Januari, 2016.
".....aku fikir lebih baik kita menjadi teman."
Aku tertegun. Walaupun kenyataannya aku lebih dari tau bahwa pertemuan malam ini pasti menjadi ajang untuk mengakhiri hubungan kami. Tapi yang tak pernah aku bayangkan adalah fakta bahwa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku beberapa kali mengecek notifikasi di layar android milikku, berharap dia segera memberi kepastian dan tak membuatku menunggu dengan tampang bodoh di pinggir jalan raya, namun nihil.
Aku inisiatif menelfonnya. Diangkat.
"Dimana?" Tanyaku tanpa basa-basi lagi.
"Nih lagi diluar, beli minum bentar. Udah pulang kerja?"
"Aku udah pulang dari tadi. Niat jemput aku engga sih?"
"Oke aku habisin minum bentar terus jemput kamu."
"Engga mau. Kalau kamu engga nyampe sini dalam waktu lima menit, aku pulang sama abang-abang yang kerja di apotik itu."
"JANGAN!!!!"
"Aku kasih waktu lima menit."
"Aku habisin minum dulu."
"Lima menit!!!!!"
"Aku pasti jemput tapi aku habisin minum dulu, minumannya masih panas."
"Lima menit!"
Keputusanku sudah final dan aku tak mau menunggu lebih dari lima menit lagi. Dia menghela nafas di seberang, pasti dia kesal.
"Tunggu disitu."
Pip. Panggilan terputus dan hanya menyisakan suara kendaraan berlalu-lalang di hadapanku. Aku tersenyum samar. Jadi, aku masih prioritasnya kan?
Dia datang tiga menit kemudian. Cepat juga fikirku.
"Naik, udah malam. Aku antar pulang."
Aku beranjak dari tempat dudukku sedari tadi dan berjalan menghampirinya. Menaiki motornya dan duduk tepat dibelakangnya. Tawaku tak terbendung lagi saat dia bercerita bahwa lidahnya melepuh karena harus menghabiskan minuman yang masih panas dengan cepat demi menjemputku. Maafin aku yaa..