Bab 30

39 0 0
                                    

Hai Biru...

Jangan pernah memintaku untuk berhenti...
Karena kamu tahu sekeras apa aku telah berusaha.

Karena jika memang aku bisa, seharusnya sejak dulu aku berhasil melakukannya.
Bahkan jika kamu mulai merasa terganggu sekalipun...

Tolong, jangan pernah menyuruhku untuk berhenti...

***

"Dinda. Sayang..."
Sentuhan Panji di lenganku membuatku tersentak kaget. Aku menoleh ke arahnya dan mendapati sepasang matanya tengah mengamatiku lekat-lekat.

"Kamu melamun ?" Tanyanya menyelidiki.
Refleks aku menggeleng. Mencoba membantah ucapannya.

"Aku memanggilmu berulang kali sejak tadi". Lanjut Panji menatapku tajam.
Aku kembali menggeleng.

"Maaf jika aku tak mendengar... " Sahutku pelan.
Panji tersenyum.

"Ada yang sedang kamu pikirkan ?" Tanyanya lagi.
Aku terdiam sejenak kemudian kembali menggeleng. Mencoba meyakinkannya. Tatapanku kembali mengarah ke layar televisi di hadapanku.

"Mungkin karena aku terlalu asyik menikmati filmnya". Elakku lagi.
Panji menggeleng-gelengkan kepala.

"Hmm, sejak kapan kamu suka film perang begini, Din ? Biasanya kalau aku memutar film seperti ini kamu selalu ribut minta ganti". Ujarnya heran.

"Oh itu mungkin karena kita belum punya kaset film baru untuk diputar". Aku mencoba tersenyum ke arahnya.
Panji mengernyitkan dahi kemudian mengangkat bahunya.

"Aku berangkat ke kantor dulu ya, sayang. Kamu hati-hati ya di rumah..." Pamitnya mencium keningku.
Aku mengangguk.

"Hati-hati ya..." Pesanku sebelum sosoknya menghilang dari depan rumah bersama kendaraannya.

Melamun ?
Bisikku pada diri sendiri. Kenapa akhir-akhir ini aku sering kali melamun ?
Bukan hanya melamun, bahkan terkadang aku juga sering mendapati pikiranku tak berisi apapun alias hampa.

Aku seolah mati rasa... Sehingga aku bingung bagaimana mendefinisikan perasaanku yang sebenarnya.
Perasaan bimbang, ragu, sedih, kadang bahagia dan senang bergelut jadi satu dalam diriku.

Tuhan, Ada apa denganku ?

"Arman..."
Ketikku di layar pesan kemudian mengirimkannya ke no HP Arman.

"Iya Dinda".
Balasnya sesaat kemudian.

"Tolong..."
Ketikku di layar pesan.

"Kenapa, Dinda ? Ada apa denganmu ?"
Tanya Arman beruntun setelah kemudian menghubungiku melalui telepon.
Aku terdiam dan menghela nafas yang terasa begitu berat.

"Aku ingin berhenti... " Bisikku.
Suasana hening sejenak meliputi kami.

"Maksudmu ?" Arman bertanya dengan nada tak yakin.
Aku menarik nafas panjang.

"Aku ingin berhenti, Arman... Aku tidak mau kita seperti ini. Aku ingin berhenti, Man... Tapi, aku tidak bisa..." Aku mulai terisak.

"Aku harus bagaimana, Man ?" Lanjutku kemudian.
Arman terdengar menarik nafas panjang.

"Aku mengerti, Dinda... " Bisiknya lirih.

"Pelan-pelan saja ya... " Lanjutnya menenangkan.

Aku memejamkan sepasang mataku kuat-kuat.

"Ini salah kan, Man ? Maafkan aku karena akulah yang pertama menyeretmu ke dalam lingkaran kesalahan yang kita lakukan... "
Aku terdiam sejenak. Menahan rasa sesak yang tiba-tiba memenuhi dadaku.

"Dinda... Kamu lupa ya kalau aku pun terlibat ?" Tanyanya.

"Ya. Karena aku. Maafkan telah melibatkanmu, Arman. Seandainya aku tetap diam ya... " Bisikku miris.
Arman tertawa sumbang.

"Tidak ada yang perlu disesali, Dinda. Semuanya sudah terjadi. Begitu juga kisah kita. Anggap saja ini takdir ". Bantahnya.

"Arman... Aku tidak mau takdir yang seperti ini... " Sahutku lirih.
Arman terdiam.

"Takdir itu kita yang melukisnya sendiri kan, Arman ?" Tanyaku melanjutkan.

"Iya, Dinda... " Sahutnya mengiyakan.

"Aku ingin takdir yang benar, yang tidak akan menyakiti siapapun. Aku ingin semuanya berakhir bahagia, termasuk kita berdua... " Bisikku.
Arman terdiam.

"Lalu apa yang membuatmu bahagia, Dinda ? Tolong tanyakan pada hati kecilmu... " Tanyanya kemudian.
Aku memejamkan mata. Mencari penguatan dari dalam hatiku sendiri.

"Tentu saja jawabannya adalah kamu, Arman... Ah, tahukah kamu, aku begitu menginginkanmu ?? Sampai terkadang aku merasa ngeri pada diriku sendiri, Man. Aku khawatir cinta ini berubah menjadi sebuah obsesi... "

"Dinda... " Arman mencoba memotong pembicaraanku.

"Anehnya, Arman... Aku merasa hanya aku yang menginginkanmu... Sementara kamu tidak. Lucu ya... " Aku memaksakan diri untuk tertawa.

"Bukan begitu, Dinda... "

"Nanti lagi ya, Man... Aku lelah... Bye... " Aku menutup pembicaraan bahkan sebelum Arman sempat membalas kalimat pamitku.

Aku membantingkan tubuh di sudut sofa ruang tengahku. Meringkuk di sana dengan sepasang lengan memeluk lututku sendiri.

Tuhan, tolong aku...
Bantu aku mengatasi diriku sendiri...

***

Love & Time (Complete + Chapter Bonus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang