Samar-samar obrolan beberapa orang melampui indra pendengarannya. Geraman marah hingga desisan tajam tidak luput untuk bercampur menjadi satu. Sampai kemudian dentuman nyaring dari benda bernama pistol sukses membangunkan Kailyn dengan kesadaran penuh.
Kepalanya terangkat dan tulang punggungnya menegak. Matanya menatap awas sekitar dengan kekhawatiran yang tidak tertutupi.
Kailyn yakin bahwa suara yang dia dengar bukan berasal dari bunga tidurnya. Terlalu jelas hingga bisa menyentakkan rohnya dari alam mimpi.
Kailyn menghela nafas gusar dan beranjak dari ranjang. Dahinya mengernyit dalam saat mengetahui bahwa ruangan yang dia tiduri bukanlah kamar tidurnya. Kamar yang sama yang pernah dia datangi beberapa hari lalu. Kamar berdominan abu-abu yang terasa tidak asing dalam ingatannya. Kamar milik Axton. Kailyn berdecak setelah menyadari semua itu.
Di sekitarnya sudah tidak ada lagi suara tembakan yang beberapa lalu dia dengar, tapi suara orang berbicara masih bisa memasuki telinganya. Kailyn melihat ke pintu dan menyadari bahwa apapun yang dia dengar saat ini bersumber dari sana.
Kakinya berjalan mendekat dan menyadari bahwa pintu itu tidak tertutup sempurna, salah satu alasan kenapa dia masih bisa mendengar bunyi dari luar ruangan.
Kailyn mengintip sedikit dan menemukan pemandangan yang membuatnya membelakkan mata. Nafasnya memburu dan kepalanya menjadi semakin pusing.
Lantai penuh darah dengan orang tergeletak kaku adalah hal yang tidak pernah dia duga akan menjadi objek matanya dibalik dua pintu dari jati tersebut. Selama hidupnya, Kailyn tidak pernah menemukan atau melihat secara langsung keadaan mayat yang masih segar dengan darah merah mengucur dari dalam tubuhnya. Perutnya bergejolak terasa mual.
Tepat di ujung mayat terdapat sosok tegap berdiri yang masih mengacungkan pistol. Kailyn mengikuti aluran tangan yang mulai mengendur dan berbalik ke samping tubuh pemilik, hingga matanya menatap wajah yang sangat dia kenali, Axton.
Lelaki itu telah membunuh seseorang dengan pistol di tangannya. Melihat bagaimana tatapan marah yang dilayangkan Axton, pasti laki-laki itu sudah kehabisan kesabaran dan memutuskan untuk menghabisi dengan sekali tembak.
"Kau lihat Vandesh? Kekacauan ini adalah hasil dari kebodohanmu." Axton menggelegar marah sambil menatap tangan kanannya yang berdiri tidak jauh.
Suara Axton sangat keras, namun jika tadi pintu kamar dalam keadaan tertutup, pasti Kailyn juga tidak akan bisa mendengarnya dan membuatnya terbangun seperti ini.
"Bagaimana bisa kau masuk perangkap bodoh mereka ha? Menggulirkan hampir seluruh pasukan ke salah satu properti yang tempatnya cukup jauh dari sini dan hanya meninggalkan beberapa orang di rumah. Apa kau tidak punya otak saat memikirkan bahwa penjagaan rumah akan melemah?"
"Maafkan saya."
"Makan kata maafmu, aku tidak butuh itu. Hanya sekali saja Vandesh, jika lain kali aku hampir kehilangan perempuan itu lagi dan itu karena kebodohan yang kau ciptakan, maka kau juga akan kubuat menjadi mayat sepertinya." Axton memberikan arahan kepada orang mati di depannya dengan lirikan mata tidak berbelas kasihan.
Kailyn masih memperhatikan. Suara tembakan tadi memang nyata dan itu adalah ulah dari Axton. Tanpa diduga, debar jantung Kailyn naik dengan cepat, menimbulkan ritme banyak gelombang dalam beberapa detik.
Perasaan takut karena Axton orang kejam yang tidak segan-segan membunuh dengan tangannya dan perasaan terlindungi yang begitu intensif higga terlihat sangat menyeramkan dari lelaki itu.
Vandesh mengangkat matanya dan langsung bertemu pandang dengan Kailyn. Mengetahui dia telah ketahuan, tangannya dengan cepat menutup pintu dan berjalan ke arah ranjang untuk duduk dengan gusar.
Seperti dugaannya, tidak berselang lama pintu kamar kembali terbuka dan di sana berdiri orang yang membuatnya harus menikmati pemandangan laut darah beberapa menit yang lalu.
Axton mendekat dan Kailyn menatapnya dengan curiga diselingi ketakutan. Laki-laki itu menghentikan langkahnya saat mengetahui kedua tangan Kailyn dengan reflek meremas bedcover. Dari matanya terlihat kebimbangan dan pada akhirnya Axton memutuskan untuk berbelok dan berjalan ke arah sofa di depan ranjang kemudian duduk.
Kailyn diam menunggu, tapi tidak ada respons yang dia dapat. Dari ujung matanya dia mencoba melirik pergerakan Axton dan merasa sangat bodoh saat tahu bahwa laki-laki itu juga sedang menatapnya dengan intens. Kailyn kembali menunduk dan berjanji tidak akan melakukan hal seperti mencuri pandang seperti tadi.
"Bagaimana keadaanmu?" Kailyn mengernyit. Ini bukan gaya Axton dan terlihat aneh saat lelaki itu menanyakan kabarnya seperti mereka adalah orang yang dekat.
"Tidak ba— ah." Kailyn mengumpat dalam hati saat merasakan ujung bibirnya terasa sakit. Dia baru menyadari jika telah mendapat tamparan keras waktu itu.
"Tidak perlu menjawab." Terdengar helaan nafas ringan. "Istirahat lah, aku akan menyuruh pelayan mengantar makanan."
Axton bangkit. Namun sebelum dia mencapai pintu, Kailyn sudah menghentikan dengan kata-kata lirihnya yang sedikit tidak jelas namun dapat dimengerti Axton.
"Kau membunuh orang."
Lalaki itu terdiam cukup lama hingga Kailyn berpikir bahwa Axton marah dan tidak akan membalas perkataannya. Tapi nyatanya tidak.
"Ya, dia memang pantas mati." Kailyn meremang saat mengetahui suara Axton menjadi dalam dan rahangnya mengatup dengan rapat.
"Aku sudah berjanji bukan akan membunuhnya? Siapapun dia, berapapun anak buahnya, aku tetap sudah menjanjikannya padamu. Dan kuyakinkan akan menghabisi semuanya hingga tidak ada sisa." Axton berjalan keluar tanpa melihatnya hingga tubuh tegapnya hilang dibalik lipatan pintu.
Janjinya terasa begitu jelas. Ikrar yang akan ditepati berbunyi seperti sumpah hidup. Kailyn terdiam dengan banyak pemikiran yang dia torehkan dalam kepalanya.
Axton tidak bercanda. Kata-kata penghiburan yang terlihat seperti ancaman dengan usapan pelan di punggunya saat dia menangis, bukanlah suatu bualan.
Dia memikirkan keadaan Kailyn. Dan perempuan itu tidak tahu harus berbuat apa. Senang karena dia ternyata bukan hewan yang hanya diberi makan dan tempat tinggal atau takut karena kejadian mengerikan selanjutnya akan berisi dengan pembunuhan keji oleh tangan Axton.
Vote & Comment
KAMU SEDANG MEMBACA
The Black Savior [SH-1]
Romance[1-SISTERHOOD] Membeli seorang manusia layaknya barang adalah suatu kekejian. Dan itu yang dialami Kailyn beserta empat saudaranya. Jatuh ke tangan pria tidak berbelas kasihan yang menginkan agar semua ucapannya tidak ditentang. Axton adalah mimpi b...