E M P A T

190 62 55
                                    

Jam sudah menunjukan hampir pukul 7 tepat. Mungkin 20 menit lagi bel masuk sekolah akan berbunyi. Aku malas jika terlambat datang ke sekolah. Karena hukumannya berdiri sambil hormat pada bendera di lapangan upacara selama 2 jam pelajaran. Tepatnya 90 menit.

Aku sudah berteriak berulang kali memanggil Jovan. Tapi jovan tidak juga turun dari kamarnya. Tante Santi menemaniku di ruang tamu sambil terus membantuku memanggil Jovan.

Akhirnya Jovan turun dengan wajah kusutnya. Sepertinya dia begadang tadi malam.

"Kamu mandi nggak?" sambutku saat Jovan berdiri di hadapanku.

Tante Santi tertawa mendengar pertanyaanku. Ia juga bertanya pertanyaan yang sama sambil merapikan baju anaknya.

"Ya mandi lah, mah. kamu lagi Je, udah keren gini di bilang ga mandi."

Aku hanya tertawa. Aku dan Jovan pamit pergi ke sekolah. Tante Santi mengecup kening Jovan dan tak lupa mengelus kepalaku. Bagiku Tante Santi adalah orang tua keduaku setelah Bi Ijah.

Motor Jovan berlari dengan kencang. Ia sadar sepuluh menit lagi bel masuk. Jovan tahu aku tidak suka terlambat dan di hukum di lapangan.

Dulu aku dan Jovan pernah terlambat. Dan aku sangat kesal pada Jovan sampai aku tidak mau bertemu dan bertanya pada Jovan. Kita bermusuhan hampir satu minggu lamanya. Jovan yang terus mendekatiku dan melakukan segala cara agar aku menyudahi permusuhan itu. Aku ingat betul, caranya sangat lucu saat itu.

Sedari tadi dia tidak sedikitpun bicara. Dia fokus mengendarai motornya. Menyalip satu demi satu motor dan mobil yang menghalangi jalannya. Aku memegang erat pada Jovan.

Dari jauh aku melihat Pak Edi sudah berdiri di balik gerbang yang tertutup. Dan, ya, aku terlambat. Mood ku turun seketika. Aku lebih baik tidak masuk sekolah dari pada di hukum karena terlambat. Entah mengapa aku benci terlambat. Rasanya lelah dan memalukan.

Dengan cepan Jovan turun dari motornya dan membuka helmnya. Aku mengikuti Jovan dan berharap Pak Edi akan baik dan membukakan gerbang untuk kita.

"Pak, please, buka. Kita cuma terlambat 5 menit." Jovan ngotot bernegosiasi pada Pak Edi. Tapi Pak Edi tetap bersikukuh berpegang pada aturan sekolah.

"Maaf dek, gak bisa." Jawab Pak Edi. "Kalian tunggu aja di sini sampe Bu Erna datang."

Bu Erna adalah Guru BP yang selalu sibuk mengurusi orang yang bermasalah. Dia salah satu Guru yang masuk ke nominasi killer di sekolah ini.

Jovan sudah terbiasa dengan Bu Erna. Tapi aku tidak. Setahuku hukuman dari Bu Erna sangat ketat. Hal ini membuatku semakin down.

Jovan melirik khawatir ke arahku. Aku masih mamasang wajah beteku. Entah kenapa aku sulit tersenyum bahkan setelah aku melihat wajah Jovan yang biasanya bisa membuat aku tersenyum berkepanjangan.

"Je, maaf." Jovan memegang tanganku. Aku tau dia merasa bersalah.

"Aku janji besok aku bakal bangun lebih pagi."

Aku mencoba tersenyum ke arah Jovan. "Gak apa-apa, Jo."

"Aku tau kamu bad mood. Senyum kamu ga bisa aku nikmati."

Please, Jo. Aku gak bisa benci kamu.

Aku menarik nafas kasar saat melihat Bu Erna berjalan mendekat, meminta kunci pada Pak Edi, membukakan pintu gerbang, dan mempersilahkan Aku dan Jovan masuk. Seriously, dari ratusan murid di sekolah ini, hanya aku dan Jovan yang terlambat hari ini.

"Kalian! Udah kelas 12 masih aja hobi melanggar peraturan sekolah." Bu Erna berkacak pinggang sambil melotot ke arah kami. "Silahkan ke lapangan upacara dan berdiri di sana. Jangan mecoba kabur karena saya ada di koridor belakang kalian." Bu Erna menunjuk ke tengah lapangan upacara yang mulai terkena panas matahari.

Aku menyimpan tasku di kursi koridor. Begitu juga dengan Jovan. Aku dan Jovan melepas jaket dan menyimpannya di atas tas. Dengan malas kita berjalan ke tengah lapangan. Tidak ada cara lain untuk masuk kelas selain mengikuti hukuman yang sudah di tetapkan ini. Dan hukuman ini sudah berjalan dari saat pertama sekolah ini di bangun. Hukuman yang melegenda.

Jovan memegang tanganku erat. Dan menatap mataku. Aku masih tetap mempertahankan senyumanku. Aku tidak mau Jovan terlalu merasa bersalah karena hal ini. Bu Erna sempat menegur Jovan karena memegang tanganku. Tapi teguran itu tidak di indahkannya.

Jovan melepas pegangannya dan mulai hormat ke arah bendera. Aku dengan malas mengangkat tanganku untuk hormat.

Hanya aku dan Jovan yang berdiri di tengah lapangan yang luas ini. Ada beberapa siswa yang mungkin izin keluar kelas atau di suruh Guru mangambil sesuatu. Mereka lewat sambil melihat ke arah kita. Terkadang mereka berbisik. Entah apa yang mereka simpulkan dari apa yang mereka lihat.

Aku risih melihat mereka yang menyimpulkan sesuatu dengan dari apa yang mereka lihat saja.

Jovan tergolong anak nakal di sekolah. Dia sering bolos, jika tidak bolos dia tidur di kelas, sekalinya bangunpun dia selalu berisik dan membuat ulah. Maka dari itu bukan hanya tampannya yang terkenal, nakalnya pun tidak kalah terkenal.

Pasti mereka berfikir macam-macam gara-gara aku terlambat dengan anak nakal yang terkenal ini. Mereka hanya melihat Jovan dari sisi luarnya. Tanpa mereka tahu bagaimana Jovan sebenarnya. Dia sangat perhatian, pengertian dan bertanggung jawab.

Ini keempat kalinya aku terlambat bersama Jovan. Untungnya kali ini aku masih bisa tersenyum ke arah Jovan.

Dulu saat SMP aku satu sekolah dengan Jovan. Aku pernah terlambat sampai tiga kali berturut-turut. Tiga kali aku di jemur di bawah matahari seperti ini. Di tambah saat itu orang tuaku dan Jovan di panggil ke sekolah.

Yang aku takutkan dari terlambat adalah saat hukuman panas ini, dan di panggil orang tua. Bunda tidak mungkin bisa pergi ke sekolah untuk mengurus masalahku. Terkecuali perusahaannya yang terkena masalah.

Dulu yang datang menjadi waliku adalah Bi Ijah. Entah mengapa aku tidak mau Bi Ijah datang lagi ke sekolahku sebagai wali orang tuaku. Sedikit terselip rasa malu. Entah mengapa. Padahal aku sudah menganggapnya seperti ibuku.

Bel jam pertama berbunyi sekitar 10 menit yang lalu. Artinya aku sudah berdiri selama kurang lebih 50 menit di bawah sinar matahari pagi menjelang siang.

Semakin lama, matahari semakin terasa menyengat. Badanku melemas, keringat di badanku mulai keluar. Sesekali aku mengusap keringat yang mencoba turun. Mata Jovan tidak lepas untuk memperhatikanku. Berdirinya gelisah. Entah apa yang ia gelisahkan.

"Bu!" Jovan memanggil Bu Erna yang duduk manis di Koridor tanpa terkena panas sekalipun.

Jovan melirik lagi ke arahku. Tapi aku masih menatap lurus ke depan. Lemas rasanya jika harus memutarkan kepalaku ke arah Jovan.

Akhirnya Jovan berlari ke arah Bu Erna. Sekarang hanya aku sendiri yang berdiri di sini. Entah untuk apa Jovan memanggil Bu Erna sampai harus menghampirinya.

Aku tetap berdiri memaku. Dengan ujung jari di sisi alisku. Aku manggoyangkan kakiku. Aah, kakiku mati rasa. Aku terlalu lebay dalam hal ini. Dan aku baru ingat, aku belum sarapan pagi ini.

Pandanganku memudar. Aku mengerejap sambil pelan-pelan manarik nafas. Kepalaku seketika berat, pandanganku berubah hitam, tapi aku masih sadar. Aku masih berdiri dengan limbung.

Aku masih bertahan untuk berdiri. Tangan kiriku menggenggam erat rok sekolahku. Rasanya aku sudah tidak kuat. Aku menyerah.

Yang terakhir ku ingat adalah teriakan Jovan dan Bu Erna dari jauh.

💦💦💦

Keep stay😊
Thanks for reading, 💜

KamuflaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang