Bab 24

45 0 0
                                    

"Maaf aku tidak bisa... Man"

Semenit yang lalu pesan singkat itu baru saja kukirim ke nomer Hp Arman.
Aku tahu dia pasti kecewa. Namun setelah nyaris semalaman aku pertimbangkan masak-masak belum bingung mencari alasan apa saat meminta izin pada Panji untuk menemui Arman, kurasa ini adalah keputusanku yang terbaik.

Aku merindukannya, sungguh. Namun aku tidak mau menemuinya dengan perasaan bersalah pada suami yang akan membebaniku.

"Aku mengerti..."
Balas Arman kemudian meneleponku.

Aku menghembuskan nafas yang terasa berat.

"Maafkan aku, Man..." Bisikku lirih.

"Aku pulang sore ini, Dinda. Aku masih menyimpan harapan suatu saat kita bisa bertemu lagi. Bagaimanapun kondisi perasaan kita yang sebenarnya, kita berdua masih tetap bersahabat kan ?" Tanyanya memastikan.

Aku memejamkan mata. Menahan perasaan sedih dan rindu yang berbaur menjadi satu mendengar setiap kalimatnya.

"Ya. Kita masih sahabat... " Gumamku tak yakin.

"Sampai jumpa entah kapan, Dinda..." Pamit Arman nyaris berbisik ketika pembicaraan kami berakhir.

Aku menggigit bibirku kuat-kuat. Menahan rasa pedih mendengar kalimat terakhirnya.
Sampai jumpa entah kapan, Arman...
Aku pun tak tahu kapan kita bisa bertemu lagi setelah hari pernikahanmu beberapa bulan yang lalu.
Dengan status kita masing-masing, aku merasa jarak kita begitu jauh... Bahkan seandainya kau berdiri di hadapanku sekalipun, aku akan dapat merasakan tembok super tebal menjadi pembatas kita sekarang...

***

"Aku mencintaimu, Dinda..."
Sosok di hadapanku menatapku dengan sorot mata yang sangat dalam. Aku balas menatapnya. Mencari kesungguhan dari setiap kata-katanya.

"Aku pun mencintaimu, Arman..." Bisikku akhirnya.
Sosok tersebut tersenyum lembut. Mengulurkan lengannya ke arahku. Namun sebuah dinding kaca raksasa membentang di antara kami berdua. Telapak tangan kami bertemu dibatasi dinding tersebut. Aku menatapnya kebingungan. Perlahan sosoknya memudar seiring terbukanya sepasang mataku.

Ah sial !! Kenapa aku harus bermimpi hal seperti ini lagi sih ?? Keluhku dalam hati.
Ini sudah sangat keterlaluan.
Bahkan di saat sosok Panji, suamiku sendiri berbaring lelap di sampingku pun, bisa-bisanya aku bermimpi tentang laki-laki lain.
Laki-laki yang nyaris separuh hidupku kulalui bersama kenanganku tentangnya.

Arman... Tidak bisakah kau memberikanku sebuah ruang untuk diriku sendiri ?
Bahkan dalam tidurku pun kau masih saja mengusikku melalui mimpi.

Aku letih, Arman... Segenap hati dan pikiranku sepertinya terkuras karena kamu...

Aku ingin berhenti memikirkan kamu.
Aku ingin berhenti mencintaimu !

***

"Arman... Aku merindukanmu..."
Aku nyaris tak percaya akhirnya kalimat itu terlontar begitu saja dari bibirku hari ini.
Ketika Arman meneleponku dan kami baru saja bernostalgia bercerita panjang lebar tentang masa-masa sekolah kami dulu.

"Benarkah ?" Tanyanya dengan nada tak percaya.
Pipiku memanas. Mendadak aku merasa malu pada diriku sendiri.

"Aku juga merindukanmu, Dinda". Bisiknya kemudian.
Aku tersenyum. Sepasang mataku berbinar dan kurasakan hatiku begitu penuh saat mendengar kalimatnya barusan.

"Ah, tidak bisakah kita menghilang sejenak ke dunia yang hanya ada kita berdua saja ?" Entah apa yang mendorongku sehingga aku begitu berani melontarkan perkataan tersebut.
Arman terdiam sejenak.

"Ada 2 pilihan, Dinda... Dunia hitam... Atau dunia mimpi". Sahut Arman pelan.
Aku memejamkan mata mencoba mengembalikan kejernihan pikiranku.

"Aku memilih yang kedua. Dunia mimpi". Bisikku.
Arman menarik nafas.

"Mimpi setidaknya memberikan rasa yang hampir nyata ya ?". Ujarnya menimpali.
Aku tertawa pelan.

"Ya... Hanya saja efeknya membuatku tidak ingin terbangun". Sahutku miris.

"Dinda, kamu percaya takdir kan ? Adakah seorang pun dari kita tahu apa yang menunggu kita di masa depan ? Tidak ada, Dinda. Tapi dengan mengetahui bagaimana perasaan kita masing-masing yang sebenarnya, kuharap akan menentukan takdir kita di masa depan". Tutur Arman bijak.
Aku tersenyum tak tahu harus berkata apa.

"I love you, Arman..." Bisikku akhirnya.

"I love you too, Dinda" Balasnya lembut.

***

Ini salah !
Bisikku pada diri sendiri.
Kemudian pikiranku menerawang ke semua kejadian akhir-akhir ini yang kualami. Setiap komunikasiku dengan Arman entah itu melalui pesan singkat atau telepon seharusnya tidak boleh terjadi.

Banyaknya ungkapan cinta dan kerinduan di antara kami meskipun hanya sebatas kata-kata adalah sebuah kekeliruan.
Bagaimanapun kami berdua sudah menikah dengan pasangan masing-masing.
Sudah semestinya kami menjaga sikap dan tutur kata terhadap satu sama lain.
Meskipun pasangan kami tidak mengetahuinya, namun sudah sepantasnya kami menghargai pernikahan kami masing-masing.

Ah... Mungkin sudah saatnya aku berhenti dan benar-benar melupakan perasaanku terhadapnya.
Meskipun bagiku Arman seperti setengah bagian dari diriku, tapi aku harus melakukannya.

Bahkan jika harus membunuh separuh dari hatiku sekalipun.
Harus...

***

Dearest 'Hati' ...
Aku memutuskan kembali seperti dulu...
Tetap mencintaimu dalam diam, senyap dan tak lagi gaduh.
Kembali menatapmu dari jauh...
Mencari kabar tentangmu kepada setiap hembusan angin yang berbisik, tanpa harus mengganggumu tentunya.

Aku tetap menunggu itu satu hal yang pasti.
Namun dalam penantianku, aku harus berusaha untuk tidak mengotorinya.
Aku ingin aku dan kamu merasa bangga dengan kisah kita nantinya...

Jika memang Tuhan takdirkan untuk bertemu,
Ini akan menjadi cerita hidup yang sangat indah tentang masa penantian yang berujung bahagia.
Namun jika takdir tak mempertemukan kita, aku tetap bangga karena baik itu aku atau kamu telah menjadi 2 orang dewasa dalam menyikapinya.

Masih ingatkah kamu tentang kisah Ali & Fatimah ??
Keduanya saling mencintai sejak remaja, namun tetap diam hingga Tuhan mempertemukan mereka dalam jalinan cinta yang Tuhan restui.

Atau tentang kisah Radha & Khrisna ??
Sepasang sahabat dari kecil yang sebenarnya saling mencintai.
Meski takdir Tuhan tak menyatukan mereka dalam ikatan pernikahan, namun cinta mereka begitu indah...
Semua tahu Radha begitu mencintai Khrisna dan Khrisna pun mencintai Radha.

Ya, keindahan yang menyakitkan seperti katamu dulu...
Namun aku yakin rencana Tuhan selalu yang terbaik untuk kita.
Tidak ada kata kebetulan dalam setiap peristiwa yang terjadi.
Termasuk ketika aku memutuskan untuk mengawali mengungkapkan semua isi hatiku tentangmu.

Apapun kelak hasilnya...
RencanaNYA lah yang terindah...
Selamat tinggal, 'Hati'...

Status Pesan : Terkirim

***

Love & Time (Complete + Chapter Bonus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang