SEMBILAN

121 8 10
                                    

Aku turun dari kamarku menuju ruang makan yang berada di lantai satu dengan berbalut baju seragam yang hanya hitungan bulan lagi ku pakai. Aku berjalan ke arah meja makan. Sendiri. Selalu sendiri. Bi ijah pasti sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah lainnya.

Aku menatap ke sekeliling rumahku yang sekarang tampak seperti rumah kosong tidak berpenghuni. Tidak, bukan sekarang tapi setiap harinya. Aku rindu kehangatan saat sarapan pagi dan makan malam di meja makan ini. Aku rindu wangi masakan Mama. Aku juga rindu suara berisik Papa saat membaca koran. Ia selalu berkomentar pada apapun yang di gosipkan di sana. Mama dan aku hanya saling pandang mengerungkan kening karena Papa tak henti-hentinya mengoceh.

"Ini pejabat maunya apa sih? udah punya segalanya kok masih cari cara lain untuk dapet lebih banyak. Gak bersyukur banget."

"Artis ini, baru juga kemarin cerai masa sekarang udah kawin lagi."

"Masa Ma, ada ibu yang buang anaknya. Gila tuh ya ibu-ibu. Cape-cape mengandung sembilan bulan udah lahir malah di buang. Gak ada kerjaan."

"Lihat nih, Je. Anak tukang becak jadi sarjana dengan waktu singkat. Dapet beasiswa pula. Kamu gimana dapet beasiswa, nilai rata-rata raport 7 aja udah bangga."

Aku dan Mama saling menatap. Papa yang merasa omongannya tidak di respon langsung melotot ke arahku.

"Elah, Papa ajak ngomong kamu kok malah liatnya ke Mama. Iya Papa tau Mama lebih cantik dari Papa." Katanya sambil cengengesan ke arahku dan Mama.

Mama dan aku tertawa terbahak-bahak. Papa tentu saja tidak akan pernah bisa menyaingi kecantikan Mama. "Papa mau mama buat cantik, mau?"

Mama tertawa, dia mengangkat botol kecap tinggi-tinggi  sambil berjalan mendekat dengan lambat ke arah Papa.

Papa seolah merasa tersudut, memasang wajah takut seperti orang yang akan di bunuh. Seakan-akan Mama yang membawa botol kecap seperti membawa pisau tajam.

Dia menutup wajahnya dengan koran saat Mama menakuti Papa.

"Haaaa, I wanna kill you."  Mama tertawa keras saat melihat ekspresi Papa yang ketakutan layaknya umur tiga.

Kami semua tertawa. Menghiasi pagiku- bukan, pagi kita dengan canda tawa.

Aku menarik nafas panjang. Suasana pagi ini seakan memaksaku untuk mengingat sesuatu yang bisa membuatku mengembangkan senyumku. Walau sesaat, tapi ingatan itu telah membuatku mengawali hari ini dengan senyuman.

Aku rindu segala macam ocehan Papa. Papa selalu bilang kalau aku harus banyak belajar dari orang-orang di sekitar agar bisa lebih menghargai hidup. Ah, mengapa aku bisa lupa dengan kata kata berharga itu? Dulu walaupun Papa sibuk, dia selalu meluangkan waktu hanya untuk mendengarkan ceritaku yang tak penting. Aku rindu Papa.

KamuflaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang