"Namanya Zahra." Bagas menunjukkan foto di ponselnya. "Kami satu fakultas waktu kuliah."
Jujur, ini bukan kabar yang aku harapkan dari Bagas setelah 5 tahun kami tak bertemu.
Kuperhatikan setiap detail wajah di foto itu. Kulit putih cerah, mata bulat dan hidung mancung mengingatkanku pada tipe wajah perempuan arab. Ah, Bagas pasti bahagia mendapatkan perempuan secantik ini.
"Jadi kapan kalian menikah?" tanyaku sambil menatap wajahnya. Ia semakin tampan, tapi kenyataan bahwa ia akan menikah membuat dadaku terasa sesak.
"Empat bulan lagi," jawabnya tanpa beralih sedikit pun dari semangkuk mie ayam di hadapannya.
"Lapar, huh?" tanyaku meledek. Bagas menelan mie terakhirnya, lalu tertawa.
"Sudah lama aku gak makan mie ayam ini, Wie. Rasanya nikmat sekali."
"Terakhir lima tahun yang lalu," sahutku dengan tatapan jauh menerawang pada masa lalu.
Kami sering makan di kedai ini saat masih SMU. Lalu ia kuliah di Jogja dan kami hanya bertemu jika ia pulang ke Jakarta. Setahun kemudian keluarganya pindah ke Surabaya dan kami tidak pernah lagi bertemu.
Minggu kemarin ia menghubungiku lewat akun facebook, memintaku untuk datang ke tempat ini. Bagas kembali tinggal di Jakarta. Ia tahu aku mengelola sebuah wedding organizer, dan ia memintaku mengurus pernikahannya.
"Gak nyangka ya, kamu lebih dulu menikah dibanding aku," ucapku ketus. Aku tak peduli seandainya Bagas menangkap kekecewaanku. Melepaskan orang yang kamu cintai itu menyakitkan. Dan berpura-pura bahagia akan hal itu jauh lebih menyakitkan.
"Coba kamu mau terima waktu aku nembak dulu," godanya dengan seringai menyebalkan. Ya, dia pernah menyatakan cintanya saat kelas dua SMU. Aku tolak karena Ibu dan Ayah tidak suka aku berpacaran selagi masih sekolah. Tapi alih-alih menjauh, Bagas justru tetap di sampingku sebagai seorang sahabat.
Kupikir kemunculan Bagas sekarang berarti kembalinya seorang sahabat. Tapi itu tidak mungkin. Kami takkan bisa bersahabat jika ia memilih menikahi perempuan lain.
"Gas?" panggilku pelan. Bagas menoleh.
"Kalau aku yang minta, apa kamu bersedia membatalkan pernikahanmu?" Entah dari mana keberanian itu muncul, tiba-tiba aku merasa perlu untuk melemparkan pertanyaan absurd itu.
Bagas diam. Sedetik kemudian aku tertawa aneh, "becanda kok." Aku mengibaskan tangan di hadapannya.
Ponsel Bagas bergetar. Ia meraihnya sambil tetap menatapku.
"Hallo? Aku lagi makan di luar. Za, besok ada di rumah? Mamah papah juga?" Tatapan Bagas padaku semakin tajam seolah aku lah yang sedang ia ajak bicara.
"Besok aku ke rumah, ada yang harus aku bicarakan," sambungnya pada orang di seberang telepon.
Aku mengangkat alis, tak mengerti mengapa ia terus saja menatapku.
"Besok kukabari, apakah pernikahan ini dilanjut atau dibatalkan." Nada bicara dan tatapan matanya tepat menusuk jantungku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa & Aksara
ChickLitKumpulan flash fiction dan cerita pendek. Ditulis dalam rangka belajar, berlatih, dan bahagia.