Senja yang Mendung

34 2 0
                                    

"Kak, aku anterin Ibu ke situ ya." Aku mencuri dengar percakapan Rani, anakku yang ke dua, dengan Aldi, anak pertamaku. "Tolong lah, Kak. Aku repot, Cila lagi sakit," ucapnya memohon. Cila, bayi satu tahun itu memang sedang rewel karena demam.

Kuhela napas dengan berat. Ah, sepertinya sudah lama napasku memang terasa berat dan sesak. Mungkin karena usia yang semakin tua, atau bisa jadi karena penyakit yang menggerogoti tubuh rentaku.

Cila kembali terdengar menangis, padahal seingatku ia baru tidur sebentar sekali. Rani berlari ke kamar, lalu menggendong anak bungsunya itu. Tak lama kemudian ia beranjak ke dapur dengan Cila di gendongan, sepertinya merebus sesuatu.

Setiap hari Rani tampak repot dengan pekerjaan rumahnya, apalagi sekarang saat si kecil sedang sakit.
Menyaksikan kerepotan itu, aku ingin sekali berdiri untuk membantu menggendong Cila, atau menggantikannya memasak di dapur. Tapi tubuhku tidak lagi sekuat dulu. Aku seorang ibu yang hanya bisa duduk lemah di atas kursi roda.

Kalau saja aku masih bisa berdiri dan berjalan, aku lebih memilih untuk pulang dan tinggal di rumah sendiri. Rasanya dada ini terasa sesak setiap kali kulihat ia kerepotan merawat ibunya yang lemah ini.

"Ini, Bu." Rani meletakkan mangkuk berisi tiga buah kentang rebus di atas meja. "Ibu makan ya buat sarapan. Kalau kena gula itu kurangi makan nasi, Bu."

Aku mengangguk, lalu mengambil sebuah kentang. Diabetes membuat menu makananku sangat terbatas, dan itu membosankan. Kadang aku tak berselera dan akhirnya tak menyuapkan apapun ke dalam mulut.

"Masih anget ya badannya?" tanyaku saat menyentuh kening Cila.

"Iya, nanti abis makan dikasih minum obat aja," jawab Rani sambil menyuapkan bubur pada mulut Cila.

"Si kaka ke mana?" Aku melihat sekeliling ruangan dan tak menemukan Kakaknya Cila.

"Udah berangkat sekolah, Bu. Kan tadi udah cium tangan sama Ibu."

Benarkah? Aku tak ingat ada yang sudah mencium tanganku.

"Suamimu?" tanyaku lagi. Rani mengembuskan napas dengan kencang, sepertinya ia kesal.

"Kerja, Bu. Tadi berangkat bareng sama si kakak," jawabnya. "Ibu ini lupa terus, ah."

Aku diam. Sepertinya akhir-akhir ini sering sekali anak-anakku mengatakan aku pelupa. Kalau memang iya, apakah mereka kesal? Ya Tuhan, aku tak mau merepotkan mereka di masa-masa senja seperti ini.

"Bu, besok Rani anterin Ibu ke rumah Kak Aldi ya. Rani gak bisa fokus ngurusin Ibu karena Cila sakit." Rani memegang lembut telapak tanganku. Ada genangan bening yang menyelimuti matanya yang memerah.

Rani lalu menundukkan kepalanya. Aku tahu ia merasa bersalah. Rasanya dadaku semakin sesak, air mata ikut menggenang di pelupuk mata. Bukan, bukan karena aku tak mau ia membawaku ke rumah Aldi, tapi karena aku sadar bahwa aku lah yang bersalah.

Rani sudah repot dengan pekerjaan rumah dan mengurus anak-anak, apalagi Cila masih bayi. Kehadiranku di sini tentu membuatnya semakin repot. Ia harus memapahku ke kamar mandi, memandikan, membersihkan kotoran, dan semua hal yang seharusnya bisa kulakukan sendiri.

Sudah lama aku mengidap hipertensi. Aku sering minum obat, tapi aku tak suka makananku dipantang. Dua tahun lalu aku juga terdeteksi diabetes. Entah karena tekanan darah atau kadar gula yang tinggi, aku merasakan tangan dan kakiku semakin sulit digerakkan.

Kemudian aku terserang stroke yang membuat tangan dan kaki sebelah kiri tak bisa digerakkan sama sekali. Kini sudah setahun aku memakai kursi roda, atau lebih, entahlah aku lupa berapa lama tubuhku seperti ini.

Rasa & AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang