"Karena kalian berdua terlambat lebih dari sepuluh menit, sekarang lari keliling lapangan sebanyak dua putaran!" perintah pak Basit, guru yang hari ini piket di pos sekuriti sekolah.
Aku menarik napas lalu mengembuskannya dengan kencang. Tubuhku mendadak lemas, tapi aku tak punya pilihan lain. Cowok tinggi di sebelahku mulai berlari ke tengah lapangan dengan membawa bola basket. Aku menyusulnya dengan berlari kecil.
Sial, pagi ini sepertinya matahari meninggi lebih cepat. Kepalaku terasa sakit dan berat. Seharusnya tadi aku menuruti saran ibu untuk istirahat saja di rumah. Mataku mengikuti gerak cowok itu yang berlari penuh semangat, meninggalkanku jauh di belakangnya.
Tiba-tiba ia membalikkan badan dan tersenyum sambil menatapku. Ia berhenti berlari, lalu asyik memantulkan bola basket yang dibawanya. Di bawah sinar matahari pagi wajahnya terlihat cerah, dan tampan.
"Gak usah manyun gitu, vitamin D bagus buat tulang," ucapnya ketika aku sampai di depan cowok itu. Aku pura-pura tak mendengar dan tetap berlari, sisa satu putaran lagi. "Siapa tau bisa bikin badan lo lebih tinggi lagi," sahutnya sambil berlari kecil di sebelahku.
Aku meliriknya sebal. Ok, tinggi badanku yang hanya seratus lima puluh centimeter ini memang terlihat berada jauh di bawah kepalanya. Napasku semakin terengah, dan aku merasakan jantungku berdetak sangat cepat.
"Kelas berapa?" tanyanya.
"Sepuluh," jawabku dengan napas yang terdengar berat.
"Trus nama lo siapa?" ia terus bertanya.
Duh, kenapa sih ini cowok? Bawel banget! Sekarang perutku terasa mual, dan tiba-tiba semua yang kulihat tampak bergoyang, membuat kepalaku sangat pusing. Aku tumbang.
Kesadaranku kembali saat cowok itu bersama pak Dewo, security sekolah, membopong tubuhku masuk ke ruang UKS di seberang lapangan. Aku pingsan? Ah, ini memalukan.
Aku berharap bisa meloncat turun dari tangan-tangan mereka, tapi tubuhku sangat lemah. Jadi kuputuskan untuk tetap memejamkan mata dan membiarkan mereka membaringkanku di atas tempat tidur.
"Pak, tolong pesenin teh manis anget ya sama bu kantin. Suruh bawa ke sini," pinta cowok tinggi itu saat Pak Dewo pamit untuk kembali ke pos sekuriti.
"Lo udah sadar?" tanyanya cemas. Ia menarik kursi agar lebih dekat dengan tempat tidur dan duduk di sana menatapku. Aku mengangguk.
"Ruang UKS nya gak ada yang jaga." Cowok itu melihat sekeliling ruang dengan kecewa. "Payah nih anak PMR."
"Gue pingsan?" tanyaku bodoh. Cowok itu tertawa.
"Lo belom sarapan? Muka lo pucet banget tadi." Aku menggeleng.
"Dari pagi gue emang pusing banget, udah seminggu ini kurang tidur gara-gara belajar buat olimpiade sains," jawabku dengan suara yang masih lemah.
Ia membulatkan matanya. "Lo ikut olimpiade sains bulan depan?"
Aku mengangguk. "Lo ikut juga?" tebakku sambil bangun dari tempat tidur.
Ia tertawa, "Gak mungkin lah, matematika sama fisika gue enam."
Bu kantin masuk membawa segelas teh manis hangat. Cowok itu melarangku membayarnya.
"Gue aja. Anggap aja ini traktiran." ujarnya tersenyum. Aku balas tersenyum lalu meneguk teh manis itu demi menghilangkan mual dan pusing.
"Eh, tangan lo berdarah," ujarnya kaget melihat siku tanganku yang lecet. "Bentar gue obatin."
Ia berdiri, membuka beberapa lemari dan menemukan perlengkapan P3K yang dicarinya.
Semenit kemudian ia meneteskan obat anti septik pada lukaku dan menutupnya dengan perban. Aku mengangkat alis menyaksikan perawatan yang terlihat sangat amatir.
"Kenapa plesternya jadi tanda silang begitu?" tanyaku kesal saat ia memasang plester di atas perban.
"Ini model baru. Jadi lo sama temen-temen lo tau kalo ini bahaya." Ia mengambil sebuah spidol, lalu menuliskan sesuatu di atas perban yang sudah menempel di siku tanganku, DANGER. Cowok itu tersenyum konyol dan melanjutkan coretannya.
"With love, Rei." Aku membaca coretan yang terlihat jelas pada perban itu. "Gila lo!" protesku, berpura-pura kesal padahal ingin sekali tertawa.
Ia tersenyum. "Itu nama gue."
Aku menatap wajahnya dan tersenyum geli. Ada sesuatu yang hangat menjalar di wajahku. Rei menyerahkan spidol dan mengulurkan telapak tangannya ke hadapanku.
"Lo bisa tulis balasannya di sini," ujarnya. Wajahku sepertinya memerah, kini desir aneh mengalir di tubuhku, dan aku yakin bukan karena kurang tidur.
Kuraih telapak tangannya dan menulis, THANKS, AUDY.
Sekali lagi Rei tersenyum. Aku akui senyumnya sangat manis. "Gue kelas dua belas. Lo kelas sepuluh kan?" tanyanya memastikan. Aku mengangguk. "Sepuluh berapa?"
"Sepuluh C," jawabku menyebutkan kelas. Rei kembali membuat coretan, kali ini di atas kertas.
"Ok, gue harus masuk kelas. Lo istirahat aja di sini. Ini gue kasih resep biar lo gak pusing lagi."
Rei keluar setelah menyerahkan kertas tadi. Ah, wajahku semakin merona dengan bibir yang tak bisa berhenti tersenyum saat membacanya.
'Temenin gue nonton ya, biar lo gak stres mikirin olimpiade. Hari sabtu besok, jam dua siang.'
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa & Aksara
ChickLitKumpulan flash fiction dan cerita pendek. Ditulis dalam rangka belajar, berlatih, dan bahagia.