Tentang Aldi.

23.7K 2.4K 96
                                    

“Dara mengenalnya?” tanya Aldi.

Aku mengangguk, “dia temanku di kantor.”

Belum sempat aku berbicara dengan Rizal, lelaki itu sudah meninggalkan kami. Aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaannya sekarang? Tapi, bukankah Rizal hanya tertarik. Lelaki itu belum pernah mengatakan keseriusan, jadi untuk apa ia marah padaku? Memang, Rizal belum tentu marah dan bisa jadi sedang buru-buru tapi yang membuatku heran adalah tak sedikitpun ia menyapaku. Padahal aku sangat yakin kalau Rizal melihatku.

“Rizal, tunggu!” Aku sedikit berteriak.

“Aku boleh bicara sama Rizal dulu, kan?” Aku bertanya sekaligus meminta izin pada Aldi.

Lelaki itu mengangguk, “silakan.”

Tanpa membuang-buang waktu lagi, aku pun langsung mengambil langkah seribu untuk mengejar Rizal. Jangan tanyakan alasan kenapa aku mengejarnya, aku sendiri tak mengerti kenapa harus mengejar. Mungkin aku sudah menganggapnya teman baik sehingga perlu memastikan apakah Rizal baik-baik saja sekaligus menanyakan kenapa ia sudah jelas melihatku tapi tidak menyapaku. Itu yang membuatku makin merasa janggal. Ada apa dengan Bang Zali?

“Rizal, tunggu,” panggilku lagi. Aku sudah berada beberapa langkah di belakangnya. Beberapa saat kemudian lelaki itu berhenti.

“Iya, Dara?” tanya Rizal, seperti biasa, senyuman tampak terukir di bibirnya hingga memunculkan lesung pipit itu. Aku bisa melihatnya dengan jelas karena saat ini kami sudah berdiri berhadapan di depan restoran.

“Kamu ada di sini? Sama siapa?” tanyaku seolah semua baik-baik saja. Memang faktanya begitu, kan? Aku hanya termakan oleh pikiran-pikiranku yang menyangka kalau ada sesuatu yang terjadi pada lelaki di hadapanku ini.

“Sama temen, dia udah nunggu di mobil. Maaf ya, aku lagi buru-buru,” jawab Rizal.

Jujur, aku merasa ada yang berbeda dari nada bicaranya. Kalau aku bertanya tentang bagaimana perasaannya saat melihatku dengan Aldi, aku takut dikira terlalu percaya diri. Barangkali saja Rizal memang biasa-biasa saja. Dan kalau tidak bertanya, tentu saja aku penasaran bahkan seperti ada yang mengganjal. Aku jadi bingung harus bagaimana.
Saat ini aku hanya bisa menatap punggung Rizal yang semakin menjauh, kulihat ia berjalan menuju sebuah mobil. Tapi bukan mobil yang  biasa ia pakai, mungkin itu mobil temannya yang dimaksud Rizal tadi.

Dengan tanpa mendapatkan informasi apa-apa, aku pun kembali masuk ke restoran. Aldi pasti sudah menungguku.

“Ya, tunggu saja Ma,” ucap Aldi pada seseorang di ujung telepon sana. Dari panggilannya, Aldi menyebutkan ‘Ma’ kemungkinan ibunya, apa istrinya? Tapi, bukankah Aldi duda? Wajarkah menyebut mantan istri dengan sebutan ‘Ma’? Ah, kemungkinan besar itu Ibunya. Ya Tuhan, kenapa aku begitu canggung untuk menanyakannya secara langsung?

“Maaf ya, jadi disuruh nunggu,” ucapku merasa bersalah, aku kemudian mengambil posisi duduk kembali seperti semula. Kulihat Aldi sedang meletakkan ponselnya ke dalam saku.

“Nggak masalah, saya yang seharusnya meminta maaf karena harus segera pulang.”

“Oh iya, mari kita pulang,” jawabku. Aku tak menanyakan alasan kenapa pulang, aku sudah tahu jawabannya kalau Aldi memang sudah ditunggu oleh seseorang yang ia panggil 'Ma' tadi.

“Maaf karena ada urusan mendadak, barusan Mama saya menelepon,” jelas Aldi.

Mama di sini berarti apa, Aldi? Mantan istri atau Ibu? Ucapku, sayangnya hanya kukatakan dalam hati saja. Entah, rasanya sulit menanyakannya secara langsung. Aku belum terlalu pengalaman kalau hal-hal seperti ini, rasanya canggung, juga kaku.

Dara : Menemukan Ayah untuk AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang