Jujur, Aku Mulai Bimbang

33.8K 3.1K 194
                                    

"Dara," panggil Rian. Lelaki berengsek itu bahkan sudah duduk di hadapanku, di tempat Rizal duduk tadi. Aku bingung, Rian tak pernah berhenti mengungkit masa lalu, aku bahkan sudah meninjunya dengan ucapanku waktu itu tapi Rian seakan tak pernah menyerah. Kali ini, aku tak tahu apa yang akan dia katakan.

"Ada apa lagi sih?" tanyaku dengan nada bicara yang jauh dari kesan ramah. Aku benar-benar lupa bagaimana cara berbicara baik pada lelaki di hadapanku ini.

"Aku ingin membicarakan masalah kita waktu itu."

"Aku rasa udah nggak ada yang perlu kita bicarakan lagi, Rian."

"Apa aku salah sekadar ingin bertemu Elsa?"

"Aku rasa itu pertanyaan bodoh, atau sebenarnya kamu memang benar-benar bodoh. Harus berapa kali aku mengatakan kalau Elsa bukan anakmu. Keinginanmu untuk bertemu dengan putriku jelas sangat salah dan aku berhak melarangnya."

Aku sudah tak bisa menahan emosi lagi, selama ini aku berusaha menjelaskan dengan cara baik-baik tapi sepertinya harus dengan seperti ini agar ia mengerti.

"Sekali aja.." Rian sedikit memohon.

"Atas dasar apa kamu meminta bertemu dengannya? Lama-lama aku curiga," ucapku.

"Curiga bagaimana?"

"Kamu bilang kalau kamu sudah sangat bahagia dengan kehidupan kamu. Lalu, bahagia macam apa masih mengurusi kebahagiaan orang lain?"

"Nggak, maksudku...." ucapan Rian terpotong.

"Nggak salah lagi, kan? Kamu pasti mau mengatakan kalau —aku sudah sangat-sangat bahagia, bahkan dari seluruh manusia di bumi ini aku yang paling bahagia. Oh Tuhan, aku terharu, Rian," ucapku dengan nada yang dibuat-buat. Ini sengaja aku lakukan agar ia menggunakan cermin dengan baik dan tidak terus menggangguku lagi.

"Aku hanya sekadar ingin tahu tentang Elsa, bukan tentangmu, Dara."

"Lama-lama aku bertambah curiga kalau sebenarnya kamu nggak punya telinga. Aku rasa itu hanya daging tumbuh, bukan telinga yang berfungsi untuk mendengar!" ucapku sambil menunjuk telinganya, untung saja suasana kantin sudah benar-benar sepi sehingga tak ada yang tahu tentang perdebatan kami.

"Semoga ini terakhir Anda mengganggu saya, Tuan Rian!" ucapku dengan penuh penekanan di setiap kata.

Tanpa mempedulikan teriakannya memanggil namaku, aku langsung berlari meninggalkannya. Aku sudah benar-benar muak terhadap apa yang Rian lakukan. Sungguh, tak ada perasaan cinta yang tersisa sedikitpun untuknya. Semenjak kejadian enam tahun lalu perasaanku padanya resmi berubah menjadi benci, sangat benci.

Begitu sampai ruang kerja, aku langsung duduk. Rasa kesal pada Rian masih ada, saat melihat layar ponsel rupanya bada dua panggilan tak terjawab dari Ibu. Aku pun langsung meneleponnya balik.

Selama beberapa saat hanya terdengar bunyi tut sampai pada akhirnya panggilanku mulai di angkat.

"Hallo, Dara," ucap Ibu di ujung telepon sana.

"Iya, tadi nelepon ada apa, Bu?"

"Oh, tadi Elsa mau bicara."

"Bicara apa, Bu?"

"Tentang buku, sayangnya Elsa tidur padahal ia ingin berbicara langsung denganmu."

"Apa Elsa nggak belajar? Ini masih jam sekolah, kan?" tanyaku sambil melirik jam tangan yang masih menunjukkan pukul 14.16 WIB.

"Hari ini ada lomba, jadi siswa pulang lebih awal. Pak Iwan tadi mengantarkan kami, tapi sepertinya nggak bisa jemput kamu karena ada urusan, ini kunci mobilnya dititipkan pada Ibu."

Dara : Menemukan Ayah untuk AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang