Bunyi suara pertanda jam pelajaran hari ini terakhir telah selesai. Marsha yang sedang memainkan ponselnya dibawah meja, lantas mendongak dan bersorak riang. Buku-buku yang berada diatas mejanya yang tidak ia perdulikan memasukkan buku-buku itu dengan cepat.
“Mau kemana lo?”
Marsha yang sudah akan bangkit dari bangkunya mendengar suara Ardan yang sedang bertanya.
“Pulang.” Marsha menjawab dengan nada bingungnya dan melihat wajah Ardan.
“Pulang bareng gue!” Suara Ardan terdengar seperti sebuah perintah yang membuat Marsha kembali dibuat heran.
Marsha menggeleng dramatis lalu tersenyum menggoda. “Lo udah jatuh cinta ya sama gue?” Marsha terbahak melihat wajah pucat Ardan yang menurutnya sangatlah lucu.
“Enggak lah!” suara Ardan berubah sewot.
Tawa membahana Marsha seketika hilang, digantikan dengan senyum masam. “Yaudah deh, gue duluan,” langkah kaki Marsha berhenti berbalik menghadap Ardan. “Bye sayang!”
Sontak saja tangan Ardan langsung menarik ujung rambut perempuan itu yang di gerai indah. “Pulang bareng gue Marsha!” Ardan melotot tajam. “Ngerti gak sih? Susah banget dibilangin.”
“Rambut gue Ardan! Sakit tau lo tarik gitu.” Marsha mengerucutkan bibirnya. Manyun. “Gue mau pulang sendiri! Kalo lo yang nganter gue bisa-bisa gue gak betah di mobil lo gara-gara keterdiaman lo.”
Kembali, Marsha kembali melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan kelas yang tiba-tiba menjadi hening. Ditengah perjalanannya di koridor sekolah, perempuan itu tak henti-hentinya menggerutu sambil memegang ujung rambutnya yang jadi keganasan tangan Ardan.
“Gange banget jadi cowok, udah tau cewek itu harus dilembutin. Eh, malah dia kasarin gue. Dia pikir gak sakit apa rambut gue ditarik gitu!” Marsha masih berceloteh sendiri. “Ardan Bangke!”
Sampai di gerbang sekolah, gadis itu menatap kiri kanan menghindari kendaraan yang beralalu lalang setiap harinya. “Pulang naik apa, ya?” gadis itu mengambil ponselnya lalu mengutak-atik benda pipih itu.
My Mommy : Ma. Jemput dong
Marsha menunggu balasan pesan dari Mamanya. Tapi tak ada tanda-tanda pesan itu akan terbalas. Marsha mendesah kesal lalu mengutak-atik ponselnya dan membuka grup yang ada di aplikasi Linenya.
Pakbal Friends (8)
Marshaa : P (3)
Marshaa : Dkh jemputan? 😪
Fingkha : Ada
Dalam hati, gadis itu bersorak riang.
Marshaa : Who's?
Fingkha : Ardan 😂
Binar mata Marsha tiba-tiba saja meredup di gantikan dengan pandangan datar.
Marsha : G jdi
Marsha berdecak kesal lantaran membaca balasan chat dari Fingkha.
Dengan langkah pasrah, cewek itu menjauh dari gerbang sekolah. Berjalan kecil mencari tumpangan untuk sampai dirumah. Jikalau dari sekolah sampai rumah, akan memakan waktu sekitar satu setengah jam.
Tangan kanan perempuan itu menghapus keringat yang mulai ada di dahinya, kecil tapi banyak. Bibirnya pun menghela nafas lelah. Lalu kepalanya menoleh ke belakang, melihat seberapa jauhnya ia saat ini.
Didepan sana, sekitar lima menit berajalan kaki, ada toko yang terkenal berdiri di samping jalan raya. Kedua kaki Marsha kesana. Duduk ditempat duduk yang tersedia. Ia mengambil cepolan yang ia simpan didalam tas, lalu mencepol rambut panjangnya yang hampir sampai pinggang.
Marsha memeriksa kantung bajunya, apakah masih ada sepersen uang atau tidak. Tapi ternyata tidak ada. “Haus banget ya Allah.” Marsha bergumam seraya menghapus keringat yang mulai menetes dari dahinya ke seluruh permukaan wajahnya.
Marsha mengambil buku tulisnya didalam tas lalu membuka dua kancing baju sekolahnya, memperlihatkan tanktopnya yang bewarna putih gading. Buku tulis itu ia kipas-kipaskan didepan wajahnya sambil menutup mata, menikmati angin yang dihasilkan dari buku yang ia gunakan.
Selagi ia menikmati angin alami itu, ada sebuah dingin-dingin yang menyentuh pipinya. Sontak saja Marsha terpekik kaget dan secara spontan buku itu jatuh. Enggan penasaran, mata itu terbuka. Melihat siapa yang melakukan.
Tepat didepan wajahnya yang lesu ada sesosok laki-laki yang sedang menaikkan sebelah alisnya. Dan mata itu melirik kesamping, melihat apa yang membuat pipinya terasa begitu dingin. Ternyata minuman kaleng yang isi minuman itu bewarna putih.
“Sejak kapan lo disini?” suara Marsha yang terdengar duluan.
Sosok itu berpindah menjadi duduk disamping Marsha. Meneguk minuman bewarna orange itu. “Tadi,” mata sosok itu melirik ke arah jam tangan yang digunakannya. “Sekitar setengah jam yang lalu, maybe.”
“Hah? Masa?” Marsha cengo. “Tapi gue gak ngeliat motor lo lewat deh.”
Marsha ikut meminum minuman yang diberikan sosok itu. Meneguknya perlahan.
“Tadi kan lo nunduk terus waktu gue lewat didepan lo,” sosok itu mendengus.
Marsha tertawa kecil. “Masa sih?”
“Iyalah!” orang itu menjadi sewot. “Untung aja gak ada kendaraan yang nabrak lo waktu lo nunduk terus.”
Marsha tersenyum tipis. “Masih khawatirin gue ya lo,” jari lentik itu mencolek pipi kanan sosok itu dari samping. “Padahal lo udah punya Intan.”
Alis sosok itu naik sebelah, heran. “Lahh.. Emang kenapa? Gak salah dong gue khawatirin lo?”
Kedua bahu Marsha naik. Acuh tak acuh. “Ya salah lah. Lo itu mantan gue. Mantan yang seharusnya dibuang di tong sampah.” Marsha berucap santai tanpa memikirkan apakah sosok disampingnya akan marah atau tersinggung.
Alih-alih marah, sosok itu justru terkekeh. “Lo itu ya samain mulu gue sama mantan-mantan lo yang lain.”
Sekitar lima menit kemudian, barulah kedua orang itu bangkit dari duduknya. Marsha meminta orang itu untuk mengantarkannya sampai kerumah. Karena sepertinya kedua kaki perempuan itu akan patah jika dipaksa berjalan kaki terus.
“Thanks ya, Tir.”
Marsha berucap setelah motor itu sudah sampai didepan rumahnya. Lalu ucapan Marsha dibalas dengan senyum menawan sosok itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Piece Of My Heart
Teen FictionJika aku berharap padanya, kenapa harus ada rasa suka, cinta, sayang, lalu sakit hati?