir semenit sejak ia menatapiku, dan sekarang kesabaranku mulai habis.

"Kau tertarik dengannya?" Pertanyaan Frans memang terkadang cukup frontal, seperti saat ini.

"Tidak. Tapi, sepertinya aku memang cukup tertarik dengannya. Kenapa kau tiba-tiba bertanya?"

"Hanya memastikan saja...,Vincent."

"Memastikan apa?" Diantara kami berenam, hanya Frans yang secara spontan dan tanpa malu memberitahu tentang siapa orang yang disukainya. Jadi, aku tidak merasa kalau aku mengambil orang yang disukainya. Saat ini, aku sedikit bingung dengan arah pembicaraan kami.

"Suatu hal yang penting...."

"Jawabanmu terdengar mencurigakan, Frans. Ada apa sebenarnya?"

"Hanya memastikan kalau kau masih tertarik dengan manusia, bukan hanya dengan buku-buku pelajaran." Jawabannya sontak membuatku sangat marah.

"MAKSUDMU APA HAH??!!"

"LARIIIII!!!!" sembari meneriakkan hal itu, Frans pun lari terbirit-birit. Kelakuannya itu mengundang gelak tawa kami semua.

.

.

.

Author's Pov

Jam di arloji Reihan menunjukkan pukul 11 pagi saat mereka tengah memakan bekal yang dibawakan oleh Neisha pagi ini.

"Sandwich mu enak sekali, Nei." Frans dengan semangat memuji sandwich yang memang enak sekali itu.

"Terimakasih atas pujiannya, Frans." Netra aquamarinenya sempat menatap sang manik amethyst, kemudian kembali menatap Frans yang makan dengan berantakan.

Reihan masih merasa bersalah atas kejadian kemarin. Ia berusaha untuk berbicara berdua dengannya. Tapi, terus saja tak ada kesempatan untuk berbincang.

"Bicaralah selagi ada waktu, Rei...." Reihan terkejut karena tiba-tiba Nia berbicara padanya.

"Aku merasa bahwa kau harus bicara padanya hari ini. Piknik ini terasa janggal."

"Maksudmu?" Reihan sangat bingung dengan perkataan Nia padanya.

"Ini terasa seperti......perpisahan"

"Perpisahan? Kenapa kau berkata seperti itu, Nia?"

"Tidak biasanya Nei mengadakan piknik. Ia tidak suka makan di taman. Kotor katanya."

"Begitukah?"

"Kita semua bersahabat, tapi kau tak tahu itu? Sahabat macam apa itu??!!" Terkadang Nia sangat frustasi dengan ke'tidak-peka'an laki-laki, terutama orang di sampingnya ini.

"Ma..maaf..." di saat seperti ini Nia terlihat segalak Neisha saat marah.

"Sebaiknya kau dengarkan kata-kataku"

Lama Reihan berpikir tentang perkataan Nia tersebut. Dan ia pun bertekad untuk menyelesaikan masalah ini.

"Baiklah..."

Relife series: The Curse of The PriestessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang