"Badanku sakit." Kailyn menghela nafas mendengar banyak keluhan yang sedari tadi dikeluarkan saudaranya. Nyatanya memang Axton adalah pria brengsek, dia tidak mengubah apapun megenai pengaturan tempat tidur mereka yang hanya ada satu ranjang di dalamnya.
Rheana, Laqueena dan Vanessa menempati ranjang. Alejendra tidur di sofa yang tidak bisa menampung seluruh tubuhnya dan Kailyn memilih mengalah untuk menggelar selimut di atas karpet.
"Kalian tidak membicarakan apapun tentang ini Kai?" Alejandra menggerak tubuhnya ke kanan dan ke kiri yang terasa kaku sambil matanya masih tertuju pada Kailyn.
"Aku bersumpah sudah mengatakan kepadanya. Tentang tempat tidur, ponsel yang dirampas dan pekerjaan kita, tapi arghh ... si brengsek itu bahkan mengabaikan semuanya." Kailyn dengan sadar tidak mungkin memberitahu mereka mengenai penawaran Axton yang termasuk bentuk pelecehan pada harga dirinya. Dia hanya menceritakan mengenai papa dan mengapa mereka bisa berada di genggaman Axton seperti ini.
"Aku ada pemotretan, dan mungkin sekarang Zecca sudah mencak-mencak mencariku dengan kata-kata kasarnya." Rheana bersandar di kepala ranjang dengan menggumam sesuatu yang berhubungan dengan manajernya.
Kailyn menatap iba, pasalnya semenjak kehidupan Rheana menjadi model banyak rumor jelek yang tersebar dengan mengaitkan namanya. Kini saat dia berusaha berjuang untuk mempertahankan karirnya, Axton malah menahan.
"Aku ada rapat dengan pimpinan direksi pagi ini. Tapi sepetinya membolos satu hari tidak masalah." Vanessa menyambung dan mendapat pelototan dari yang lain. Hal itu membuatnya mengangkat salah satu alisnya.
"Apa? Oh ... fine. Aku akan dipecat jika tidak masuk kerja. Itu yang ingin kalian dengar bukan?"
Laqueena menghela nafas. "Yah ... kita semua memang memiliki pekerjaan dan tidak bisa berbuat apa-apa. Dasar Cesaro sialan." Kata-kata terakhirnya yang terucap dengan pedas menjadi sorotan. Mereka berlima memang membicarakannya semalam, tapi cukup terkejut untuk menanggapi.
"Jangan membuat pandangan berlebihan. Kita tidak akan berada di sini jika bukan karena dia. Lebih baik dulu aku tidak mudah terbujuk dan keluar begitu saja meninggalkan panti asuhan."
"Papa ya .... BULLSHIT." Alejandra menanggapi sambil tersenyum masam. "Nyatanya orang yang aku percaya kini hanya kalian. Kalian, tidak ada yang lain." Keheningan yang menyergap sesaat akhirnya terbuyar saat Laqueena bergegas menuju Alejandra dan memeluknya. Melihat itu Rheana dan Vanessa juga ikut bergabung, sedangkan Kailyn masih termenung di tempatnya.
Mendengar pernyataan Alejandra membuat Kailyn sadar bahwa mereka di sini adalah keluarga yang sebenarnya. Saling berbagi perasaan karena mengalami kesakitan bersama. Saling mempercayakan bahwa semua akan baik-baik saja jika mereka masih bersama. Dan mengupayakan yang terbaik untuk keluarga.
Kailyn perlahan ikut mendekat, dan dengan mantap melingkarkan kedua tangannya. Kini dia merasa bersalah, saudaranya bisa bebas, mereka semua bisa keluar dari sini hanya dengan sedikit pengorbanan darinya tapi Kailyn malah mengenyahkannya. Mungkin ini yang bisa dia berikan untuk keluarganya, mengingat di antara mereka memang Kailyn yang paling tua.
Untuk teman-temannya, untuk sahabatnya, untuk keluarganya, keluarga sebenarnya.
***
Kailyn mengunyah makanannya dengan perlahan, rasa sedap yang dialirkan melalui lidahnya tidak bisa membuat perasaannya melonjak bahagia.
"Aku menerima tawaranmu." Denting sendok dan garpu di hadapannya berhenti dan Kailyn merasakan bahwa Axton menatapnya.
Beberapa waktu yang lalu, Vandesh memasuki kamar dan meminta Kailyn untuk menemani Axton sarapan. Jelas saja banyak kerutan dan tanda tanya di dalam pikiran semua saudaranya, pasalnya Axton menginginkan ruang pribadi bersama Kailyn dua kali. Pada akhirnya bantahan dengan alasan Kailyn adalah yang paling tua dan yang pantas untuk bertanggung jawab atas mereka semua membuat mereka bungkam.
Kailyn menggunakan kesempatannya, dengan berat hati dia menerima penawaran Axton tadi malam dan mendoakan untuk keselamatan dirinya sendiri.
"Memangnya apa yang aku janjikan padamu?" Kailyn mendongak saat Axton membalasnya. Suara lelaki itu memang tidak beremosi tapi Kailyn tahu bahwa Axton sedang mengejeknya. Lelaki itu dengan sengaja ingin mendengar pengakuan Kailyn bahwa dia telah setuju menjadi pelacurnya.
"Penawaranmu tadi malam," cicit Kailyn, rasanya dia ingin mengumpat saat melihat Axton mengerutkan dahinya tidak mengerti, laki-laki ini memang bedebah sialan.
"Oh ayolah, kesepakatan apa yang kau maksud? Aku mempunyai penawaran dengan banyak orang, jadi mengingat salah satu yang telah aku ajukan kepadamu cukup sulit." Kali ini Kailyn menatapnya tajam dan tentu saja Axton tidak terpengaruh, malah ujung bibirnya tertarik melihat perempaun di depannya yang seakan ingin membunuhnya.
Kailyn tahu bahwa Axton hanya ingin mempermalukan dirinya. Bagaimana bisa dia tidak mengingat kesepakatan antara mereka jika yang ada di dalamnya adalah mengenai tubuhnya? Axton memang seorang iblis.
"Bebaskan saudaraku dan aku akan tetap tinggal di sini."
"Dan apa yang akan kau lakukan di sini?"
Kailyn menahan amarahnya. Dengan cepat dia menghirup udara di sekitarnya dan mengeluarkan melewati mulutnya. Dia harus tenang jika ingin menghadapi Axton. "I will be yours."
Tidak ada sahutan dan Axton meneruskan makannya, hal itu membuat Kailyn bingung. Apa sebenanya yang ada di kepala Axton? Tapi tidak perlu menerka lama, lelaki itu sudah mengeluarkan suara.
"Aku akan membebaskan mereka besok dan membiarkan mereka menempati rumah kalian yang berada di Washington D.C lengkap dengan pelayannya." Mata hitam Axton kembali menatapnya, membuat anggukan pelan dari kepala Kailyn yang masih tidak mengerti.
Sudah? Segampang inikah? Tapi mengingat dirinya yang akan terus tinggal di rumah Axton dan satu atap dengannya untuk waktu yang sangat lama membuatnya mengerang. Sekali lagi wajah Rheana, Vanessa, Laqueena dan Alejandra terbayang dalam sekelibat otaknya, dan Kailyn tersenyum tipis, untuk mereka.
"Lanjutkan makanmu, aku pergi." Axton menyesap kopi hitamnya, kemudian bangkit dan segera keluar.
Bibirnya tertarik membentuk senyuman tipis saat mengetahui Kailyn setuju dengan penawarannya. Tentu saja Axton hanya berpura-pura tidak ingat. Perempuan itu sesekali harus diberi pelajaran karena telah berani melukainya.
Kemudian ponsel yang bergetar menginterupsi dan decakan samar keluar dari mulut Axton saat melihat nama yang terpampang di layar tipis yang terang. Tanpa menunggu lama dia segera mengangkat sambil memasuki mobil dan menyuruh sopir untuk berangkat.
"Kau sudah mendapatkannya?"
"Ya." Axton tidak ingin berbasa-basi dengan orang di sebrang, mendengar suaranya saja membuatnya muak.
"Jangan menyentuhnya Axton, jangan merusaknya dan jangan melakukan apapun padanya. Dia milkku."
Axton terkekeh mendengar ancaman itu, batinnya ingin bermain. "Bagaimana aku bisa bertahan dengan wanita secantik itu saat dia berada di rumahku?"
"Sialan, kau tidak melupakan Emily kan?" Kali ini ganti lawan bicaranya yang terkekeh saat mendengar geraman dari mulut Axton. Bahkan utuk beberapa menit, keadaan masih tetap seperti itu, membuat Axton ingin menembak kepalanya dan merasakan sensasi saat timah panas menembus otaknya.
"Aku akan mendapatkan Kailyn, dan Emily kembali padamu. Pertukran yang adil dan aku sangat menantikannya." Sambungan terputus sepihak dan wajah Axton sepenuhnya menggelap. Diraihnya sebatang rokok dan menyulutnya dengan api.
Dari sela-sela bibirnya yang mengeluarkan kepulan asap kelabu, terdapat serentetan cacian yang tidak terlihat.
Brengsek.
Vote & Comment
KAMU SEDANG MEMBACA
The Black Savior [SH-1]
Romance[1-SISTERHOOD] Membeli seorang manusia layaknya barang adalah suatu kekejian. Dan itu yang dialami Kailyn beserta empat saudaranya. Jatuh ke tangan pria tidak berbelas kasihan yang menginkan agar semua ucapannya tidak ditentang. Axton adalah mimpi b...