PROLOG

123 4 0
                                    

....
Dia beku,

Dia dingin...

Sedangkan aku membenci keadaannya, ia masih terbelenggu oleh duka itu..
Nanar, anyir sekali kesedihan di mata pilunya...
Sedang aku disini, membayanginya dengan rona jingga senja...

Dia tetap saja ingin bertahan dengan rintik hujannya...
Mati rasa, jawabnya...
Jika kutanya, apakah kau ingin membagi duka itu...
Dia tersenyum, asing....
‘Aku sudah terlalu menikmatinya.. apa aku harus membaginya denganmu juga?’

Surutkan saja dinginmu itu, hilangkan elegi  di syair indahmu...
Berhenti menghalangi senja, untuk berbagi bahagianya..

Tepikan dulu hujanmu itu, rasakan sebentar saja hangat jingganya..
Jangan kau bayangi dengan rintik duka sendumu...
Menarilah denganku, bersama, mengitari relung langit..
Sebelum malam datang, membawa beku,, dan mematikan rasa itu untukku....

(Hujan dan Senja, FIRIA PUPUT  dalam ‘Sunset Over the Rain)

***

Aira terdiam, mengulang kembali rangkaian kata yang terkutip di lembar novel yang ia baca dalam hatinya, kemudian dia melengos, menatap kaca jendela yang mulai mengembun diciumi air hujan dari luar. Hatinya berdesir. Bergelung kembali ke masa lalu, ke dalam kenangan yang menggenang tanpa mau menyurutkan diri dari ingatannya.

“Apa yang salah dengan hujan? Kenapa dia datang hanya saat hujan turun?” dia bergumam sendiri, masih setia memandang rintik hujan.

Seseorang pernah mengatakan sesuatu pada Aira, tentang hujan yang selalu mampu memberikan kesempatan, melihat genangan atau mengingat kenangan, tanpa ada pilihan untuk melupakan.
Dan orang itu memang benar....omong-omong.

Sunset Over the RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang