Mataku terbuka saat mendengar suara orang yang mengetuk pintu kamarku dengan tergesa-gesa. Aku membuka lebar mataku. Suasana kamarku masih gelap. Belum ada sedikitpun cahaya yang masuk melewati jendela kamarku.
Aku melirik ke arah jam yang ku simpan di nakas. Ini masih tengah malam. Belum waktunya aku bangun dari tidur. Tidak biasanya juga ada yang mengetuk pintu sekeras itu dan tidak berhenti. Sangat mengganggu.
"Jo!!" panggil Mba Nida dari luar kamarku sedikit berteriak. Aku berdiri dengan setengah kesadaranku, membukakan pintu, dan terlihat ada Mba Nida dengan wajah paniknya.
"Asma Mama kambuh!"
o0o
Aku duduk di samping bangsal mama. Sendiri. Tidak biasanya aku berada di rumah sakit tanpa ada satu orangpun yang meyakinkanku kalau rumah sakit tidak seburuk yang ku kira. Ya, aku benci rumah sakit. Ini mengingatkanku pada Papa.
Tidak ada satu orangpun yang siap dengan kehilangan. Begitu juga aku pada saat itu. Hanya Papa yang selalu sejalan denganku. Saat Papa pergi, aku merasa seperti kehilangan separuh dari hidupku.
Akhirnya aku mencoba lebih dekat dengan Mama. Karena hanya dia yang ku punya.
Aku memegang tangan Mama, dan berharap itu akan membuat Mama lebih baik. Aku menyandarkan kepalaku di tangannya.
Mataku menatap ke arah Mama yang tertidur. Setelah tadi dokter mengambil tindakan cepat untuk Mama, mama langsung tertidur.
Jehan, andaikan dia ada di sini. Setidaknya aku tidak akan sepanik ini. Jantungku terus berdetak tak karuan. Aku diliputi rasa takut, panik, gelisah, dan ku telan semua sendiri. Mba Nida sedang pulang untuk mengambil beberapa keperluan mama dan keperluanku. Walaupun ada Mba Nida di sini, itu tidak akan membuatku merasa lebih baik. Tapi aku bersyukur karena ada Mba Nida di rumahku hari itu. Dia sedikit membantuku.
Mba Nida adalah adik dari Mamaku. Tapi sudah Mama anggap seperti anaknya, karena terlalu sering diam di rumah kita. Sampai-sampai Mama membuatkan kamar khusus untuknya.
Dia belum menikah, atau katakan saja dia takut untuk menikah. Ya, begitulah orang yang pernah di kecewakan. Akhirnya takut untuk kembali memulai. Padahal dia jadi primadona di kantornya.
"Johan," seseorang membuka pintu dan sedikit berlari ke arahku. Tanpa harus aku mengalihkan pandanganku, aku sudah tahu kalau itu Nadin.
Aku tidak punya pilihan. Jadi, aku memutuskan untuk menghubungi Nadin. Wanita manja ini, setidaknya bisa membantu. Mungkin.
Dia mengalungkan tangannya pada leherku. "Kamu gak apa-apa?"
"Im fine."
Nadin menarik kursi kosong yang berada di sebrang bangsal Mama. Dia duduk di sampingku, dan menarik kepalaku untuk bersandar pada pundaknya.
Dia meminjamkan pundaknya untukku.
Dia, Nadin, bukan Jehan.
Entah mengapa ada rasa sedih saat aku harus menyadari kalau bukan Jehan yang berada di sampingku.
o0o
Aku masih menerka-nerka apa yang terjadi pada Jehan hingga dia menjauhiku. Apa dia lupa? Dulu kita pernah berjanji untuk saling terbuka pada masalah apapun. Tapi kini dia mengingkarinya. Dia lupa janji yang sudah kita sepakati bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamuflase
Teen FictionDia adalah.. Temanku, Sahabatku, Musuhku, Adiku, Kakakku, Ayahku, Cintaku, Dan, milikku.