Gelang Persahabatan

19.6K 2K 154
                                    

Malam ini, aku, Ibu dan Elsa ikut Aldi. Dia membawa kami ke suatu tempat yang indah. Tanpa aku bertanya, tentu saja aku yakin ini adalah restoran miliknya. Tempatnya sangat indah, berada di atas sehingga kami bisa melihat pemandangan malam yang ada di bawah. Terutama lampu-lampu yang menghias kota Jakarta di malam hari.

Tempat ini juga di desain khusus acara ulang tahunku, namun aku tak bisa menikmati acara ini sepenuhnya karena terus memikirkan Rizal. Aku tak bisa menghubunginya karena ponselku tertinggal di kantor. Ditambah aku tak hapal nomor teleponnya. Aku takut ia masih menungguku. Ini bahkan sudah jam setengah sembilan malam, padahal aku dengannya janjian pukul setengah delapan.

Aldi menggendong Elsa yang tertidur, ia membawanya menuju mobil.

“Ibu ke mobil duluan aja, aku mau ke toilet sebentar,” ucapku pada Ibu sehingga ia pun mengikuti Aldi ke mobil.

Ya Tuhan, aku sangat merasa bersalah pada Rizal. Aku takut ia masih menunggu. Kutatap pantulan diri di cermin, berusaha tersenyum untuk menyembunyikan kegalauan ini. Kutatap amplop merah jambu pemberian dari Rizal tadi pagi, apa aku harus datang malam ini? Setidaknya untuk meminta maaf. Setelah itu, aku menyimpan amplop kembali ke dalam tas.

Mereka pasti sudah menungguku di mobil, akhirnya aku segera menemui mereka. Dari kejauhan, Aldi terlihat sedang berdiri di dekat mobilnya. Sepertinya ia sedang menungguku. Kenapa Aldi tidak menunggu di dalam saja bersama Ibu dan Elsa?

“Dara kenapa?” tanyanya setelah aku sudah mengampiri.

“Nggak kenapa-kenapa, emangnya ada apa?”

“Dara jangan bohong. Saya perhatikan Dara nggak seperti biasanya, jelas banget kalau Dara sedang gelisah.”

Oh Tuhan, apa ekspresiku terlalu kentara? Aku sudah berusaha menyembunyikannya semaksimal mungkin dan ternyata Aldi masih menangkap kegelisahan yang aku rasa.

“Mungkin cuma capek aja, aku mau pulang sekarang,” jawabku.

“Baiklah, saya nggak maksa Dara buat cerita. Semoga apapun yang bikin Dara gelisah jadi...”

“Aku baik-baik aja, Aldi,” kataku sambil memotong kalimatnya. Refleks dia bungkam. “Aku capek, mau pulang,” lanjutku kemudian masuk ke mobil. Aku rasa barusan sedikit berbicara lebih keras kepada Aldi, tapi sungguh itu keluar secara spontan. Aku sama sekali tak bermaksud membuatnya terluka dengan kata-kataku.

***

“Bu, Dara izin keluar sebentar ya?”

“Ini sudah malam. Mau kemana?”

“Dara ada janji sama temen, sebentar aja, Bu.”

“Kenapa nggak dari tadi aja waktu masih ada Aldi, kan bisa di antar Nak Aldi.”

Aku memang sengaja menunggu Aldi pulang terlebih dahulu, sejak kejadian tadi kami jadi sedikit canggung. Saat perjalanan pulang bahkan kami hanya saling diam. Sungguh, ini di luar kendaliku. Pikiranku benar-benar sedang kacau, rasa gelisah dan rasa bersalah pada Rizal masih membayangiku.

“Takut merepotkan, aku udah terlalu banyak repotin Aldi, Bu.”

“Ya udah, tapi jangan lewat jam sepuluh ya,” kata Ibu.

“Iya, Bu. Dara usahain, Dara permisi ya,” ucapku kemudian bergegas menuju mobil.

Beberapa saat kemudian, aku sudah ada di jalan menuju ke alamat yang tertera di amplop merah jambu ini. Kebetulan aku tahu daerahnya meski belum pernah sekalipun ke kafe yang Rizal maksud. Semoga Rizal masih ada di sana, kalau ia benar-benar ada berarti aku semakin merasa bersalah karena membuatnya menunggu hampir dua jam. Ya ampun..

Dara : Menemukan Ayah untuk AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang