D U A

279 76 126
                                    

Kesal. Rasanya aku sudah berada di kelas ini dan belajar kimia selama setahun. Ingin rasanya aku pergi keluar kelas dan menekan tombol bel.

Aku merindukan bel pulang.

Bu Yuni masih menikmati waktunya di kelas sambil menerangkan rumus kimia yang sama sekali tidak aku mengerti.

Aku bukan anak pintar yang dapat cepat mengerti segala pelajaran perhitungan. Apalah dayaku yang selalu mendapat nilai pas-pasan. Bahkan terkadang aku harus mengejar remedial dan tambahan tugas agar nilaiku tidak merah di raport.

Saat masuk SMA, jurusan IPA dan IPS sangat membuatku bingung. Aku benci keduanya.

IPA, pelajaran di dalamnya penuh dengan perhitungan. Sedangkan IPS, aku harus mengingat masa lalu. Menurutku masa lalu itu bukan untuk di ingat. Lebih baik di lupakan dan di jadikan pembelajaran untuk kedepannya. Ada yang sepemikiran denganku?

Akhirnya Bunda memaksaku untuk masuk jurusan IPA. Mengapa dia memaksaku? Aku yang menjalani tapi dia yang sibuk. Kenapa tidak dia saja yang kembali sekolah dan masuk jurusan ini?

Karena otakku yang pas-pasan ini membuatku sering kali kena marah Bunda. Dia ingin nilaiku besar, menjadi peringkat pertama di kelas, mendapat penghargaan dari berbagai bidang. Tapi jika seperti itu, itu bukan aku.

Bel pulang sekolah berbunyi. Akhirnya, aku bisa bernafas  lega dan mulai merapikan buku dan alas tulisku yang masih berantakan di atas meja.

"Kamu gila ya, tadi bilang ada kecoak segala." Lena -teman sebangkuku, dia masih mengingat jawabanku tadi pada Bu Yuni saat aku memukul mejaku. Jelas-jelas tadi Lena melihatku berbicara dengan seseorang di telepon.

Dia salah satu orang berotak cemerlang yang mau-maunya berteman bahkan bersahabat dengan orang berotak kosong sepertiku.

Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku hanya tersenyum centil ke arahnya sambil mengedipkan sebelah mataku.

"Ish." Jawabnya sambil memutarkan bola matanya. "Pulang sama Jo?"

Aku menarik kedua alisku dan tersenyum senang. "Iya lah, siapa lagi."

"Teman tanpa kepastian aja bangga." Ejeknya.

Aku mencubit kecil tangan temanku itu sampai dia meringis kesakitan.

Dia benar, teman tanpa kepastian.

Aku langsung berlari ke luar kelas sebelum Lena membalas cubitanku tadi.

"Heh, kamu kenapa?"

Suara seseorang di balik pintu kelasku mengagetkanku. Dan suara itu adalah suara, Jovan.

Dia adalah,

Temanku,

Sahabatku,

Musuhku,

Adiku,

Kakakku,

Ayahku,

Cintaku,

Dan, mikikku.

💦💦💦

~Jovan Raymond Fairuz~

"Hai, Jo."

Aku benci sapapaan centil dari cewek yang sekelas denganku ini. Dia selalu menggangguku dan mencoba mencari perhatianku. Bukan karena aku kepedean tapi, aku memang tampan. Dan wajar saja dia selalu menggodaku.

KamuflaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang