ENAM

115 28 18
                                    

"Rambut kamu lebih lurus. Aku gak suka." Jovan menyimpan tangannya di kepalaku.

Aku mencubit tangan Jovan berkali kali karena dia mengacak rambutku. Padahal aku hari ini sudah tampil semaksimal mungkin. Aku menjaga gerakanku agar bajuku tidak kusut, aku mencatok rambutku agar terlihat lebih rapih. Tapi ini sia-sia. Aku wanita tomboy yang bahkan memegang sisir pun jarang. Apalagi catokan rambut dan alat kecantikan lainnya. Aku memang tidak ahli dalam hal seperti ini. Aku ingin Jovan tetap padaku. Aku ingin keinginannya untuk kembali mengejar Nadin pupus. Aku ingin dia sadar, dia tidak perlu mencari cinta yang lain. Aku ingin dia mencintai aku.

Aku senang masih bisa melihat berpuluh-puluh pasang mata yang menatap iri padaku. Bukannya risih dipandang seperti itu, aku malah tertawa semakin keras dan menjawab segala perkataan Jovan dengan manja. Aku tidak peduli bully-an dan perlakuan apa lagi yang akan aku dapatkan nanti dari fans Jovan.

"Makan baksonya!" Aku menyuapkan satu sendok bakso yang sudah mulai dingin. Sedari tadi aku membicarakan segala hal sampai aku lupa pada makanan dan minuman yang tadi ku pesan.

"Gak mau."

Aku menatap Jovan sambil mengerungkan keningku mencari jawaban. "why?"

"Aku gak mau ngelewatin satu detik pun ga liat muka kamu."

Pipiku memanas. Mungkin wajahku memerah sekarang. Jovan suka sekali membuatku blushing.

Jovan tertawa. Mungkin dia sedang asyik menertawakan wajahku yang sewarna dengan tomat sekarang.

Aku menutup wajahku. Jovan tertawa semakin keras. Ia terus tertawa sambi mecoba melepaskan tangan yang menutupi wajahku. Aku menimati waktu yang selalu aku habiskan saat jam istirahat bersama Jovan. Sampai datang seorang wanita yang menghancurkan waktuku bersama Jovan.

Aku yang masih menutup wajahku melihat Nadin dari sela-sela jariku. Dia datang dengan dua temannya. Aku kenal jelas, dua temannya itu adalah satu dari banyaknya orang yang suka menatap sinis padaku.

"Jovan," dia memanggil Jovan dengan nada yang sangat menjijikan untuk didengar. Nadin memang lebih cantik dariku. Aku akui. Badannya lebih tinggi, kulitnya yang putih, hidungnya yang sedikit mancung karena 'katanya' dia blasteran, dan dihiasi dengan rambut pendek lurus sepundak membuatnya semakin menarik untuk di lihat. Wajar saja jika Jovan tertarik untuk mengejar setelah mendapatkan lampu hijau.

Aku menurunkan tanganku yang sedari tadi menutupi wajahku serentak dengan berbaliknya Jovan ke arah suara.

Aku baru sadar ternyata dia membawa barang ditangannya.

"Jo, ini, makasih." katanya lagi malu-malu sambil menyerahkan barang yang sedari tadi di bawanya. Itu jaket Jovan. Aku tahu. Bagaimana tidak? Aku bersahabat dengannya sudah sangat lama. Jadi aku hampir tahu semua barang miliknya. Dia memang sangat suka mengoleksi jaket berbagai gaya dan berbagai warna. Pantas saja Jovan memakai jaket yang berbeda lagi pagi tadi.

Jovan berbalik melirik ke arahku. Sepertinya dia tidak leluasa karena ada aku di belakangnya. Apa aku sudah menjadi pengganggu?

Jovan mengambil jaketnya sambil menggaruk kepalanya yang sepertinya tidak gatal sama sekali. Aku rasa dia salah tingkah. Aku benci malah menjadi penonton di sini.

Aku menarik nafas mencoba tegar. "Jo, aku duluan ya." Pelan, aku memegang pundak Jovan untuk membuatnya mengalihkan perhatiannya padaku sejenak.

Nada bicaraku masih ramah. Bahkan aku tersenyum ke arah Jovan, Nadin, dan kedua temannya. Jovan seperti ingin menahanku tapi dia sepertinya tidak enak pada Nadin jika menahanku di sini. Aku mengerti bagaimana rasanya berada di posisi Jovan. Akupun akan menolak jika Jovan menahanku. Aku tidak suka di ganggu. Jadi aku tidak akan mengganggu.

KamuflaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang