Lukisan Mimpi

18 0 0
                                    

Jam delapan pagi, dengan setengah berlari aku menyusuri selasar kampus. Jadwal kuliah statistik sudah dimulai dari sepuluh menit yang lalu. Sial, sudah dua kali aku terlambat, dan dosen menyebalkan itu sudah mengancam akan memberikan nilai D jika hal itu terjadi lagi. Ah, akhir-akhir ini aku selalu mengantuk karena mimpi aneh itu selalu datang pada tidur malamku.

“Aw ...!” seseorang tiba-tiba saja menabrakku dari belakang, dua buku tebal yang aku pegang terjatuh ke lantai.

“Maaf,” ucapnya sambil berjongkok dan meraih buku-buku yang jatuh.

“Nih, sorry ya gue buru-buru.” Lelaki dengan polo shirtmerah itu menyerahkan buku, lalu berlalu begitu saja tanpa melihatku. Ia berjalan sangat cepat sebelum akhirnya masuk ke dalam salah satu kelas.

Aku menghela napas lega saat menjatuhkan tubuh ke kursi. Dosen yang hobi mengancam mahasiswanya itu ternyata belum datang. See? Dosen pun  bisa telat, seharusnya ia juga mendapat hukuman.

Setelah mendapat kabar yang menyebutkan bahwa kuliah statistik hari ini diliburkan, aku segera membereskan kembali buku yang kubawa. Jadwal berikutnya masih dua jam lagi, waktu yang sangat cukup untuk makan di kantin. Aku juga harus membeli surat kabar hari ini, siapa tahu ada info lowongan kerja yang bisa aku ambil.

Selembar pamflet terjatuh saat aku berdiri. Aku menunduk untuk meraihnya. Sepertinya ia terselip di dalam buku, entah siapa yang pernah menaruhnya di sana. Kulihat isinya tentang pameran lukisan yang akan diadakan sebuah galeri seni.

Aku tak pernah tertarik pada seni, apalagi lukisan. Tapi ada info yang menarik perhatianku, lowongan pekerjaan. Galeri ini sedang membutuhkan orang yang bisa bekerja part time. Lokasinya pun tidak jauh dari kampus, sepertinya aku harus ke sana.

Kubatalkan rencana  makan di kantin, lalu  bergegas mengambil motor untuk pergi ke galeri. Semoga dengan datang pagi-pagi  aku bisa mendapatkan kesempatan itu.  Bagaimanapun aku harus bekerja agar tak terlalu membebani ayah yang harus membayar biaya kuliahku.

***

Gedung itu terlihat sederhana, dindingnya bercat putih bersih dengan dua pilar berdiri kokoh di teras. Desain eksterior klasik membuatnya tampak mencolok di tengah ruko-ruko perkantoran dan beberapa counter ponsel.

Tak ada seorang pun yang terlihat di luar gedung, tapi pintu yang juga bercat putih itu terbuka. Dengan ragu aku melangkah masuk. Seorang lelaki empat puluh tahunan duduk di balik meja, menekuri kertas-kertas di hadapannya.

”Pagi, Pak,” sapaku yang kini berdiri di depan mejanya.

Ia mendongak, “Ya, pagi. Ada yang bisa saya bantu, Mba?”

“Saya dapat info tentang pekerjaan part time di sini, Pak,” jawabku. “Ini surat lamaran dan CV saya, barangkali bisa dipertimbangkan.” Aku menyerahkan amplop cokelat besar kehadapannya.

Lelaki itu membuka amplop dan membacanya sekilas saja. “Melani,” ucapnya menyebutkan namaku. Kebetulan saya pemilik galeri ini. Kamu sudah tahu kami mencari orang untuk apa?” tanyanya sambil memasukkan kembali surat lamaranku.

Rasa & AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang