Harapan Terbesar Elsa

28.8K 2.8K 93
                                    

Sebelum kalian baca, aku minta maaf ya kemarin sibuk banget jadi baru bisa update hari ini.

Dimaafin, kan? Iya, kan?

***

Seorang pelayan membawakan pesanan kemudian meletakkan di meja tepat di hadapanku juga di hadapan Rizal. Setelah semuanya beres, pelayan itu bergegas pergi meninggalka kami berdua.

Angin yang berasal dari kipas angin sedikit menerpa rambutku yang dibiarkan tergerai. Ya, saat ini kami bukan berada di restoran mahal, melainkan di angkringan pinggir jalan. Kata Rizal, ini adalah tempat favoritnya. Aku baru pertama kali ke sini, kata Rizal menu andalan di sini adalah bakso raksasa. Aku yang menyukai bakso tentu saja tak menolak ini, lagi pula makan itu bukan tentang tempat yang mewah, yang penting membuat perut kenyang, tempatnya nyaman dan tentu saja rasanya lezat.

Aku menatap mangkuk yang berukuran sedang berisi bakso yang ukurannya sebesar mangkuk tersebut. Ini benar-benar menggungah selera.

“Selamat menikmati,” ucap Rizal. Aku kemudian mengambil sendok dan garpu untuk mulai menyantapnya.

“Selamat makan juga,” jawabku.
Aku kemudian langsung menyantapnya, jujur ini sangat enak.

“Kenapa langsung dimakan?” tanya Rizal kemudian.

“Memangnya kenapa?”

“Nggak pake saus atau sambal?” tanya Rizal lagi.

Aku menggeleng. Sejak dulu aku memang tidak menyukai rasa pedas. Aku sering mendengar orang-orang berkata kalau perempuan itu kebanyakan senang pedas, aku tidak mempermasalahkan kalimat itu. Dan kalimat itu tidak mengubah seleraku, aku tetap tidak menyukai pedas.

Rizal tersenyum, lalu aku juga memperhatikan mangkuknya yang juga bening, ternyata ia juga tak menambahkan saus apalagi sambal pada makanannya.

“Sebenarnya aku juga mau bilang nggak suka pedas, tapi setelah kamu bilang lebih dulu aku khawatir kamu mikir kalau aku ngikutin,” ucap Rizal.

“Kamu juga nggak suka?”

Rizal mengangguk, “mungkin banyak yang berkata masa laki-laki nggak suka pedas, sungguh aku nggak peduli. Ini hidupku, nggak ada yang berhak mengatur seleraku.”

“Aku setuju, nggak ada yang berhak mengatur seleraku juga,” kataku.

“Kenapa bisa kebetulan seperti ini, ya?” tanya Rizal.

“Aku juga kurang tahu, kebetulan macam apa ini sama-sama nggak suka pedas.”

“Jangan-jangan...” Rizal malah menggantung ucapannya.

“Jangan-jangan apa?”

“Kita jodoh,” jawab Rizal sambil terkekeh, kalau sudah candaan seperti ini aku bingung bagaimana menanggapinya jadi aku hanya bisa tersenyum.

“Ya udah, silakan makan lagi.”

“Iya, Pak.”

Tiba-tiba ponselku berdering, aku langsung merogoh ponsel itu dari tas. Ternyata Ibu yang menelepon, aku pun mengangkatnya.

“Hallo, Bunda.” Ternyata suara Elsa.

“Hallo, Sayang. Baru bangun tidur, ya?”

“Iya, Bunda kok belum pulang juga?”

“Bunda kan habis dari toko buku, beli buku dongeng buat Elsa.”

“Bunda cepet pulang ya kalau udah selesai.”

“Iya, Bunda sebentar lagi pulang kok.”

Asyik.” Kudengar Elsa bersorak gembira.

“Udah dulu ya, Sayang.”

Dara : Menemukan Ayah untuk AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang