Kepalanya yang terasa pusing menjadi semakin meradang saat para perempuan di sekitarnya berceloteh dengan heboh. Kailyn memijit pelipisnya, sungguh yang dia butuhkan sekarang adalah sekedar ketenangan.
"Jaga bicaramu Rhea."
"Kenapa Al? Kau hanya takut menemukan fakta bahwa kita memang akan dijadikan pelacur di sini?" Alejandra mendengus sambil memalingkan wajahnya. Siapapun di antara mereka pasti tidak ada yang menyalahkan perkataan Rheana, tapi mereka terlalu takut untuk membenarkan kemungkinan itu.
"Astaga, bahkan aku sekarang sedang bertengkar dengan Bob. Dia akan sadar dengan kehilanganku dan akhirnya memutus hubungan sepihak." Laqueena mencoba mencairkan suasana yang mencekam.
"Aku tidak peduli dengan kekasihmu. Sialan, bekas lakban ini masih terasa nyeri."
Tepukan pelan di bahu kiri Kailyn mengalihkan perhatiannya dari Rheana yang terus mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Di sampingnya terlihat Vanessa yang tersenyum kecil.
"Bagaimana keadaan tangan dan kakimu Kai?"
"Aku baik-baik saja."
"Kenapa mereka banyak bicara ya? Padahal aku ingin tidur." Akhirnya, dari semua saudaranya ada juga ternyata yang berpikiran sama dengannya.
Kailyn memperhatikan setiap wajah di sekitarnya dan mendesah, setidaknya dia tidak sendirian. Alejandra, Rheana, Laqueena, dan Vanessa ada bersamanya, meskipun mereka semua bukan saudara sedarah.
"Kai ...." Rengekan Rheana membuatnya tergugah dan menaikkan alis sambil menatap perempuan bermata biru di depannya.
"Apa kau tidak bisa bilang kepadanya bahwa setidaknya kita membutuhkan ponsel?"
"Kau ingin Kai mati? Tangan dan kakinya saja sudah terluka," geram Alejandra sambil menunjuk Kailyn. Tapi sedetik kemudian Kailyn sadar, mereka memang tidak bisa dipenjara di dalam kamar yang bahkan hanya terdapat satu ranjang. Apalagi dengan semua alat komunikasi yang dirampas.
Kailyn mempunyai pekerjaan, begitupula dengan yang lainnya. Tidak mungkin mereka berlima harus keluar dari profesi dengan mendadak. Baru saja Kailyn akan berbicara namun disela oleh bunyi kunci diputar yang kemudian membuat pintu terbuka. Di sana terlihat seorang laki-laki yang mereka kenali bernama Vandesh.
"Nona Kailyn, Mr.Axton ingin berbicara kepada anda." Semua pasang mata memandangnya dan tiba-tiba Kailyn susah untuk sekedar mengalirkan saliva ke tenggorokan.
"Aku?" Vandesh mengangguk. "Sendiri?"
"Benar. Silahkan ikuti saya." Di antara mereka yang bisa bela diri memang hanya Kailyn. Meskipun biasanya dia yang paling tidak kenal takut, tapi jujur saja Axton bukanlah orang yang ingin dilawannya untuk yang kedua kali. Kailyn akan kalah telak, lagi.
Kailyn membuntuti Vandesh sambil memerhatikan bangunan di sekitarnya. Rumah ini terasa asing, bahkan lantai marmer yang bertabrakan dengan sepatunya terdengar tidak bersahabat. Axton memang orang yang tidak mempunyai pekerjaan karena memboyong mereka berlima untuk ke New York yang membutuhkan waktu tiga jam-an.
Vandesh berhenti dan mengetuk pintu berwarna putih tepat di depannya. Setelah mendapat sahutan, Vandesh membukanya dan mempesilahkan Kailyn untuk masuk. Kailyn menurut dan menemukan tubuhnya sudah berada di ruangan yang berdominan warna abu-abu dengan harum musk. Dia dibuat terkejut saat Vandesh menutup pintunya tanpa mengikutsertakan dirinya untuk menemani Kailyn di dalam.
Tentu saja Kailyn khawatir. Ruangan ini adalah sebuah kamar yang di tengah-tengahnya terdapat ranjang yang menjadi sandaran Axton. Laki-laki itu sedang duduk dan menyenderkan punggunya di kepala ranjang sambil menutup mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Black Savior [SH-1]
Romance[1-SISTERHOOD] Membeli seorang manusia layaknya barang adalah suatu kekejian. Dan itu yang dialami Kailyn beserta empat saudaranya. Jatuh ke tangan pria tidak berbelas kasihan yang menginkan agar semua ucapannya tidak ditentang. Axton adalah mimpi b...