LIMA

134 50 57
                                    

"Aku dapet surat lagi." Jovan menyodorkan selembar kertas yang di lipat rapih. Dengan wangi parfum yang sangat menyengat.

Kini aku dan Jovan berada di kamarku. Setelah kejadian tadi aku pingsan di sekolah, Bu Erna menyuruhku untuk pulang dan istirahat. Lalu menyuruh Jovan untuk mengantarkanku pulang. Tak lupa dia mengingatkan kita agar tidak terlambat lagi datang ke sekolah. Lagian, jika nanti aku terlambat, aku lebih memilih untuk kembali pulang ke rumah dari pada membiarkan kulitku terbakar di sekolah.

Sebenarnya Jovan di suruh untuk kembali lagi ke sekolah. Tapi dia malah tetap di sini. Di kamarku. Dia menemaniku di sini. Dia tetap bersikukuh untuk tetap tinggal. Dia bilang aku tanggung jawabnya. Dia masih khawatir dengan keadaanku. Entah alasan apa yang akan ia katakan pada Bu Erna nantinya. Inilah alasan aku bahagia menjadi bagian dari cerita hidupnya.

"Ini dari mana?" sebenarnya aku sedikit risih saat Jovan memperlihatkan surat ini padaku. Tapi aku penasaran, siapa lagi yang mencoba mencuri hati Jovan dariku.

Biasanya setiap kali dia mendapat surat 'cinta' dari para penggemarnya, dia hanya akan membacanya dan setelah itu membiarkannya atau bahkan membuangnya.  Tapi yang ini lain.

"Dari Ari. Tadi ada cewek yang nitip ini."

"Terus kenapa?" aku berharap Jovan tidak tertarik pada cewek yang memberi surat ini.

"Ketus banget." Jovan mengacak rambutku dan tertawa kecil saat mendengar jawabanku yang mungkin terdengar ketus. Padahal aku tidak berniat untuk terlalu menonjolkan kecemburuanku ini. Tunggu, aku cemburu?

Jovan menarik nafas dan mulai berganti ekspresi dengan ekspresi yang cukup membuat jantungku kembali berdetak tidak karuan. "Je, lo tau Nadin?"

Aku mengerungkan keningku sambil mencoba mengingat nama yang baru saja Jovan sebutkan. Tapi nama itu tidak asing bagiku. Rasanya Jovan pernah menyebutkan nama ini.

"Dia cewek yang aku suka waktu kelas 10, tapi aku di tolak mentah-mentah." katanya sambil tersenyum kecut.

Aku berfikir semakin kuat. Aku mencoba menggali semua memori pada saat aku kelas 10, dua tahun yang lalu.

Aku mengangguk saat ingatanku dengan cepat memutar kejadian saat Jovan di tolak oleh cewek yang ia suka sejak pertama kali Masa orientas Siswa di sekolah.

Aku ingat betul saat Jovan dengan beraninya menembak cewek itu langsung dengan mendatangi ke kelasnya. Tentu saja kejadian ini menjadi tontonan seisi kelas Nadin.

Jovan cukup tenar di sekolah karena segala hal. Dan saat Nadin menolak Jovan mentah-mentah di hadapan teman-teman kelasnya, cukup membuat Nadin menjadi bahan olok-olok di kelasnya. Banyak 'penoton' yang mendukung penolakan Nadin dan ada sebagian juga yang kecewa atas penolakan Nadin.

"Sebenernya aku ga bener-bener nyerah, Je. Sikap dia yang cuek bikin aku penasaran gimana sebenernya dia. Aku makin tertarik untuk menggali lebih dalam tentang dia. Bahkan aku ga nyangka dia kirim surat ini."

Jovan memegang tanganku. Tanda bahwa dia sedang bahagia sekarang. Dan rasanya dia ingin menyalurkan kebahagiannya padaku.

Aku melihat raut kebahagiaan di wajah Jovan. Entah mengapa aku tidak ikut bahagia saat Jovan bahagia. Seharusnya aku bahagia, bukan? Seharusnya aku bahagia karena Jovan bahagia. Tapi kali ini aku benci kebahagiannya. Aku benci karena Jovan mendapat timbal balik dari orang yang dia suka, aku benci senyuman bahagianya bukan karena aku, aku benci jika nantinya perhatian Jovan akan terbagi, aku benci jika nanti Jovan melupakanku karena Nadin, aku benci jika Jovan di miliki orang lain selain aku,  aku benci ada orang lain selain aku yang bisa sering menikmati senyum manisnya. Aku benci.

"Terus?" aku masih penasaran dengan apa yang akan Jovan lakukan setelah ini pada Nadin. Aku tau jawaban Jovan 30 persen membahagiakan dan sisanya membuatku sakit. Entah kenapa aku malah lebih yakin jika Jovan akan mengejar cintanya.

"Aku belum tau."

Aku membalas pengangan Jovan. Jawaban Jovan cukup membuatku tenang untuk saat ini. Setidaknya Jovan masih menjadi miliku dalam beberapa saat kedepan. Mungkin.

💦💦💦

Aku berpisah dengan Johan di gerbang depan. Karena Jovan langsung di sambut teman-temannya dan di bawa menjauh dariku. Sebelum Jovan benar-benar jauh,  dia meminta maaf dan menyuruhku untuk pergi ke kelas. Tanpa dia suruh pun aku pasti ke kelas. Mana mungkin aku menungunya di tempat parkir hanya untuk diantarkan ke kelas.

Ini hari pertama aku kembali masuk ke sekolah sejak terakhir aku mendapat hukuman dari Bu Erna. Anehnya setelah kejadian hukuman itu, aku malah demam dan penyakit maagh-ku kambuh. Pasti banyak materi pelajaran yang ketinggalan.

Untuk orang yang tidak terlalu mementingkan pelajaran seperti aku, tidak masuk beberapa hari dan ketinggalan pelajaran pun bukan masalah besar. Jika bisa memilih, aku lebih memilih untuk diam di rumah daripada harus datang ke sekolah dan menguras otak. Iya, ini aku.

Aku melihat Lena sedang membuka novelnya tanpa menyadari kehadiranku di kelas. Aku yakin, dia pasti kesepian di kelas. Dari banyaknya orang di kelas, dia hanya dekat denganku.

"Je!" kupingku langsung mendengung. Lena baru menyadari kehadiran aku saat aku duduk di kursi sebelahnya.

Aku mengangkat alisku sambil tersenyum ramah ke arahnya.

"Kamu baik? Jovan mana?" Lena mengedarkan pandangannya keluar kelas mencari sosok Jovan yang biasanya selalu mengantarkanku sampai ke kelas dan akan menunggu sampai aku duduk di kursiku. Lalu dia akan menunggu sampai aku melambaikan tanganku ke arahnya, baru dia akan tersenyum dan pergi. Aku rindu saat itu. Sudah beberapa hari juga aku tidak mendapatkan itu dari Jovan.

"Dia sama temen-temennya." Kataku malas. Sebenarnya aku sedikit terganggu saat teman-teman Jovan membawa dia jauh dariku.

Lena mengerungkan keningnya dan menatap ke arahku. Dia menyadari nada bicaraku yang malas menjawab pertanyaannya tadi. "Berarti bener."

"Apa yang bener?"

"Nggak."

"Apa!" Aku mencubit kecil tangan Lena agar dia jujur sebenarnya apa yang akan ia katakan. Aku tertawa saat Lena meringis kesakitan.

Lena tersenyum karena tawaku. Dia memegang tanganku agar aku berhenti mencubit tangannya. Dia menatapku serius. "kemarin aku lihat Jovan jalan sama Nadin."

Aku meredupkan senyumku. Aku menyasal telah mencubit tangan Lena untuk mencari jawaban. Seharusnya aku tahu kalau cepat atau lambat ini semua akan terjadi.

Lena beberapa kali melontarkan kata maaf padaku. Dia juga beberapa kali menyalahkan Jovan karena tidak bisa menjaga perasaanku. Sebenarnya aku tidak pernah cerita pada siapapun tentang perasaan ini. Mungkin dari sikapku pada Jovan yang membuat Lena sadar sendiri bagaimana perasaanku pada Jovan.

Ini bukan salah Jovan. Ini salahku. Jovan tidak tahu apa-apa tentang perasaanku. Hanya saja aku berlebihan dalam mengartikan semua kasih sayang dan perhatian yang selama ini aku dapatkan dari Jovan. Aku yang terlalu berlebihan memaksa takdir untuk menuliskan Jovan menjadi miliku. Dan mungkin ini juga rencana takdir yang membuktikan bahwa sebenarnya Jovan bukan miliku.

Harusnya aku sadar. Jika  cintaku tidak terbalas, pilihan lainnya adalah bertepuk sebelah tangan. Dimana ada cinta, di sana ada luka.

💦💦💦

Makasih udah baca gais
Tekan tombol vote setelah baca ya ^^
Kritik dan saran dari kalian akan sangat membatu ❣️

KamuflaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang