Axton memijat pangkal hidungnya ketika rasa lelah bersarang pada kepalanya. Laptop yang sedari tadi menyala segera ditutup dengan asal. Matanya sudah muak mendapat pancaran cahaya terlalu lama.
"Tidak ada hasil sama sekali?"
"Mereka bergerak secara mandiri. Hanya mengikuti instruksi di awal dan meninggalkan alat komunikasi. Bahkan mulut mereka tetap bungkam walau mendapat todongan pistol di kepalanya. Dan anda membunuh yang terakhir," jawab Vandesh yang berdiri tidak jauh darinya.
Axton menyandarkan punggung ke kursi. Bibirnya mengatup dan berubah menipis seiring berjalannya waktu sambil menahan emosi yang sudah menjalari seluruh dadanya.
Dia tidak menyangka jika lawannya memiliki keberanian begitu besar hingga langsung melakukan penyerangan ke sarang utama. Namun dengan bodohnya Vandesh juga masuk ke dalam jebakan mereka hingga kerusuhan tidak terelakkan.
Sepertinya Vandesh mengerti akan kemarahan tuannya yang belum reda akibat dirinya, terbukti dengan Axton yang tiba-tiba meliriknya sambil mendecih. Tapi Vandesh hanya bereaksi seperti orang normal dan malah melayangkan suatu pertanyaan.
"Bukankah Anda mengatakan bahwa Nona Kailyn adalah beban yang pada akhirnya akan Anda singkirkan? Kenapa tidak membuatnya tersingkir seakan-akan mereka yang melakukannya? Anda bisa memilih jalan itu tanpa perlu memusingkan diri untuk terjun dalam kekacauan ini."
"Seingatku, aku tidak sedang meminta nasehatmu."
"Daripada tidak menghiraukan, Anda seperti ingin menjaganya."
"Diam Vandesh!"
"Anda tidak memerlukan uang, jadi menukarkan dia dengan Nona Emily pasti hal yang sangat mudah ...."
Axton menggebrak meja dengan kedua tangannya. "Aku bilang diam! Lancang sekali kau. Jaga kata-katamu!" Kakinya segera beranjak pergi sambil membanting pintu hingga menimbulkan suara debuman yang keras. Vandesh yang tertinggal di dalamnya terkekeh dan menggeleng kecil.
Tak berselang lama, benda pipih di atas meja menyala, menampilkan layar terang dengan deretan nomor tidak dikenal. Vandesh melihatnya dan merasa tidak bersalah saat mengangkatnya walaupun itu milik Axton.
Lelaki itu hanya meletakkan di dekat telinga tanpa mau menjawab, hingga suara dari sebrang memecah keheningan.
"Axton .... Tolong aku, bebaskan aku dari sini. Axton, aku minta maaf, untuk segala kesalahan yang aku buat. Selamatkan aku, arghhh." Sambungan terputus sepihak setelah nada jeritan yang panjang.
Vandesh menggeram, jari-jarinya segera menekan tombol delete pada deretan teratas riwayat panggilan. Dia meletakkan kembali ponsel itu dan segera berjalan keluar sambil bergumam, "Wanita ular."
Di sisi lain, Axton menggerakkan kaki secara lebar, langkahnya terlihat berat dengan penekanan dalam setiap hentakannya. Tubuhnya terhenti di depan pintu yang mendapat penjagaan penuh setiap waktu.
"Kalian pergilah." Sejurus dengan perintah telak dari bibirnya, kedua bodyguard di sisi kanan dan kiri segera menunduk tanda hormat kemudian melangkah menjauh.
Axton tidak merubah gerakannya, matanya menatap lurus ukiran rumit dari kayu jati di depannya. Siapapun yang melihatnya pasti tahu bahwa pikiran Axton sedang berkelana di luar sana. Tidak dipungkiri jika prempuan yang berada di sisi lainnya juga menari-nari di balik pelindung tengkorak keras milik laki-laki itu.
Selama beberapa menit penuh keheningan, akhirnya Axton memutuskan untuk mengeluarkan kunci dari dalam sakunya dan memutar ke dalam lubang di celah pintu.
Kamarnya terlihat temaram. Tidak ada cahaya yang ditimbulkan oleh lampu melainkan terpaan sinar rembulan terang yang ternyata dibiarkan masuk. Axton mendekat dan menatap tidak suka pada balkon yang dibuka lebar hingga angin malam terasa menusuk pada setiap persendiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Black Savior [SH-1]
Romance[1-SISTERHOOD] Membeli seorang manusia layaknya barang adalah suatu kekejian. Dan itu yang dialami Kailyn beserta empat saudaranya. Jatuh ke tangan pria tidak berbelas kasihan yang menginkan agar semua ucapannya tidak ditentang. Axton adalah mimpi b...