"Putus ??"
Aku bertanya setengah tak percaya pada sosok yang baru saja berbicara di ujung telepon."Iya Kak Dinda. Memang sebaiknya begini saja". Sahutnya lemah.
Aku menghela nafas panjang. Mencerna setiap kalimat yang dijelaskan secara detail oleh lawan bicaraku."Tapi kalian bukannya sudah serius dengan hubungan kalian kan ? Bukannya sudah ada arah ke pernikahan ?" Desakku masih setengah tak percaya.
Sosok di seberang terdengar menarik nafas."Iya Kak. Tapi itu nanti masih sangat lama. Nunggu Fita selesai kuliah dulu rencananya. Awalnya memang seperti itu. Namun ternyata Kak Arman memang bukan sosok yang bisa dipercaya. Selama jauh dari Fita rupanya dia menjalin hubungan dengan gadis lain". Sahutnya lesu.
Tubuhku membeku sesaat. Perlahan kesadaran merayapi otakku tentang 'penyakit' Arman yang ternyata kambuh lagi.
"Kamu yakin, Fit ? Sudah kamu pikirkan masak-masak keputusan ini ?" Tanyaku hati-hati.
"Iya Kak Dinda. Fita gak suka laki-laki yang gak bisa berkomitmen. Lebih baik sakit sekarang daripada nanti setelah Fita teruskan ke jenjang pernikahan". Jelasnya lagi.
Aku mengangguk-anggukkan kepala mencoba memahami alasannya.
"Kak Dinda masih sering komunikasi dengan Kak Arman ?" Fita balik bertanya.
Aku menggeleng dengan cepat kemudian menyadari sosok diseberang telepon tidak bisa melihat gelengan kepalaku.
"Sudah lama enggak, Fit". Jawabku jujur.
Memang itulah kenyataannya. Setelah menikah, aku memutuskan untuk menyingkirkan jauh-jauh sosok Arman dari kehidupanku.
"Oh, tadinya Fita pikir Kak Arman masih suka curhat ke Kak Dinda".
"Enggak lagi, Fit. Malah kamu yang sekarang sering curhat ke Kak Dinda". Balasku.
Sosok di sana tertawa."Iya, Kak. Terima kasih ya selama ini selalu mau mendengar cerita Fita. Jujur Fita kok merasa lega ya putus dengan Kak Arman. Serasa gak punya beban lagi. Biasanya tertekan terus karena dia. Sekarang rasanya malah free". Lanjutnya.
Aku mengernyitkan dahi."Masa sih gak sedih sama sekali, Fit ?" Selidikku heran.
Fita tertawa."Sedih sih ada, Kak. Tapi sedikiittt. Banyakkan lega nya hahaha". Jawabnya enteng.
Aku menghela nafas."Ya sudah kalau menurut kalian ini yang terbaik, Kak Dinda cuma bisa dukung apa pun keputusan kalian. Semangat ya, Fit. Kamu gadis yang sangat baik. Kak Dinda yakin pasti akan memperoleh laki-laki yang sangat baik pula". Ujarku menjelang akhir pembicaraan kami di telepon.
"Aamiin. Makasih ya Kak Dinda. Tetap jadi seorang kakak ya untuk Fita. Meskipun Fita udah gak sama Kak Arman lagi, bagi Fita, Kak Dinda sudah seperti kakak Fita sendiri". Sahut Fita terharu.
Aku mengiyakan dengan tulus kemudian menutup pembicaraan di antara kami.Sesaat setelah obrolanku dengan Fita berakhir aku masih termenung di tempatku berdiri.
Masih tak percaya dengan kabar yang baru saja kudengar.Berakhirnya hubungan Arman dengan Fita, jujur sangat jauh dari prediksiku.
Apalagi jika mengingat betapa seringnya dulu Arman bercerita kepadaku kalau Fita adalah sosok yang benar-benar mendekati kriteria gadis idamannya. Bahkan begitu seringnya Arman menyampaikan keinginannya untuk menikahi Fita.Hanya memang beberapa tahun setelah pernikahanku, hubungan persahabatanku dengan Arman tak lagi seerat dulu.
Akulah yang pertama memutuskan untuk menjauh darinya. Bahkan beberapa pesan-pesan yang ia kirimkan sekedar bertanya kabar pun tak selalu kubalas.Jujur, aku tak mau terus terjebak dengan perasaanku terhadapnya jika kami masih sering berkomunikasi meskipun lewat telepon.
Bagaimanapun aku seorang wanita yang telah bersuami. Meskipun cintaku pada suamiku tak sebesar bagaimana aku pernah mencintai Arman, tapi aku memiliki komitmen bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sakral dimana pelakunya diharuskan untuk setia.Sejauh ini, aku merasa aku telah berhasil menyingkirkan sosok Arman dari hatiku.
Ya, nyaris saja sampai Fita memberiku kabar melalui telepon tentang hubungan mereka yang baru saja berakhir.
Mau tak mau, ingatanku dipaksa kembali menggali nama Arman yang sudah nyaris terkubur dalam dasar hatiku...***
"Dinda..." Sosok di hadapanku menatapku dengat sorot mata sedih.
Aku balik menatapnya dengan perasaan cemas."Arman ? Kamu kenapa ?" Tanyaku khawatir.
Sosok itu menggelengkan kepalanya kemudian menunduk. Aku mencengkeram sepasang bahunya dan mengguncangkannya."Arman, kamu baik-baik aja kan ??" Tanyaku bertambah khawatir.
Arman mendongakkan wajahnya. Menatapku dalam-dalam."Dinda !" Sosoknya tiba-tiba menubruk dan memelukku.
Aku terlonjak kaget. Tak mengira dia akan bersikap seperti ini."Armaaaann". Seruku kemudian kudapati diriku terduduk di atas pembaringanku.
Nafasku terengah-engah dan keringat basah membanjiri piyama tidurku.
Aku mengamati sekeliling kamar dan menyadari malam ini terpaksa tidur sendiri tanpa ditemani Panji karena dia harus bertugas keluar kota.Hanya saja, kenapa Arman harus kembali tiba-tiba hadir dalam mimpiku ?? Apakah ini ada hubungannya dengan obrolanku bersama Fita di telepon tadi siang ? Batinku bertanya-tanya.
Sesaat aku melirik ke arah telepon genggamku yang kuletakkan di atas meja kecil samping tempat tidurku.
Seolah tak sadar aku meraihnya dan mulai mengetikkan sebaris kalimat di kotak pesan."Arman, are you okay ?"
Pesan itu terkirim tanpa sempat kupikir panjang. Mendadak aku tersadar malam selarut ini mana mungkin Arman masih terjaga. Namun layar HP yang menyala menarik perhatianku."I'm Ok, Din".
Sebaris kalimat pendek kudapati dalam folder pesan yang diterima.
Aku menarik nafas panjang.
Sudut hatiku meyakini kalau kondisinya saat ini tidak benar-benar baik-baik saja seperti isi pesannya."Really ??"
Ketikku lagi kemudian menyentuh tombol send."Yeah".
Balasan itu kuterima beberapa saat kemudian. Ya, aku tahu kamu sedang tidak baik-baik saja, Man. Cara kamu membalas pesanku menyiratkan hal itu. Meskipun kamu tak mengakuinya, untukku yang telah mengenalmu sejak lama, itu begitu terlihat."I know what you feel, Man. Jika kamu butuh seseorang untuk mendengarkan, tell me please. I'm ready for that".
Tulisku lagi.Beberapa puluh menit pesanku tersebut tak terbalas. Mendadak aku merasa gelisah karenanya. Karena jika memang dia baik-baik saja tidak selama ini dia membiarkan pesanku tanpa balasan.
"Thanks, Din. Nanti saja ya..."
Aku menghela nafas. Kemudian jemariku kembali mengetik di layar pesan."Okay. Hanya jika kamu ingin bercerita, aku selalu siap mendengarkan. Aku bersamamu, Man. I Love You..."
Tanganku tertahan. Kuamati kalimat terakhirku sebelum terlanjur menyentuh tombol kirim.Ah aku ini kenapa sih ?? Gerutuku dalam hati. Masa seorang perempuan yang telah menikah menulis kalimat itu pada laki-laki lain selain suaminya ??
"I love You, My Brother".
Aku bergegas mengubah ujung kalimat itu sebelum mengirimkannya.Arman membalasnya dengan emoticon senyum.
Dan percakapanku melalui SMS itu pun berakhir.
Setelah sekian lama aku memutuskan menghindari akses komunikasiku dengan Arman hanya seperti itulah yang menjadi awal kembalinya interaksi kami.Entah kenapa... Semuanya selalu diawali dari mimpi...
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Love & Time (Complete + Chapter Bonus)
RomanceBASED ON TRUE STORY Aku menunggumu ... Dalam waktu yang tak berbatas ... -DW- Aku menaruhmu terlalu dalam di hati. Sehingga untuk menghapusmu, aku seperti menyakiti diri sendiri... -Brian Khrisna-