"Makam siapa?" Kailyn mendongak, menumpukan seluruh pandangan pada mata Axton yang berusaha dia cari dari balik kacamata hitam.
Terdengar helaan napas yang cukup berat sebelum sebuah jawaban singkat keluar dari mulutnya. "Kakekmu."
Hal pertama kali yang ada di pikiran Kailyn saat ini adalah, Axton sedang mengerjainya. Laki-laki itu pasti membuat trik atau semacamnya dan membuat Kailyn percaya dengan kata-kata tidak masuk akalnya. Mereka bahkan baru bertemu beberapa minggu lalu, tapi Axton dengan percaya diri mengatakan semuanya seakan-akan mereka sudah mengenal lama. Lelucon yang bagus dan menggelikan.
Tapi untuk apa dia berbohong padamu Kai?
Hatinya lagi-lagi memberontak berkebalikan dengan akalnya. Dalam benaknya masih terpikir apa keuntungan yang Axton dapat jika laki-laki itu membohonginya. Tidak ada. Bahkan jika semua ini benar, Kailyn harusnya berterimakasih karena Axton dapat memberitahu mengenai keluarga kandungnya yang tidak pernah dia tahu selama ini.
Akalnya kembali menyeruak, mulai berkuasa dan menyingkirkan kata hatinya. Kailyn berubah haluan dan masih berpegang bahwa apa yang dikatakan Axton memang hal yang sangat mustahil. Ingatannya masih segar untuk merasakan kehidupan panti di saat umurnya yang masih terbilang kecil, hingga kemudian Cesaro mengangkatnya sebagai anak. Dan fakta bahwa dia sudah tidak mempunyai keluarga untuk mengasuhnya lagi, tidak terelakkan.
"Jangan membodohiku Axton. Kau pikir aku akan percaya?"
Makam di depannya terlihat masih basah dan belum ditumbuhi rerumputan seperti undakan yang lainnya. Dari sekali lihat saja siapapun juga tahu bahwa ini adalah galian baru. Orang yang sedang berbaring di balik tanah kali ini, masih belum menempuh tidur yang panjang.
"Axton ...." Kailyn membutuhkan jawaban dan lelaki di sampingnya malah bungkam.
Jika selama ini kakeknya masih ada, kenapa dia harus berada di panti asuhan semenjak kecil? Itu bukan alasan logis. Bagaimanapun, tidak ada seorang kakek yang akan membiarkan cucunya terlantar.
Benar begitu kan?
Sungguh jika keluarga ataupun kakeknya memang berniat membuangnya, Kailyn akan merasa sakit untuk yang kedua kali. Karena baik keluarga kandung dan angkatnya, tidak ada yang pernah menganggapnya sebagai manusia yang mempunyai jiwa.
"Axton, jawab pertanyaanku!" Jika dalam keadaan normal, mungkin Kailyn akan memikirkan dua kali untuk melakukan ini. Membentak dan memandang nyalang Axton dengan marah. Kewarasannya sudah menipis saat dia dengan berani menantang laki-laki itu.
Axton melepaskan lingkarang tangannya dan malah mengarahkan ke puncak kepala Kailyn, mengelusnya dengan pelan. "Tenanglah Kai."
Ada aliran menyengat saat mendengar Axton memanggil nama kecilnya dengan suara yang lembut, sangat berkebalikan dengan biasanya yang beraura dingin dengan kata-kata menusuk. Bahkan usapan di kepalanya juga terasa janggal baginya.
"Caspian Jerentho, dia adalah kakekmu. Keluargamu." Axton menekankan kata terakhir mencoba meyakinkan Kailyn bahwa apa yang dikatakannya adalah suatu kebenaran.
Kailyn melihat nisan di depannya. Tanggal kematian yang tertera terhitung lima hari lalu. Kepala Kailyn reflek menoleh dengan cepat ke arah Axton. "Lima hari yang lalu ... kau ...."
"Saat aku pergi ke luar negeri." Axton membenarkan, dan memang tujuan kepergiannya adalah untuk menghadiri pemakan si tua bangka yang kini sudah mendekam di dalam tanah.
Jujur saja, Axton juga terkejut dengan kematian mendadak itu. Dia tahu Caspian memang sudah menginjak usia tua dengan tongkat bantu berjalannya. Tapi melihatnya menjemput ajal secara tiba-tiba seperti ini, itu malah membuat semuanya terasa aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Black Savior [SH-1]
Romance[1-SISTERHOOD] Membeli seorang manusia layaknya barang adalah suatu kekejian. Dan itu yang dialami Kailyn beserta empat saudaranya. Jatuh ke tangan pria tidak berbelas kasihan yang menginkan agar semua ucapannya tidak ditentang. Axton adalah mimpi b...