Bab 1 - Age Of Ignorance

40 3 0
                                    

Catatan : huruf miring yang di dalam tanda kutip dua (") adalah pengucapan bahasa inggris ya tsay.

***


Sudah lebih dari enam tahun aku bergelut di dunia permusikan independent (indie), namun hal itu tidak memberikanku alasan yang cukup untuk menjadi terkenal. Aku sudah mahir memainkan alat musik gitar akustik maupun elektrik sejak aku berumur sepuluh, mengikuti les piano saat SMU, dan berlatih vokal setiap waktu bersama Ayah. Separuh hidup kuhabiskan untuk belajar bermusik, namun title musisi masih belum bisa aku dapatkan. Well, penyebabnya hanya satu yaitu karena aku belum bisa menciptakan karya sendiri.

Kata Ayah, "Menciptakan sebuah lagu sangatlah mudah, kau hanya perlu menjadi sensitive dan percaya diri."

Ya, mungkin Ayah di ciptakan Tuhan untuk menjadi seorang songwriter dan komponis sehingga dengan mudahnya ia menyelesaikan beberapa lagu dalam sehari (jika sedang dapat banyak job). Banyak musisi terkenal Indonesia yang datang padanya. Aku gak bisa menyebutkan siapa karena itu berarti aku melanggar kontrak dan Ayah mendapat penalti, tapi intinya nama Ayahku adalah Agustus atau nama bekennya Augostus. Aneh? Memang seperti itu-lah Ayah. Itu-lah musisi, semakin aneh dirinya akan semakin canggih karya yang diciptakannya, KATANYA!

Well, ini adalah hari Sabtu dan aku belum keluar kamar sama sekali. Aku hanya ingin mengurung diriku bersama gitar Martin LX1E kecil-ku dan perangkat recording lama milik Ayah, sambil sesekali memencet tuts hitam-putih keyboard kecil yang selalu ada di dekat perangkat sound Marshall cilik kesukaanku.

Hari ini Ayah sedang ada tamu dan sibuk dengan grand piano di ruang tengah, padahal aku sedang ingin memainkan yang itu. Aku cukup bosan sekarang. Semenjak lulus kuliah jurusan seni musik beberapa bulan lalu, keseharianku begini-begini saja. Semua hal yang kulakukan hari ini adalah pengulangan dari hal yang kulakukan kemarin. Dan parahnya lagi, aku adalah anak satu-satunya dan cukup jelas menjelaskan kalau aku sangat kesepian.

Kemudian sayup-sayup aku mendengar Ayah memainkan nada E Minor yang diikuti dengan C, G, dan D Mayor yang di apergio bersamaan dengan dentuman not rendah di tangan kiri. Entah ia memainkan lagu apa namun progreasi chord itu mengingatkanku pada sebuah lagu favoritku.

*memainkan intro lagu Sunrise by Our Las Night dengan keyboard kecil*

Lagu ini benar-benar indah. Aransemen musik yang bergabung dengan alunan nada dari dua vokal dengan warna berbeda yang mengisinya membuatku seperti melayang saat mendengarkannya. Meski aku tidak mungkin memainkan lagu ini dengan vokal seperti Trevor dan Matt, namun aku punya kotak rekaman di dalam otakku yang siap memainkan lagu apa saja di waktu kapan saja dan di tempat mana saja.

"Junnie.. ada temanmu di bawah!" Teriak Ayah dari arah tangga.

Oh, ya! Aku lupa punya janji dengan Marelie Inn malam ini! Segera kusambar jaket denimku dan memakainya sembari menuruni tangga.

"Hai, Juli." Sapa tamu Ayah.

"Hai, Pak. Ayah, aku berangkat."

Sudah ada Steve dan Irfan di bangku depan mobil VW Combi dengan 'perkakas' mereka yang tersembul di jendela kursi belakang. Aku melompat masuk dan mobil melaju.

***

"Gue lihat ada Audi putih keluaran terbaru di halaman rumah lo, ceritanya mobil baru?" Tanya Steve sembari menyetir. Di luar fakta bahwa ia adalah mantan pacarku -yang sekarang sudah punya pacar baru- Steve memang orang yang memiliki perhatian lebih. Perhatian yang kumaksud di sini adalah selalu ingin tahu urusan orang.

Falling AwayWhere stories live. Discover now