Kutukan Jarum Pemintal

261 24 7
                                    

Jimin dan Seok Jin tiba di depan istana megah yang sekelilingnya ditumbuhi bunga-bunga yang cantik. Yang paling mencolok adalah tanaman mawar yang jumlahnya paling dominan dari bunga yang lain. Mawar merah yang mengundang siapapun untuk menyentuh dan memetiknya. Seok Jin sudah menciumi satu per satu bunga mawar itu.

“Wanginya khas. Warnanya juga cantik. Merah. Benar-benar merah. Bukan merah magenta.”

Jimin berjalan menuju pintu. Jimin nampak mencari sesuatu dari permukaan pintu kayu berukir di hadapannya.

“Hyung, dimana bellnya?” tanya Jimin.

Seok Jin mendekatinya dan mengacak gemas puncak kepala Jimin.

“Tidak ada bell. Genie membuatnya dengan design istana asli. Bukan istana modern.”

Sementara itu, kehebohan terjadi di dalam istana. Semua perabotan berdiri di depan jendela menatap bahagia pada Seok Jin dan Jimin yang mengetuk pintu.

“Apa kau yakin Hyung, pintu ini akan terbuka jika diketuk?”

Seok Jin tidak menjawab. Ia terus mengetuknya bahkan memanggil nama Kim Nam Joon berkali-kali.

“Hyung! Stop it!” cegah Jimin tiba-tiba.

“PD-nim melarang kita menemui Nam Joon Hyung. Cukup letakkan bekalnya di depan pintu ini, Hyung.”

“Kenapa? Aku ingin bicara dengan Nam Joon,” Seok Jin membangkang.

“Tapi Hyung …”

Seok Jin tetap bersikeras agar pintu istana terbuka.

Di dalam istana, kerumunan perabotan segera berhamburan ketika terdengar langkah kaki Beast. Beast berjalan lurus dan menatap tajam ke arah pintu.

Derak kayu yang bergesekan terdengar gaduh ketika kedua sisi pintu terbuka. Menampilkan sosok Nam Joon yang berwujud Beast di hadapan Seok Jin. Jimin gemetar. Bagaimanapun Jimin bersikap wajar dengan ketakutan melihat Nam Joon menjadi monster.

“Pulanglah.”

“Namjoonie~”

“Pulanglah.”

“Tapi Nam Joon, aku ...”

“PULANGLAH!” Nam Joon membentak.

Kedua mata Seok Jin berkaca-kaca. Jimin nyaris terkencing di celana. Jimin membuang tatapannya ke bawah. Sengaja untuk tidak melihat Nam Joon.

Seok Jin mendekat.

“Aku membuatkan ini untukmu,” Seok Jin menyerahkan kotak bekal. Nam Joon menerimanya sambil menyuruh kedua temannya untuk pulang.

“Aku berjanji akan menyembuhkan kutukanmu, Joon. Kami akan mencari Bella. Cinta sejatimu.”

“Tidak perlu,” Nam Joon berbalik kembali berjalan masuk.

“Cinta sejati itu tidak ada. Love is a lie.”

Seok Jin mengerti jika Nam Joon putus asa. Sekaligus membuat Seok Jin kecewa melihat Nam Joon yang begitu percaya diri selama ini telah mati. Berganti dengan seseorang yang putus asa.

“Pulanglah,” pintu istana tertutup.

*_*_*_*_*_*_*_*_*_

“Hyung, pulanglah! Ayo, kenapa kau diam saja di depan sini seperti pengemis?” Jimin sudah putus asa melihat Seok Jin yang ngambek.

“Dasar jelek! Seenaknya saja menutup pintu saat aku belum selesai bicara. Awas, kau! Kim Nam Joon! Aku tak akan pernah memaafkanmu. Hiks hiks.”

Jimin mengacak rambutnya. Kesal melihat hyung tertuanya merajuk. Jimin pun tak punya pilihan. Jimin seret tubuh Seok Jin hingga belepotan tanah. Seok Jin meronta menolak untuk pulang sebelum Nam Joon membukakan pintu lagi.

“Tidak mau. Aku tidak mau pulang. Aku bersumpah akan memukulimu, Kim Nam Joon! Aku rusak saja taman bunganya.”

“Andweeee! Aduh, Hyung ini alay sekali sih! Dasar rempong!”

Terlambat. Seok Jin sudah mengamuk menghancurkan tanaman mawar istana. Jimin semakin panik melihat Seok Jin yang kerasukan jin (?).

Pintu istana terbuka kembali. Jimin terbelalak melihat Nam Joon yang keluar dengan amarah memuncak.

“KIM SEOK JIN!” Nam Joon melolong kemudian.

Jimin terjerembab. Kedua kakinya spontan berlari meninggalkan Seok Jin yang diterkam Nam Joon.

Jimin lupa jika dalam keadaan segenting apapun, janganlah meninggalkan temanmu. Terlebih teman yang sudah dianggap saudara sendiri. Jimin lari dengan sangat cepat tak peduli kakinya menyeret tanaman hingga terlepas akarnya.

Sreeeeet!

“Akkkhhh!”

Jimin terjatuh. Dadanya menghantam tanah dengan keras. Jimin meringis. Air matanya mengalir namun Jimin berusaha untuk tidak mengoe seperti bayi.

Tanaman rambat melilit kaki kirinya. Jimin berusaha melepaskannya, namun karena terlalu terburu-buru, lilitan tanaman itu justru semakin rumit. Jimin putus asa. Ia terus menarik tanaman rambat di kakinya. Tetapi hasilnya tidak seperti yang diharapkannya. Jimin mencoba mengatur napasnya sejenak. Setelah kesabaran dan ketenangan hatinya kembali perlahan, Jimin memulai untuk menyibukkan diri dengan tanaman rambat yang melilit kakinya. Satu per satu lilitan mulai melonggar. Pekerjaan itu memang tak bisa diselesaikan dengan kepanikan yang besar. Jimin terus melepaskan satu per satu lilitan sampai akhirnya kesialan lain menyapanya lagi. Tubuhnya tiba-tiba tertarik ke atas pohon dan tergantung dalam keadaan kepala di bawah.

Jimin melihat seseorang dalam keadaan terbalik. Gadis berambut pirang yang menatap polos padanya.

“Hey, siapapun kau? Tolong aku!” pinta Jimin.

“Kau siapa?”

SRET! BUG!

Bokong Jimin menghentak tanah setelah gadis berambut pirang menyelamatkannya dengan memotong tanaman rambat dengan sekali sabetan pisau.

“Tanaman rambat sialan!” umpat Jimin.

“Kau siapa?” tanya gadis itu.

“Aku? Kau tidak kenal aku?” Jimin menatap heran pada gadis berambut pirang. Siapa yang tidak kenal dengan Jimin Bangtan Sonyeondan? Jimin akui jika gadis di hadapannya ini sangat cantik. Gaun berwarna biru yang dikenakannya senada dengan warna iris matanya.

Gadis itu menggeleng. Jimin berpikir. Entah mengapa pemikiran menakutkan itu menghampirinya. Keberadaan gadis di depannya ini membuat bulu kuduknya berdiri. Hantu? Kuntilanak? Sundel bolong? Ihihihihihi.

“Kakimu berdarah. Jika kau bersedia, aku akan mengobatinya.”

Jimin mengamati gadis itu dengan cermat. Kedua kakinya menginjak tanah dengan sempurna. Juga terlalu cantik jika dikatakan gadis itu adalah sesosok hantu.

“Lagipula matahari hampir tenggelam. Kau bisa beristirahat di pondokku, Tuan.”

“Siapa namamu?” akhirnya Jimin menanyakan hal yang paling penting dari sebuah pertemuan pertama.

“Aurora.”

Jimin terdiam beberapa detik hingga akhirnya dia tersenyum lebar. Jimin spontan memeluk Aurora dengan erat. Ada rasa bahagia dalam hati Jimin sekarang.

“Tuan! Apa yang kau lakukan?”

Aurora panik dan akhirnya menginjak kaki Jimin yang berdarah. Sontak Jimin berteriak sambil memegangi kakinya.

“Jangan memeluk orang sembarangan. Dasar mesum!”

Ah, salah Jimin juga sih! Namun Jimin kembali tersenyum.

“Apa dia Aurora si Putri Tidur? Hore! Dia dipertemukan denganku? Berarti dia adalah pasanganku. Hihi. Tae Hyung, Jung Kook. Aku sekarang memiliki Aurora yang cantik jelita. Aku tak sabar ingin menciumnya,” Jimin bergumam sendiri sambil memejamkan kedua matanya. Mulutnya dimonyong-monyongkan membayangkan berciuman dengan Aurora.

Aurora memukul bahu Jimin hingga Jimin tersadar dan membuka kedua matanya.

Jimin harus bersabar selama bermalam di pondok kecil Aurora. Kesenangan yang diimpikannya hanya berduaan dan melakukan hal romantis dengan Aurora hilang dalam sekejap akibat Tinker Bell yang terus mengawasi.

Jimin sampai menahan mual akibat ingin muntah saat menikmati makan malam yang lebih buruk rasanya dari makanan apapun. Jimin pikir jika Tinker Bell pantas belajar memasak pada Seok Jin.

Menurut analisa seorang Park Jimin, Aurora benar-benar berprilaku layaknya seorang putri kerajaan. Dibanding kelakuan Snow White yang kadang ceroboh dan terlalu polos atau kelakuan Ariel yang lebih mirip pembunuh manusia, kelakuan Aurora bisa dibilang paling normal.

Gadis itu akan duduk tenang di sebuah kursi yang diletakkan di samping kasur hangatnya sambil membaca buku tebal. Secangkir teh hangat yang ia sesap dengan begitu elegan di mata Jimin. Gaya Aurora saat menyisir rambut pun begitu berkelas layaknya anak gadis seorang raja. Rambut pirang yang begitu indah. Kulit berkilau bak mutiara. Bibir ranum yang begitu nikmat saat dicium. Itu yang Jimin pikirkan kala itu. Bilang aja elu mesum, Jim! -_-

“Dua hari lagi ia berulang tahun. Usia putri Aurora genap tujuh belas tahun. Saat itu kutukan Malaficient tak bisa dihindari, Philip. Aurora akan mati.”

Perbincangannya dengan Tinker Bell di dapur masih terekam jelas. Dua hari lagi kutukan itu akan menyapa Putri Aurora yang malang. Kutukan yang tidak akan bisa dicabut oleh sihir apapun kecuali ciuman dari cinta sejati. Jimin mengepalkan tangannya. Ia berjanji akan mencabut kutukan itu.

*_*_*_*_*_*_*_*_*_

Jimin pulang ke dorm membawa dua berita. Dengan sebelah kaki yang terbalut perban. Jimin menceritakan apa yang terjadi pada Seok Jin dan padanya.

“Kau meninggalkan Seok Jin Hyung di sana?”

“Dan kau malah bermalam di pondok Aurora?”

“Kau jahat, Hyung.”

Namun pertengkaran itu tak membuat segalanya menjadi lebih baik. Ho Seok yang seingat Jimin masih baik-baik saja saat meninggalkan dorm terakhir kali mendadak buruk.

“Dia terkena sihir esku. Aku tak bisa menangkalnya. Aku membuat Ho Seok menderita seperti Anna, adikku,” ucap Elsa penuh sesal.

Jimin melihat dengan jelas, helaian rambut Ho Seok memutih di satu sisi. Berbeda dengan warna rambut abu-abu hasil pewarnaan cat rambut.

*_*_*_*_*_*_*_*_*_

Seok Jin sudah sibuk sejak matahari terbit. Dengan celemek pink yang melekat di tubuhnya, Seok Jin berkutat dengan pisau dan penggorengan di istana Nam Joon.

Di pipi kanannya, terdapat segaris luka yang membuatnya ketakutan semalaman. Nam Joon mengintimidasinya dengan mengurungnya di sebuah ruangan gelap. Ketika Seok Jin terbangun, pintu itu sudah terbuka. Namun Seok Jin tak bisa keluar dari istana. Pintu istana tetap tersegel.

Seok Jin menemukan ruangan favoritnya. Segala peralatan di sana sangatlah lengkap. Perlengkapan dapur tersusun rapi bak sebuah galeri seni. Bahkan tanpa sadar, Seok Jin sudah bersiul seraya memotong sayuran. Desisan minyak di penggorengan pun terdengar merdu. Membuat perabotan lainnya mengintip aktivitas Kim Seok Jin dengan penuh penasaran.

“Siapa dia?”

“Dia bukanlah seorang gadis. Itu bukan Bella?”

“Mana Bella? Bukankah Bella berambut coklat?”

“Oh, Mrs. Potty! Dia juga berambut coklat. Hanya saja rambut Bella panjang dan bergelombang indah.”

“Bukankah seharusnya gadis bernama Bella yang mengoperasikan dapur ini pertama kali?”

Seok Jin melirik. Ekor matanya menangkap sesuatu yang bercahaya goyang. Suara bisikan orang-orang yang mengobrol pun dapat didengar Seok Jin. Tetapi Seok Jin tak menyelidikinya. Lelaki itu kembali fokus dengan mencampurkan bahan-bahan ke wajan.

“Dia lelaki atau perempuan?”

“Sepertinya dia perempuan, Cogsworth. Lihatlah kedua binar matanya yang cantik itu. Alis mata tebal dan bibirnya yang pasti terasa penuh jika dicium Pangeran Adam.”

“Lumiere, apa matamu rabun? Jelas-jelas itu adalah lelaki. Dia lelaki yang gagah. Lihat garis bahunya. Lalu dia berjakun. Apa kau pikir Pangeran Adam itu gay menyukai sesama laki-laki?”

“Begitukah? Tetap tidak bisa aku membedakan. Masa iya?” Cogworts berpikir.

Dan di dapur sana, Seok Jin terpekik ketika sebuah cangkir kecil mendekatinya dan menyapanya dengan senyuman lebar.

“Apa kau Princess Bella?”

Seok Jin seketika melempar spatula ke sembarang arah. Siapapun akan kaget setengah mati melihat sebuah cangkir yang memiliki dua mata, hidung, dan bibir. Ditambah lagi, cangkir itu bisa bicara!

*_*_*_*_*_*_*_*_*_

Seok Jin menatap satu per satu benda yang mengelilinginya dengan antusias. Seok Jin melihat senyuman lebar dari Lumiere. Lumiere adalah seorang atau sebuah lilin bercabang tiga.

“Hey, Nona! Ehm, maksudku pemuda. Ah, atau apa namanya? Siapa namamu? Aku Lumiere. Aku pelayan Pangeran Adam yang dikutuk menjadi lilin. Jin biru itu yang memanggil kami.”

“Aku Cogsworth,” Jam Kuno itu menjabat tangan Seok Jin dengan penuh semangat.

“Aku Mrs. Potty!” Suara keibuan sebuah teko itu melompat ke pelukan Seok Jin.

“Aku Chip!” Cangkir kecil itu begitu menggemaskan. Mengingatkan Seok Jin pada Jung Kook saat usianya masih lima belas tahun.

“Aku Kim Seok Jin. Temannya Pangeran Adam,” Seok Jin menebak saja jika Pangeran Adam yang diceritakan oleh Lumiere adalah Kim Nam Joon.

“Wangimu seperti Princess Bella,” ucap Mrs. Potty dengan penuh senyuman tulus.

“Kau lelaki atau wanita?” tanya Cogsworth penuh selidik.

“Aku lelaki,” jawab Seok Jin dengan senyum tipis.

“Tapi kau sangat cantik, Tuan Kim Seok Jin,” Chip menempelkan pegangan cangkirnya pada puncak hidung Seok Jin.

“Kami bisa membantumu memasak untuk sarapan Pangeran Adam,” tawar Lumiere.

*_*_*_*_*_*_*_*_

Jasmine dibawa Tae Hyung ke dorm untuk pertama kali. Bersamaan dengan Jimin yang membawa serta Aurora. Si gadis hutan yang ditebaknya merupakan Putri Tidur.

“Apa ini? Jadi lima putri telah berkumpul.”

“Yang terpenting adalah melepaskan kutukan Nam Joon. Apa rencana kita? Dimana mencari Princess Bella? Apa harus menyetujui usul Ratu Elsa untuk mengadakan sayembara?”

“Sayembara seperti apa, Hyung?” tanya Jung Kook.

“Pesta. Bagaimana kalau undangan pesta dansa? Kita undang semua putri kerajaan. Wah, kebetulan sekali! Besok saja pestanya kalau begitu. Putri Aurora berulang tahun yang ke tujuh belas tahun besok,” ucap Tinker Bell pada Yoon Gi yang memimpin diskusi.

“Ya, itu usul yang bagus menurutku. Kita adakan pesta di istanaku. Kita rayakan ulang tahun Aurora dan sekaligus resepsi yang kedua untuk pernikahanku dengan Pangeran Ali,” tawaran Jasmine segera disetujui yang lain.

“Namun ada masalah. Kita harus menyebar undangan ke penjuru negeri. Bagaimana caranya mereka menemukan istana Putri Jasmine? Belum lagi mereka akan shock jika mengetahui pernikahan Tae Hyung Hyung.”

“Serahkan padaku, Eric. Maksudku Jung Kook. Hanya orang-orang yang berasal dari tempat yang sama seperti kami yang bisa melihat undangan itu saat undangan itu di sebar. Dan jika orang awam, mereka akan menganggap itu daun berwarna coklat biasa.”

“Ide bagus, Genie. Aku akan membantumu.”

“Terima kasih, Tinker Bell.”

Tinker Bell tersenyum tipis kemudian membuang pandangan ke arah lain. Hatinya mendadak resah. Ulang tahun Princess Aurora adalah sekaligus waktu kematiannya.

Tinker Bell menatap Jimin yang membalas tatapannya. Jimin mengerti apa yang menjadi hal keresahan bagi Tinker Bell. Saat ia menginap di pondok malam itu, Jimin sudah mendengar semuanya dari Tinker Bell. Walau Jimin masih belum mengerti, mengapa Tinker Bell bisa tersesat di kisah Putri Tidur dibanding ke kisah Peter Pan. Kisah miliknya sendiri.

*_*_*_*_*_*_*_*_*_

Undangan sayembara telah disebar. Istana Princess Jasmine telah siap dengan segala dekorasi indah nan mewahnya. Siap menyambut ribuan tamu. Pesta dansa yang bertujuan untuk menemukan Princess Bella.

Bang Shin Hyuk, Manager Sejin, dan Manajer Hebeom pun takjub saat ‘diangkut’ oleh permadani ajaib milik Tae Hyung menuju negeri 1001 malam untuk melihat lokasi diadakannya pesta.

Tentu saja Bang Shin Hyuk juga dipusingkan dengan outfit yang harus dikenakan member Bangtan Sonyeondan yang tersisa.

“Aku tetap menyediakan enam potong pakaian untuk kalian.”

“Tak perlu, Tuan. Pakaian Pangeran Ali sudah tersedia,” Jasmine menyela.

“Benarkah? Baiklah. Aku akan menyediakan lima untuk yang lain.”

“Sepertinya kau tak perlu repot menyiapkannya. Lagipula para stylist akan menaruh curiga nantinya, PD-nim,” ucap Jung Kook.

“Biar aku yang menyiapkannya.”

Tinker Bell melakukan sihir dan dalam sekejap penampilan Bang Shin Hyuk berubah layaknya raja dengan mahkota bermata tujuh tiara di atasnya.

“Tak perlu stylist, Yang Mulia.”

*_*_*_*_*_*_*_*_*_

Seok Jin ketakutan. Ia memakan sarapannya tanpa ocehan. Padahal biasanya ketika makan, tidak ada suasana sunyi mencekam seperti sekarang. Apalagi melihat sosok mengerikan Nam Joon yang menatap Seok Jin dari tadi. Jika Seok Jin berhenti mengunyah, Nam Joon mendengus lalu memukul meja membuat semua peralatan makan di atasnya bergetar.

“Jika kau ingin pulang, temani aku sampai makan malam. Makan sarapanmu sampai habis. Dan jika kau mau, kau boleh sambil live di V Live. Eat Jin.”

Seok Jin melongo sekaligus bingung. Nam Joon sedang bercanda atau apa? Menyuruhnya live sekarang? Di istana mengerikan ini dan menyapa ARMY di dunia dengan sapaan :

“Halo ARMY. Ada yang merindukanku? Apa kalian tahu aku sekarang dimana dan sedang berbuat apa? Aku ada di istana Nam Joon dan akhirnya aku berhasil membujuknya untuk melakukan live Eat Jin bersama. Menu makanan hari ini adalah aku sendiri. Ini sekaligus menjadi Eat Jin episode terakhir. Selamat tinggal, ARMY. Doakan aku tenang di sisi Tuhan. Nam Joon akan memakanku,” diakhiri dengan melakukan flying kiss andalannya.

Seok Jin menghempaskan garpu dan sendok bersamaan. Entah mengapa ia berpikir jika Nam Joon memang bisa saja memakannya hidup-hidup. Bisa jadi jika Nam Joon memintanya untuk menemaninya sampai malam, karena ingin memakannya. Bukankah penyihir Hensel and Gretel juga melakukan hal yang sama? Memberikan permen yang banyak pada Hensel dan Gretel sebelum akhirnya direbus di dalam kuali berisi air mendidih. Seok Jin berkeringat dingin. Apakah ini alasan Nam Joon menyuruhnya makan yang banyak agar dagingnya lebih banyak dimakan? Hiiiy.

“Karena kau merusak taman mawarku, kau harus dihukum. Tenang saja. Aku tidak suka daging manusia. Aku lebih suka daging badak.”

Jleb!

Apa Nam Joon bisa membaca pikiran Seok Jin? Seok Jin menunduk. Tak berani menatap kedua mata pemangsa milik Nam Joon.  Hukuman apa? Dan sejak kapan Nam Joon suka daging badak?

“Seok Jin Hyung, aku punya pekerjaan untukmu. Setelah ini.”

Usai sarapan, Nam Joon menggandeng Seok Jin pergi ke istana bagian barat. Bagian istana yang tidak membolehkan siapapun untuk berada di sana selain Sang Beast sendiri. Semua perabotan istana mendadak heran melihat perlakuan lembut Sang Beast.

“Sudah kubilang kan, pasti dia adalah Bella,” Lumiere begitu yakin.

“Aku setuju dengan Lumiere. Mungkin Bella memang tomboy,” timpal Mrs. Potty.

*_*_*_*_*_*_*_*_

“Apa? Kau membuat lagu, Namjoonie?”

Nam Joon menyerahkan sebuah map berisi lembaran partitur-partitur lagu.

“Ku pikir kau bersedih dikurung di sini. Kau membuat semua ini dalam kesendirian?”

“Setidaknya aku harus tetap berguna untuk sisa umurku yang tidak lama lagi, Jinnie.”

“Namjoonie. Jangan bicara begitu. Kami akan menemukan Bella.”

“Untuk apa?”

“Untuk memberikan ciuman cinta sejati. Agar kutukanmu hilang.”

Segaris senyuman kecut masih bisa terlihat dari perubahan ekspresi wajah berbulu lebat itu.

“Cinta sejati? Kau percaya hal konyol begitu?”

“Tentu saja.”

“Akan kuberi tahu untukmu, Jinnie. Kau mungkin selalu bahagia. Walau kau cemas, kau selalu berhasil membuat suasana hatimu bahagia dalam sekejap. Namun ketahuilah, jika hidup ini tidak serta merta yang digambarkan dalam novel dan dongeng. Bahkan lirik-lirik cinta yang aku dan Yoon Gi tulispun hanya sekadar lirik semata. Cinta sejati? Hahahaha. Itu hal paling menggelikan yang membuat orang-orang mengharapkan sesuatu yang semu.”

Seok Jin terdiam. Hatinya mendadak linu. Cairan bening itu menetes. Seok Jin menyekanya dengan jari.

“Apa kau menyerah? Untuk apa aku yang selalu mengkhawatirkanmu dan menangis sampai mataku bengkak dan jelek? Kau rupanya orang yang sangat membosankan, Kim Nam Joon. Apa kau sudah lupa dengan ARMY? Cinta mereka apakah palsu di matamu? Apa kata ARMY yang pertama kali keluar dari mulutmu saat kita memenangkan kompetisi hanya sekadar kata tak berarti belaka? Kau pembohong, Kim Nam Joon. Kau benar-benar monster. ARMY akan sangat kecewa jika mengetahui ini.”

Nam Joon tak menjawab. Makhluk itu menatap putus asa pada kelopak mawar yang kembali jatuh. Seok Jin melihatnya. Kedua matanya semakin basah melihat sisa kelopak mawar yang tersisa. Satu kelopak masih menggelayut.

*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_

“Teman-teman, aku pulang!”

“Seok Jin Hyung!”

Jimin berlari lebih dulu memeluk Seok Jin. Bahkan Jimin mencium kedua kaki Seok Jin seakan takut durhaka menimpanya.

“Hyung, maafkan aku meninggalkanmu. Hyung, kau boleh menghukumku atau mengutukku jadi batu sekalian.”

“Sudahlah. Aku baik-baik saja.”

“Benarkah? Apa itu di pipimu? Itu bekas cakaran kuku, kan? Apa Nam Joon yang melakukannya?” Yoon Gi memeriksa pipi Seok Jin yang memiliki bekas luka segaris yang mengering.

“Dia tak sengaja melakukannya saat memaksaku mandi. Aku juga yang ngeyel, sih.”

“Mandi? Apa Nam Joon Hyung memandikanmu? Apa yang kalian berdua perbuat?” tanya Tae Hyung dengan penuh curiga.

“Ngomong-ngomong, kalian mau kemana? Apa kita ada schedule mengisi acara musik?” Seok Jin lebih memilih mengalihkan topik.

“Pesta,” jawab Yoon Gi singkat. Yoon Gi segera menggandeng Seok Jin agar menaikki permadani terbang.

*_*_*_*_*_*_*_*_*_*

“Ingat, nama kalian bukanlah nama asli kalian selama ini. Kalian memakai nama pangeran di dalam buku cerita. Kecuali Tuan Jung Ho Seok.”

Elsa mengingatkan. Sang Ratu terlihat sangat cantik malam itu. Mahkota berwarna biru beningnya terpasang manis di atas kepalanya. Gaun berwarna birunya memancarkan aroma es peppermint. Aroma Ho Seok yang ia ‘curi’.

Elsa memandang keenam pria yang duduk berjejer di hadapannya.

“Kalian tampan,” ucap Elsa yang kedua matanya terfokus pada Ho Seok yang mengenakan jubah kerajaan.

“Pangeranku yang paling tampan,” Snow White spontan mencium bibir Min Yoon Gi sedetik. Membuat member lainnya harus memalingkan wajah daripada membuat rona merah Yoon Gi semakin cerah.

“Tentu saja Pangeran Ericku paling tampan.”

“Pangeran Aliku paling tampan dan seksi.”

Ariel dan Jasmine tidak mau kalah memuji pangeran masing-masing. Jimin yang menunggu pujian dari Aurora harus menelan kekecewaan ketika Aurora lebih tertarik mengobrol dengan Olaf yang mulutnya belepotan madu lebah. Madu yang dibawakan oleh Aurora dari hutan langsung.

Sementara itu, Penasehat Kerajaan mengintip dari menara istana siapa saja tamu yang datang. Senyuman murka itu terkembang ketika melihat Putri Aurora yang digandeng Jimin. Malaficient memicingkan mata besarnya saat melihat Ariel dan Jung Kook memasuki istana. Dan senyuman murka itu mendadak suram saat ia melihat Ratu Elsa yang memberikan mantel tebal berbulu untuk Ho Seok yang terlihat kurang sehat. Sebuah apel muncul dari tangan Malaficient saat Snow White dan Yoon Gi yang terakhir masuk ke istana.

“Tepat saat pukul dua belas malam, segala kutukan akan bertemu.” 

Di dalam istana, Putri Jasmine dan Tae Hyung menyambut tamu dengan ramah. Segala hidangan mewah disajikan diiringi musik khas arab dan penampilan para penari perut.

Tawa malaficient terdengar saat melihat Seok Jin berjalan seorang diri menuju pasangan yang lain.

“Satu pangeran tanpa pasangan dan satu pangeran menanti kematiannya.”

Halilintar serasa membelah istana Nam Joon di hutan larangan kala itu. Malaficient sudah tak sabar menantikan hal menarik yang akan terjadi. Jam dinding baru menunjukkan pukul sembilan lewat tujuh belas menit.

*_*_*_*_*_*_*_*_*_

Tinker Bell terbang berkeliling istana. Kedua mata besarnya memperhatikan satu per satu tamu yang hadir. Semua putri cantik berkumpul di sana. Member Bangtan Sonyeondan pun cukup kaget dengan banyaknya jumlah mahkluk dongeng yang ada di tempat itu.

Seok Jin sampai harus meminta maaf berkali-kali pada Putri Rapunzel yang rambutnya tak sengaja ia injak. Bahkan Olaf pun seolah banyak menemukan teman di sana. Ia terus bercanda bersama seekor Pegasus dan Pinokio yang hidungnya sempat memanjang sepuluh meter saat mengakui dirinya pernah menjabat menjadi Raja Arthur dalam sejarah Kerajaan Minimoys.

Tinker Bell kembali menemui Jimin dan mendarat di pundak.

“Pangeran Philip, aku harus pergi. Ada satu tamu yang belum hadir.”

“Benarkah? Ku pikir semua tamu sudah hadir. Sebentar lagi pesta akan dimulai.”

“Benar, Putri Jasmine. Satu gadis belum hadir dalam pesta ini. Aku akan mencarinya. Sebentar saja.”

Belum sempat Aurora memprotes, Tinker Bell sudah terbang.

“Ah, dia selalu saja begitu. Tak mendengarkan aku,” Aurora cemberut.

“Kau jangan kemana-mana, tetap disisiku,” Jimin merangkul Aurora yang seketika menolak. Jujur, Aurora sedikit takut berinteraksi, karena selama ini hidup hanya dengan seorang peri hutan.

*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_

Sylvester Lee membersihkan sepatu kaca dengan tisu hingga mengkilap. Sepatu kaca yang entah dimana keberadaan pasangannya itu berkilau menyilaukan. Masih teringat dengan jelas bagaimana dirinya menarik gaun Cinderella yang keluar dari mesinnya pertama kali dengan meninggalkan sebelah sepatu.

Bruk!

Sylvester Lee seketika menoleh mencari sumber suara.

“Malaficient, kau kah itu?”

Sylvester Lee mengikuti bayangan yang menjulang di lantai. Pemilik bayangan itu membuat Sylvester Lee tercengang lalu tersenyum lebar.

“Tuan. Aku ingin mengambil barang milikku.”

Sylvester Lee begitu bersemangat menyerahkan barang yang dimaksud. Gadis cantik di hadapannya berterima kasih dan pamit.

“Apa kau butuh tumpangan? Kau akan pergi ke pesta di negeri 1001 malam kan?”

“Apa kau punya kereta labu, Tuan?”

“Tentu, Cinderella.”

TBC

Bangtan Sonyeondan and Seven WondersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang