Cara Tepat untuk Menghindar

23.3K 2.6K 179
                                    

Suara pintu kamar yang diketuk membuyarkan segala lamunanku. Aku langsung beranjak dari kasur menuju pintu untuk membukanya.

“Ibu?” ucapku setelah membuka pintu.

“Dara belum tidur?”

“Belum, Bu. Ada apa?”

“Ada yang cari Dara,” jawab Ibu.

Tentu saja aku terkejut, meski malam belum larut namun tetap saja ini jam sembilan malam. Siapa tamu yang tak mengerti kalau ini adalah jam istirahat? Mungkinkah sangat darurat sehingga datang malam-malam seperti ini.

“Siapa?”

“Orangnya sudah duduk menunggumu di ruang tamu, katanya temanmu.”

“Laki-laki atau perempuan?” tanyaku.

“Laki-laki, sepertinya teman kerja Dara,” jawab Ibu.

Entah kenapa aku malah berpikir kalau yang datang adalah Rian. Tapi, dari mana ia tahu rumahku? Ya ampun, aku baru ingat kalau ia sudah mengakses data pribadiku.

Sangat tidak mungkin kalau yang datang adalah Aldi, bukankah Ibu sudah mengenalnya? Lebih tidak mungkin lagi kalau yang datang adalah Rizal, lelaki itu bahkan baru selesai teleponan denganku.

Geura atuh ke depan dulu, kasihan udah nungguin Dara dari tadi.”

Aku mengangguk, jantung ini berdetak lebih cepat. Aku terus melangkah menuju ruang tamu. Ya ampun, siapa yang sebenarnya datang?

Kaki ini mendadak lemas saat melihat lelaki yang katanya paling bahagia sejagat raya itu sedang duduk dengan jauh dari kata manis. Lelaki itu sudah seperti devil bagiku. Untung saja Elsa sedang tidur jadi ia tak harus melihatnya.

“Ibu ke kamar, ya?”

Aku mengangguk untuk membiarkan ibu ke kamar. Ibu memang belum sekalipun aku kenalkan pada Rian. Dulu, sebenarnya aku sudah ada rencana membawa Rian ke Bandung, namun Rian selalu menolak dengan alasan belum siap sampai pads akhirnya kejadian menyedihkan itu terjadi, aku tidak sudi mengenalkannya. Bahkan sekadar menunjukkan fotonya pun aku tidak mau.

Setelah ibu benar-benar ke kamar, aku langsung menghampiri Rian.

“Silakan tutup pintu itu dari luar,” ucapku sinis sambil menunjuk pintu.

“Duduk dulu, Dara. Aku mau bicara.”

“Bicara, bicara, bicara. Dari dulu selalu bilang mau bicara. Kenapa kamu nggak pernah bosan menggangguku?”

“Aku cuma pengen ketemu Elsa.”

“Aku punya hak buat ngelarang. Tolong pergi atau aku teriak kalau kamu maling!”

“Emangnya kamu tega sama aku? Kamu masih ada perasaan cinta, kan? Sayangnya aku udah bahagia jadi maaf untuk ini.”

Sebuah tamparan keras kulayangkan ke pipi kanannya. Lelaki itu memekik kesakitan, tapi semakin ia kesakitan, aku semakin puas. Dia pikir aku masih ada perasaan? Mimpinya terlalu tinggi. Aku bahkan  tak ada seujung kuku pun rasa cinta untuknya. Yang ada hanyalah jijik, melihat wajahnya saja aku sangat muak.

“Kenapa?” tanyaku. Ia masih memegangi pipinya.

“Jangan bohongi perasaanmu, Dara.”

Dara : Menemukan Ayah untuk AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang