True Love

8 0 0
                                    

Mata Dewa tak lepas sedetik pun dari layar ponselnya. Segaris senyum terus tersungging di bibir merah keunguan itu, sesekali memperlihatkan barisan gigi depannya yang putih. Ia bahkan tak sadar jika mataku menatapnya tajam dari lima menit yang lalu.

Aku mendengus kesal melihat kelakuannya di meja makan pagi ini. Sepiring nasi goreng lengkap dengan suwiran ayam dan irisan mentimun yang kuletakkan di hadapannya belum ia sentuh sama sekali.

"Keburu dingin nanti sarapannya, Mas," ucapku ketus sambil menyeruput secangkir kopi.

"Iya, sebentar lagi." Dewa masih belum mau melihat wajahku atau nasi goreng di hadapannya. Jarinya tetap sibuk menari di atas layar sentuh itu. Aku menghela napas berat, ingin rasanya menumpahkan kopi ke atas ponsel yang sedang dipegangnya. Dari senyumnya yang terus mengembang, aku yakin ia pasti sedang chating dengan perempuan.

Aku melirik jam yang tergantung pada dinding di hadapanku. Sudah hampir jam delapan.

"Mas, kita jadi ke Puncak kan hari ini?" tanyaku dengan suara yang kubuat seriang mungkin. "Harus siap-siap dari sekarang loh. kita berangkat pagi aja biar nanti nggak kena jalur tutup."

David menatapku, lalu meletakkan ponsel di atas meja. Ah, akhirnya! Aku menyunggingkan seulas senyum dengan binar mata bahagia. Tapi dadaku sesak mendapatkan ekspresi aneh pada wajahnya. Ia pasti akan mengatakan hal yang sudah aku duga.

"Maaf, hari ini nggak bisa. Aku dapat tugas ke Bandung, harus survey lokasi untuk event bulan depan."

Aku mengembuskan napas berat. "Nginep?"

Dewa mengangguk, "pulang besok malam," jawabnya sambil tersenyum. Ia mulai menyuapkan nasi goreng ke mulutnya. "Minggu depan aja ya kita ke sana."

Aku tersenyum miring, lalu membuang pandanganku dari wajahnya. Ia pikir aku tidak tahu apa yang terjadi. Menikah hampir dua tahun, sifatnya masih belum berubah. Entah sudah berapa ratus kali ia membohongiku, memberi alasan sekaligus janji palsu.

"Aku mandi dulu, sejam lagi aku berangkat. Kamu bisa tolong siapkan baju-baju aku, Beib?" Dewa berdiri, mengelus rambutku sebentar lalu berjalan ke kamar mandi.

Kupandangi punggungnya sampai ia hilang tertutup pintu kamar mandi. Sebelum melangkah ke kamar untuk menyiapkan tasnya, aku meraih ponsel yang Dewa tinggalkan di atas meja makan.

Layar itu terkunci oleh kode-kode angka. Dewa memang tidak pernah memberitahu susunan angka untuk membukanya, tapi diam-diam aku memerhatikan jarinya setiap kali ia memakai ponsel saat di sebelahku.

Percakapan terakhir yang kulihat adalah dengan kontak bernama inez. Sepertinya Dewa tidak berbohong soal survey lokasi, tapi konyolnya tugas itu hanya ia jalankan berdua dengan seorang perempuan.

Aku menggeleng tak percaya. Perusahaan macam apa yang memasangkan lelaki playboy seperti Dewa dengan perempuan genit itu. Ya, dari percakapan yang kubaca terlihat jelas mereka berdua sama-sama brengsek. Menjijikan!

Aku memejamkan mata, lalu menghirup napas dalam-dalam. Rasanya memang sesak, tapi sekarang aku tak pernah lagi menumpahkan air mata. Luka di dalam hatiku sudah mengering dan tidak akan kubiarkan lagi siapa pun kembali menggoresnya.

Inez adalah nama ke lima dari perempuan-perempuan yang berhasil Dewa ajak kencan setelah pernikahan kami. Itu jumlah yang aku tahu, entah berapa lagi yang tidak pernah aku ketahui.

Kuletakkan kembali ponsel itu di atas meja, lalu melangkah menuju kamar. Meski menyakitkan, aku tetap melaksanakan tugas sebagai istri Dewa. Sudah kuputuskan aku akan tetap bertahan di sini, tak peduli seperti apa brengseknya ia.

Dewa masih belum keluar dari kamar mandi. Sambil memilih baju dan celana yang akan kusiapkan untuknya, aku menghubungi sebuah nomer dari ponselku.

"Ya, Sayang?" Suara berat lelaki di ujung telepon menyapaku.

"Hari ini kamu ada waktu?"

"Buat kamu, aku selalu ada waktu." Seperti biasa ia senang sekali menggodaku.

"Dewa mau berangkat ke Bandung dan baru pulang besok," ucapku sambil melangkah ke pintu kamar, berjaga agar dapat melihat Dewa setelah mandi. "Jadi kamu bebas ajak aku ke mana pun kamu mau."

Radit, lelaki di seberang telepon tertawa. "Ok, nanti siang aku jemput ya," sahutnya sebelum aku menyentuh gambar telepon berwarna merah di layar saat kulihat Dewa berjalan ke arah kamar.

*
Aku tersenyum dan melambaikan tangan pada Dewa saat mobilnya berlalu dari depan rumah. Silahkan kamu nikmati kesenangan kamu, aku akan tetap memposisikan diri sebagai istrimu yang setia.

Radit, kekasih yang sempat kutinggalkan demi menikah denganmu telah mengajarkanku tentang arti setia yang sesungguhnya.

Rasa & AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang