TUJUH

99 28 19
                                    

Ini sudah satu bulan sejak terakhir aku melihat Jovan pulang dengan Nadin. Akhir-akhir ini aku sering pulang bareng Lena. Beruntungnya dia tidak keberatan atas tumpanganku yang faktanya sedikit memaksa ini.

Jovan selalu pulang bersama Nadin. Aku selalu melihat Jovan yang diam di halte depan sekolah seperti sedang menunggu seseorang. Sepertinya Jovan menunggu Nadin di sana. Apa dia sengaja bertemu Nadin di sana agar menjauh dariku? Agar tidak terjangkau pandanganku?

Yang aku dengar dari beberapa gosip yang menyebar, Jovan dan Nadin sudah menjalin hubungan sejak dua minggu terakhir. Aku ingat, waktu itu Jovan sempat menghubungiku tapi tidak aku jawab sama sekali. Kenapa? karena aku kesal. Dia lebih memilih Nadin, wanita yang baru saja ia kenal dari pada aku wanita yang sudah lama dia kenal. Mungkin saat itu Jovan ingin mengabariku kalau hubungannya dengan Nadin berjalan baik. Walaupun aku tahu, aku tidak peduli. Atau mungkin aku mencoba untuk tidak peduli.

Sedihnya, kini aku dan Jovan semakin jauh. Semakin sempit pembicaraan diantara kia. Dia tidak lagi menungguku pergi ke sekolah, tidak mengantarkanku pulang ke rumah, tidak mengacak rambutku, dan tidak lagi menghiasi hari-hariku.

Jujur, aku masih belum terbiasa menikmati hariku tanpa Jovan. Setiap detiknya aku selalu merasa ada yang hilang. Dan aku tahu, apa yang hilang itu adalah Jovan. Aku tidak menyangka akan kehilangan Jovan. Aku selalu percaya diri kalau Jovan akan selalu di sampingku dan menjadi milikku. Dia telah mengambil hatiku. Bahkan sekarang dia mengambil senyumku, juga harapanku untuk memilikinya. Aku tidak lagi menjadi Jehan yang mudah tersenyum. Aku jadi lebih banyak diam.

Aku tidak menyangka persahabatanku dengan Jovan akan berakhir seperti ini. Di awali dengan cinta, dan di akhiri dengan cinta.

Lena selalu bilang apa yang aku lakukan ini tidak ada gunanya. Bahkan sekarang aku malah menjauh setiap kali bertemu dengan Jovan. Bukan apa-apa, dengan melihat mukanya membuat perihku semakin terasa. Dan membuatku semakin lama untuk melupakannya. Aku merasa apa yang aku lakukan ini benar. Walau mungkin nyatanya salah. Semoga dengan cara ini, Jovan akan merasa bersalah dan akhirnya dia sadar bahwa aku yang penting baginya.

Ah, hayalanku ini berlebihan.

Lena datang dengan senyum lebarnya. Dia mencoba untuk memberikan sedikit energi positifnya padaku. Aku hanya menatapnya sampai dia duduk di sampingku.

"Je, cemberut terus." Sambutnya sambil masih mengunyah makanan yang ia beli di kantin. Lena kembali tersenyum padaku. Dia mencubit pipiku lalu menariknya. "Kamu lupa cara senyum, atau gimana?"

"Sakit!" aku menepis tangan Lena yang masih bergelantung di pipiku.

"Ada yang nanyain kamu, lho."

"Siapa?" jawabku antusias. Karena aku harap itu Jovan.

"Nevan," jawab Lena dengan senyum lebarnya.

Lelaki itu lagi. Ternyata dia sama seperti Jovan yang kembali mengejar cintanya. Lelaki itu  sudah pernah aku tolak cintanya satu tahun yang lalu. Bahkan Jovan langsung yang memberinya peringatan untuk tidak menggangguku lagi. Aku menolaknya bukan karena tampangnya yang jauh jika di bandingkan dengan Jovan. Tapi karena ruang di hatiku telah ada yang mengisi. Tidak cukup ruang lagi jika ditambah cinta yang baru. Cintaku untuk Jovan telah mengisi penuh ruang ini. Hanya untuk Jovan.

"Dia kayaknya tau kalo kamu renggang sama Jovan." Lanjut Lena dengan tatapan menyelidik. "Gimana?"

"Gimana apanya?"

"Mau di coba?"

Aku tertawa kecil. "Maksud kamu?"

"Kamu harus kasih dia kesempatan. Kesempatan buat kamu juga untuk nyari cinta yang baru. Kesempatan hati kamu juga biar ga di isi sama cinta yang hampa."

Aku menggeleng cepat, "Engga!" Aku engga mungkin secepat itu melupakan Jovan. tidak mungkin secepat itu juga untuk mencari orang sebagai pengganti Jovan. "Aku belum siap."

"Ayolah, Kamu ga boleh terus-terusan mikirin sesuatu yang ga pasti."

Aku berfikir keras. Jika aku memberinya kesempatan, berarti aku juga memberi aku kesempatan untuk kembali jatuh. Ayolah, aku belum mau jatuh lagi.

"Je?" Lena memegang tanganku mencoba meyakinkanku akan sesuatu. "Aku ga bisa ngasih jaminan kalo ini yang terbaik buat kamu. Sama kaya kamu, aku berharap ini yang terbaik buat kamu, Je."

o0o

Aku diam di halte sekolah menunggu Nevan. Sejak tadi aku mengiyakan masukan Lena, dia langsung tersenyum lebar dan berlari ke kelas Nevan untuk memberi tahu kabar ini. Nevan langsung menyuruhku untuk menunggunya di halte sekolah. Jantungku sedari tadi berdegup kencang. Bukan karena aku akan bertemu dengan Nevan, tapi aku takut bertemu dengan Jovan dan Nadin.

Lama menunggu. Jika dengan Jovan, aku tidak pernah dibiarkan menunggu lama olehnya. Aku tidak suka menunggu. Apalagi sekarang aku melihat Nadin yang berjalan mendekat ke arahku, bahkan dia duduk di sisiku. Melihat Nadin mengingatkanku pada Jovan.

"Hai, Je."

Sial, untuk apa dia menyapaku.

Aku tersenyum, "Hai."

"Nunggu siap-"

"Nadin."

Ucapan Nadin terpotong karena ada lelaki bermotor yang memanggil namanya. Aku langsung memalingkan pandanganku ke arah lain. Aku tidak ingin melihat wajah Jovan. Nevan kemana lagi! Aku melirik jam tanganku. Jika lima menit lagi Nevan tidak juga datang, aku akan pulang menggunakan kendaraan umum. Dan tidak ada lagi kesempatan baginya.

Bukannya tadi Lena sempat memberikan nomber ponselku pada Nevan? mengapa dia tidak juga memberikan kabar.

Aku terkejut saat ada tangan yang dengan tidak sopannya memegang tanganku. Spontan aku menepis kasar tangan itu. Bau parfum seseorang yang sangat aku kenal menusuk indra penciumanku. Air mataku keluar dengan cepatnya seakan ada sesuatu yang mendukungnya untuk terus keluar. Aku terisak, Aku tidak dapat menahan isakkanku.

"Je, kamu kenapa?" Jovan memegang pundakku dan mencoba membalikan badanku agar berhadapan dengannya. Aku mendapat kekuatan dari 'sakitku' untuk tetap bertahan pada posisiku.

"Aku ga ngerti, Je. Kamu tiba-tiba ngejauh."

Aku terus memalingkan pandanganku. Sesekali tanganku menyapu air mataku yang terus keluar. Jovan didekatku malah membuat rasa sakit ini semakin terasa. Entahlah posisi Jovan untukku saat ini serba salah. Aku tidak ingin Jovan menjauh dan aku tidak ingin Jovan mendekat.

Bersyukurnya aku saat dari arah berlawanan aku melihat Nevan berjalan dengan sangat terburu-buru sambil sesekali membenarkan kaca matanya. Dari mana saja si cupu itu! bodohnya dia malah berhenti dari kejauhan. Mungkin dia takut pada Jovan karena sempat dapat peringatan keras darinya.

Sebelum Nevan berbalik, dengan suara gemetar karena tangisku, aku mencoba memanggil keras namanya. Hanya dia yang dapat membuatku terbebas dari keadaan ini. Dia malah diam di tempat dan tidak berbalik ke arahku. Bodoh!

Dengan kesal, aku bangun dan menghampiri Nevan. Aku memegang tangan Nevan dan membawanya jauh dari sana.

o0o


aaaa thanks before untuk yang setia baca cerita ini :)  tinggalkan vote, saran dan komentarnya ya :) kalau ada kesalahan pengetikan, langsung komen ya, :)

menurut kalian gimana ceritanya ?

lanjut ?

KamuflaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang