Lembaran kertas dengan gambar yang masih tercetak jelas berhasil mengundang banyak cucuran air mata. Benda itu didekap dengan erat sambil menahan rasa nyeri yang mendera di dada.
Kailyn menangis sendirian. Sesekali tangannya meraih bantal yang tidak jauh darinya untuk sekedar digigit atau membungkam mulutnya agar tidak mengeluarkan isakan yang terlampau keras. Matanya kembali melihat selembar foto di tangannya dan lagi-lagi bulir air mata membanjiri pipinya.
Bagaimana senyum kedua orang tuanya dan kakek, yang baru diketahui bernama Caspian, terukir bahagia, menyadarkan Kailyn bahwa mereka sudah tiada. Mereka telah pergi dan tidak ada kesempatan bagi Kailyn untuk sekedar bertatap muka ataupun berbicara kepada mereka.
Pandangannya menyambar satu-satunya wanita di dalam foto yang terlihat anggun dengan gaun pastel panjang semata kaki. Kedua tangannya melingkar ke perut yang mulai membesar, memberi gerakan melindungi sosok tak kasat mata dengan senyuman lebar yang terpampang di bibirnya.
Sedangkan sosok laki-laki gagah dengan setelan jas abu-abu berdiri di sampingnya. Kailyn tidak melewatkan tangan kekarnya yang menyelinap di balik pinggang sang wanita dengan pandangan yang menyiratkan tanda cinta yang begitu besar.
Mereka menunggu kehadiran anak, buah hati mereka, sumber kebahagiaan keluarga. Perasaan sayang yang tergambar begitu jelas dapat tertangkap dalam benak Kailyn. Hal membahagiakan seperti itu malah membuatnya menangis lebih deras.
"Ma .... Pa ...."
Sekarang Kailyn tahu darimana dia mendapat bola mata dan rambut hitam legamnya. Sekarang Kailyn tahu siapa orang yang mempunyai guratan tawa yang sama dengannya. Sekarang dia tahu siapa keluarganya.
Di saat perasaannya yang sedang kacau seperti ini, Kailyn mendengar bunyi kunci diputar dari pintu. Segera saja umpatan pelan lolos dari bibirnya bersamaan dengan tubuhnya yang disembunyikan ke dalam selimut. Siapapun orang itu, dia sangat keterlaluan karena sudah mengganggunya.
Terdengar ketukan langkah yang mendekat dan Kailyn berusaha menahan isakan agar tidak ada yang tahu bahwa dia sedang menangis. Namun tidak ada hal yang kunjung terjadi. Seakan-akan suara kunci dan tapakan sepatu yang tadi dia dengar hanya imajinasi yang bersumber dari dalam kepalanya saja.
"Seharusnya aku tidak memberikanmu foto itu bukan?" Kailyn membeku, itu suara Axton. Dan apapun yang dilakukan laki-laki itu di kamarnya, Kailyn hanya berharap bahwa Axton segera pergi dan meninggalkannya sendiri.
Namun tidak, Axton tidak akan berlalu begitu saja. Meskipun perempuan di depannya sedang meringkuk dan terlihat tidak melakukan apa-apa, Axton tahu jika Kailyn sedang menangis. Perempuan itu dalam keadaan rapuh dan masih mencoba untuk melindungi dirinya. Memang seorang yang keras kepala.
Axton mendekat dan menarik selimut yang menutupi tubuh Kailyn. Segera saja wajah Kailyn yang memerah dan sembab terpampang jelas di depannya. Cetakan air mata yang masih belum mengering tidak bisa menampik kenyataan bahwa perempuan itu memang sedang menangis dengan sangat kacau.
"Kau ... sialan." Kailyn mencoba meraih selimutnya kembali tapi Axton dengan cepat membuangnya ke lantai yang jauh dari jangkauan Kailyn.
"Apa maumu? Tidak bisakah biarkan aku sendiri? Jangan menggangguku." Isakan Kailyn keluar dan kali ini dia tidak bisa menahannya. "Aku ingin sendiri, aku ingin sendiri."
Kailyn tahu dia sudah menjilat ludahnya sendiri dengan memperlihatkan kembali air matanya di depan Axton. Tapi saat perasaannya yang sakit karena kehilangan seluruh keluarganya dan kehadiran laki-laki itu yang tidak diharapkan, entah kenapa tangisannya menguar kembali. Merembes melalui kedua pipinya tanpa malu-malu walaupun Axton berada di depannya.
"Untuk kali ini saja, aku hanya ingin sendiri." Kailyn masih terus menggumam dan Axton yang juga tidak mengalihkan pandang.
Lelaki itu memangkas jarak di antara mereka dan duduk di sisi ranjang. Tangan kirinya terulur menangkap bahu Kailyn dan mengarahkan tubuh perempuan itu ke dalam dekapannya, membiarkan Kailyn membasahi kemejanya dan terisak di pelukannya.
Sudah dua kali. Kailyn mengingat dalam otaknya bahwa sudah dua kali Axton memeluknya saat dia menangis. Entah itu adalah respons dari rasa kasihan Axton atau hanya gerakan asal tapi Kailyn menyukainya. Dia merasa sedikit membaik saat berulang kali kepala dan punggungnya mengalami gesekan dengan tangan lelaki itu. Kailyn menemukan kenyamanannya dan tanpa sadar tangannya melingkari tubuh Axton dan membenamkan kepalanya semakin dalam.
Kailyn menyukai harum musk yang menenangkannya. Kailyn menyukai gestur tubuh Axton yang besar hingga dapat melingkupi tubuhnya dengan kehangatan. Kailyn menyukai Axton berada dalam radarnya dan membiarkan laki-laki itu untuk lebih dekat dengannya.
"Axton ...." Setelah menangis beberapa menit dan Kailyn merasa sedikit lega, dia tiba-tiba memanggil nama Axton. Tangannya tetap melingkari tubuh lelaki itu dan kepalanya juga tidak ingin ditarik dari dekapan Axton.
"Kenapa Kai?" Senyuman di bibir Kailyn terbit beriringan dengan panggilan Axton kepadanya.
Lagi. Kau memanggilku seperti itu lagi.
Kailyn menggelengkan kepalanya dan kembali meraup wangi tubuh Axton. Mungkin laki-laki itu akan bingung dengan kelakuan Kailyn yang sedikit aneh kali ini tapi Kailyn tidak peduli. Dia hanya ingin memanggil nama lelaki itu dan mendengar suaranya.
Axton tidak membalas melainkan menggantinya dengan usapan pelan di puncak kepala Kailyn. "Don't cry please. I have something for you."
"What?" Sebenarnya tangisan Kailyn juga sudah mereda tapi godaan mengetahui apa yang akan Axton berikan membuat Kailyn mendongak menatap lelaki itu.
Axton membalas tatapannya dan senyuman tipis terbit di wajahnya. Tangan kanannya menjauh dari tubuh Kailyn dan menelusup ke saku celananya.
"Sesuai janjiku, kau bisa menghubungi saudaramu." Kailyn menatap ponsel yang terulur ke arahnya dan terkekeh kecil. Dia memang membutuhkan suara saudara-saudara perempuannya dan untung Axton berbaik hati untuk memberikan dengan waktu yang pas.
"Just five minutes without replies, right?" Kailyn meyakinkan dan menerima uluran ponsel dari Axton. Namun berkebalikan dengan yang ada di pikiran Kailyn, Axton malah menggeleng pelan.
"Call your sisters and take your time as long as you want." Axton menghendikkan bahunya ringan. "Lagipula keberadaan kita juga sudah diketahui."
Ada dua hal yang Kailyn rasakan saat mendengar jawaban Axton, senang sekaligus khawatir. Berbicara kepada saudaranya adalah hal yang sangat dia inginkan. Kailyn ingin mengobrol dan menceritakan banyak hal kepada mereka. Tapi seperti yang dikatakan Axton bahwa keberadaan mereka telah diketahui juga membuatnya gusar.
Sebenarnya Kailyn sedikit memahami jika orang akan sangat mudah melacak posisi hanya dengan sambungan telpon dan dia awalnya akan mencoba mentoleransi hal itu. Tapi ternyata mereka sudah ketahuan lebih dahulu. Kailyn yakin jika Axton tidak akan mau memberitahu secara rinci mengenai semua itu.
"Aku akan pergi sementara kau menelpon saudaramu." Tidak.
"Sambungan rumahmu ada di nomor satu. Sekarang, jangan menangis lagi." Tidak.
Rasanya sangat aneh saat Axton mengurai pelukannya dan beranjak berdiri. Kailyn mencoba mengatakan tidak masalah dalam otaknya, namun ada bagian terkecil yang mencoba merusuh dan menginginkan kehangatan Axton lebih lama.
Tidak boleh begini.
Senyuman tipis dipaksakan untuk terbit dan itu sudah cukup menjadi jawaban untuk Axton. Setelahnya lelaki itu keluar dan membiarkan Kailyn di dalam kesendiriannya. Dengan penekanan yang ekstra, Kailyn mendorong perasaan aneh dalam dadanya agar tidak mengganggu terlalu lama.
Sekarang dia harus menghubungi saudaranya. Hanya itu. Bukankah Kailyn menginginkan ini?
Tapi dia tidak bisa menampik jika juga menginginkan harum musk yang bercampur dengan dekapan hangat seorang Axton.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Black Savior [SH-1]
Romance[1-SISTERHOOD] Membeli seorang manusia layaknya barang adalah suatu kekejian. Dan itu yang dialami Kailyn beserta empat saudaranya. Jatuh ke tangan pria tidak berbelas kasihan yang menginkan agar semua ucapannya tidak ditentang. Axton adalah mimpi b...