Bab 20

43 0 0
                                    

"Kak Dinda, sudah dengar kabar belum ?" Suara di seberang telepon terdengar antusias.
Aku mengerutkan kening.

"Soal Kak Arman, Kak". Sosok itu terdengar tak sabar.

"Sejak kabar kalian berdua putus, Kak Dinda gak denger soal apa pun tentang Arman, Fit. Arman seolah menutup diri dari Kak Dinda". Sahutku penasaran.

Ya beberapa minggu sejak SMS tengah malamku dengan Arman, kami tak lagi berkomunikasi apapun.
Padahal sungguh , aku ingin sekali mendengar darinya langsung tentang apapun yang terjadi kepadanya.
Hanya saja karena Arman tak lagi menghubungiku, kuputuskan untuk membiarkan komunikasi di antara kami kembali membeku seperti sebelumnya.

Mungkin bagi Arman, aku bukan lagi sahabat terbaiknya.
Itu sebenarnya cukup bagus bagiku. Setidaknya perasaanku terhadapnya akan kembali netral seperti dulu sebelum aku menyadari kalau aku pernah mencintainya.

"Pacar Kak Arman yang baru, Kak Dinda. Namanya Amelia". Suara Fita di seberang menjelaskan.
Entah kenapa tiba-tiba aku seperti terdorong untuk tertawa.

"Ihh Kak Dinda kok malah ketawa sih ??" Tanya Fita gusar.
Aku menghentikan tawaku sebelum dia memprotesku lebih jauh.

"Oh jadi Fita masih memantau kabar Arman. Cieee masih sayang ya ?" Godaku.

"Idih amit-amit. Enggaklah Kak. Ini juga Fita dapet kabar dari temen Fita. Kalau gak dikasih tahu mana mau Fita nyari tahu. Ogah banget". Tukas Fita menggerutu.
Aku tertawa terbahak-bahak.

"Kirain Kak Dinda tahu. Biasanya kan Kak Arman selalu cerita ke Kak Dinda kalau punya pacar baru". Lanjutnya lagi.

Aku mendadak terdiam. Kalimat yang baru saja Fita ucapkan entah kenapa sanggup membuat hatiku mencelos.

"Sudah tidak pernah lagi, Fit". Bisikku pelan.
"Persahabatan kami sudah tak seperti dulu lagi. Arman terasa sangat jauh sekarang..." Lanjutku lagi.

Mau tak mau aku merasakan kegetiran ketika mengucapkan kalimat itu barusan.

"Ooh seperti itu ya, Kak. Fita gak tahu, Kak. Maaf ya..." Suara Fita terdengar prihatin.
Aku mencoba tersenyum menanggapinya sebelum obrolanku dengan Fita benar-benar berakhir di telepon.

Ah Arman... Seperti itulah kamu sekarang di mataku.
Begitu jauh...
Bukan hanya sosokmu yang terasa sangat jauh di mataku. Tapi juga di hatiku. Dalam artian yang sebenar-benarnya.
Bahkan aku sendiri tidak tahu bagaimana sekarang aku harus memandang sosokmu dalam mataku.

Sahabat ? Bahkan sekedar saling bertanya kabar pun tak lagi kita lakukan.
Saudara ? Meskipun kau telah dianggap sebagai salah satu bagian dari anggota keluargaku oleh Ayah, Ibu dan adikku tapi aku tak pernah melihatmu dengan cara yang sama seperti yang mereka lakukan.

Kamu siapa bagiku, Arman ?
Entah kenapa aku mulai merasa kamu seperti orang asing bagiku ?

***

"Jangan !"

Entah kenapa kata itu mendadak terlontar begitu saja dari bibirku.

Sosok di hadapanku menatapku dengan sorot mata terkejut. Begitu pula hampir seluruh anggota keluargaku yang tengah berkumpul di ruang tamu.

Wajahku memanas. Seandainya ada cermin di hadapanku, bisa kupastikan warna kulit mukaku senada dengan warna kepiting rebus.

"Maksudnya jangan ditunda. Segerakanlah. Niat baik kan gak boleh ditunda-tunda". Tukasku cepat.
Sadar 5 pasang mata menatapku keheranan dengan perkataanku sebelumnya.

"Oooohh...". Koor serempak seisi ruangan menggema.
Kecuali kamu, Man. Ya, Kamu.
Orang yang hampir 17 tahun ini kucintai dalam diam. Orang yang entah bagaimana bisa masuk ke keluargaku menjadi salah satu anggotanya. Tanpa ikatan darah bahkan proses hidup yang menjadikanmu sebagai salah satu dari kami.

Bagi orang tuaku, kamu adalah salah satu dari anak mereka.
Bagi adikku, kamu adalah kakaknya selain aku.
Sedangkan bagiku, kamu bukan kakak, adik ataupun teman biasa. Tapi seperti sebagian lain dari diriku.

Sepasang mata Arman masih menatapku tajam. Dengan sorot mata yang sama seperti yang kuingat dulu. Aku tertunduk.

"Mohon doa dari semua supaya lancar sampai acara berlangsung ya. Terutama dari Ibu dan Bapak". Ujarnya beralih menatap kedua orang tuaku.
Aku memalingkan wajah menahan sesak yang sedari tadi mendera hati.

"Ibu sama Bapak mendoakan, Nak. Alhamdulillah akhirnya kamu mau menikah juga. Oalah Nak Arman, di usiamu yang sudah 32 tahun ini seharusnya kamu udah punya anak 2". Sahut Ibuku dengan mata berbinar.
Arman tersenyum. Senyum yang sama seperti dulu.
Seperti yang kuingat sejak aku mengenalnya belasan tahun yang lalu.

"Iya Bu. Mungkin baru sekaranglah saatnya. Jangan lupa Bapak, Ibu dan semua keluarga di sini harus datang ke acara pernikahanku ya". Ujar Arman seraya berpamitan.

"Insyaa Allah, Nak. Bapak dan Ibu usahakan. Begitu juga adik-adikmu. Iya kan, Din ?" Ibu menatap ke arahku. Aku mengangguk tak yakin.

"Aku pamit, Dinda". Tangan Arman terulur ke arahku.
Aku menyambutnya dengan berbagai rasa.
Antara tak ingin melepaskannya sementara di sisi lain aku tahu sosok itu harus segera pergi.

Bukan hanya dari hadapanku. Tapi juga dari hatiku...
Selamanya.

***

Love & Time (Complete + Chapter Bonus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang