VOLUME I : Alliester Gideon

1.8K 102 8
                                    

Sapaan:

Saya selaku author tidak tahu apakah cerita yang saya revisi ini akan kehilangan jumlah views atau tidak, sebab itu bukan sebuah masalah, namun satu hal yang pasti tujuan saya mendaur ulang cerita ini hanya untuk memperbaiki kualitas penulisan yang dulu karena kurangnya pengalaman.

Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca, jika kalian suka silakan tekan tombol vote dan jangan lupa nyalakan notifikasi dengan memasukkan cerita ini ke dalam perpustakaan supaya ketika chapter baru rilis akan ada pemberitahuannya.

Tidak perlu berlama-lama, langsung saja kita simak chapter pertama.

Note : versi pertama saya garap pada pertengahan hingga menjelang akhir tahun 2017

° ° °

Sang mentari pergi menghadirkan cakrawala yang kian kentara. Cahaya keemasan yang indah terlukis di ujung langit barat. Tinggal menunggu sejenak sampai sinarnya lenyap di balik gunung Gallor.

Angin senja membelai lembut rambut putih anak laki-laki yang tergeletak tak berdaya di tanah berdebu penuh kerikil. Wajahnya penuh lebam, peluh membasahi tubuhnya. Darah segar tak berhenti keluar dari lubang hidung bocah tersebut. Dia baru saja dijotos dengan brutal.

Pelaku pemukulan tertawa puas bersama dua teman sembari menatap rendah anak malang itu. Sesekali ejekan keluar dari mulut ketiganya.

"Hanya segini?! Masih lemah!" hardik bocah bertubuh besar sembari mengibaskan tangan kanan, masih terasa sekilas hantaman sendi jemari mengenai wajah anak yang dicemoohnya.

"Ini rekor baru, tuan muda Barton! Anda berhasil menghajarnya sejauh lima meter, lebih satu meter dari tempo hari." Anak kurus ceking di sebelah Barton menimpali dengan pujian dan tepuk tangan.

"Anda memang hebat, tuan muda!" Sahut pria kribo dari sisi lain tak kalah sumringah.

"Itu sudah pasti, bukan? Di wilayah ini, tidak ada bocah yang lebih kuat dariku!" kelakar Barton jumawa.

Ketiganya kompak tertawa congak.

"Menyebut diri sendiri bocah, pantas ocehanmu isinya lelucon!"

Tiba-tiba seseorang menyahut dari arah belakang, membuat Barton dan dua temannya kicep. Suara lembut namun ketus, Barton menduga pemiliknya seorang gadis.

Benar saja, ketika Barton menoleh ke belakang, seorang perempuan berdiri tak jauh dari mereka. Surainya lurus putih keabuan memanjang sampai lengan dibiarkan tergerai. Sinar matahari membuat kulit mulus Elena tampak bersinar, bibir tipisnya terlihat elok nan mempesona.

Barton menelan ludah. Dia tidak tahu siapa gerangan, akan tetapi sekilas tampak familiar baginya. Satu hal yang pasti, perempuan itu pasti bukan dari keluarga sembarangan.

"Siapa kau? Mau sok jadi jagoan?" tanya Barton menggeram, jelas dia perlu menyembunyikan kegugupan yang dirasakan.

"Oh, sepertinya kau pangling? Padahal baru setahun lebih aku tidak melihat kalian."

"Tu-Tuan muda, sepertinya dia nona Elena," bisik si bocah kribo seraya mendekati Barton.

Mendengar hal itu Barton sadar. "Aku tahu bodoh," timpalnya ketus berlagak sudah tahu sedari awal.

CAVALIERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang