Olahraga yang Alvis jalani ternyata bukan olahraga yang berlatar tempat di gym atau lapangan golf. Olahraga yang di jalani Alvis benar-benar olahraga yang berbeda. Yaitu, memanah dan juga menembak. Jika seperti ini, namanya bukan olahraga. Tetapi latihan.
Nadiar benar-benar tidak mengerti. Nadiar kira, olahraga Alvis itu elite. Semacam golf, billiard, atau bowling. Namun ini berbeda. Nadiar bahkan tidak terbayang jika memanah dan menembak adalah suatu bidang olahraga. Jadi, yang dilakukan Nadiar saat sampai di ruangan memanah adalah melongo, lalu menatap Alvis dengan mata membelalak kaget. "Bos ..."
Seperti biasa, Alvis hanya menoleh sekilas, lalu bertanya menggunakan kata, "Hm?"
"Olahraga Bos, memanah? Saya kirain golf."
"Bukan," jawab Alvis, tanpa menoleh pada Nadiar dan hanya menatap datar pada latihan memanah di depannya.
Nadiar mengerjapkan matanya, lalu menatap aneh pada Alvis. "Semenjak kapan memanah jadi bidang olahraga?"
Alvis kini menoleh pada Nadiar. "Kenapa kamu menatap saya aneh? Apa kamu tidak tau kalo atlet memanah ada?"
Nadiar mengerjap kembali, lalu membuka tutup mulutnya. "Tapi ..., tapi ..., apa olahraga memanah bikin orang keringetan?"
Alvis menggeleng. "Enggak."
"Trus, kenapa memanah masuk bidang olahraga?"
"Alasannya, sama seperti catur yang termasuk bidang olahraga."
Benar juga. Nadiar diam di tempat dengan mulut yang terkatup rapat dan mata memincing menatap pada latihan memanah di depannya. Tempat olahraga memanah ternyata sama saja seperti golf. Banyak orang yang berdiri dengan sekat yang menjadi tempat untuk pemanah berdiri di tempat latihannya masing-masing. Sekat itu tinggi dan mencapai atap tempat latihan tersebut. Mungkin, agar panah tidak nyasar ke tempat tetangga lewat atas.
Tempat olahraga menembak juga sama seperti olahraga memanah. Bedanya, jika olahraga memanah teradapat lingkaran kayu yang menempel di tembok, olahraga menembak memiliki orang-orangan yang terbuat dari kayu. Dan jika olahraga memanah tenang dan hening, olahraga menembak bising dengan suara DOR DAR yang kencang. Olahraga memanah juga tidak memerlukan kacamata, sedangkan penembak harus memakai kacamata dan headset di telinga.
Tak lama, 2 orang menghampiri Alvis dan Nadiar. Satu orang diantara kedua orang itu mengobrol dengan Alvis, lalu mereka kembali berjalan ke arah pintu yang terdapat di ujung tempat latihan itu. Saat pintu tersebut terbuka, Nadiar kira, ia akan mendapati sebuah ruangan lain. Tapi ternyata, hanya sebuah lapangan luas yang terdapat 1 lingkaran kayu yang berdiri dengan bantuan kayu lain yang menancap di lapangan berumput tersebut.
Nadiar menoleh ke kanan kirinya, dan tak dapat menemukan hal apapun selain satu lingkaran tersebut. Nadiar lalu menatap Alvis, yang ternyata sudah membuka jasnya dan hanya menggunakan kemeja warna putih. Nadiar menahan napas saat Alvis melipat lengan kemejanya. Alvis terlihat sangat keren. Sekali lagi, Nadiar berdoa agar Alvis memiliki satu kejelekan dalam dirinya agar Nadiar bisa sedikitnya bernapas saat Alvis melakukan hal-hal tak biasa di hadapan Nadiar.
Alvis hanya menatap tanpa ekpresi pada Nadiar. "Kamu jangan kemana-mana. Saya olahraga dulu."
Nadiar hanya menelan ludahnya susah payah, lalu mengangguk kaku.
***
Alvis menutup matanya rapat, lalu memfokuskan pikirannya pada angin yang menerpa dirinya dan menerbangkan rambutnya dengan gerakan pelan. Membuka matanya, Alvis lalu menatap pada pemilik tempat latihan ini yang memegang alat pengukur angin. Mata Alvis memincing, dan otaknya berpikir sejenak. "Arah kiri. Satu koma Tiga."
Jhon, namanya. Pemilik tempat latihan itu mengangguk, lalu tersenyum saat Alvis berhasil menebak arah dan ukuran angin di sekitarnya. "Benar."
Alvis menghela napas panjang, lalu mengangkat busur panahnya. Jari telunjuk dan jari tengahnya menjepit ekor anak panah dan menariknya, membuat karet busur tersebut ikut tertarik. Mata Alvis memincing, menatap tajam pada lingkaran merah yang terdapat di depannya. Alvis sedikit menggeser panahnya, sedikit mengarahkan anak panah tersebut pada garis lingkaran biru yang berada di kanan.
Saat Alvis melepas anak panahnya, anak panah tersebut meluncur bebas dan mengenai tepat pada lingkaran warna merah yang berada tepat di tengah.
Suara pekikan takjub Nadiar terdengar, lalu disusul kalimat pujian Nadiar, "Gila, kece banget." yang terdengar pelan. Nyaris seperti bisikan.
Alvis menghela napas panjang, lalu menoleh pada Nadiar. "Kamu mau coba?"
Nadiar mengedipkan matanya dengan cepat. "Eh? Emang boleh?"
Alvis mengangguk, lalu menyuruh Nadiar menghampirinya.
Nadiar lalu berdiri sambil menatap lekat pada busur dan anak panah tersebut. Tangannya lalu terulur, dan memegang panah tersebut dengan kaku.
Alvis nyaris tersenyum karena ulah Nadiar. Tangan Alvis lalu terulur untuk membantu Nadiar. Dengan sengaja, Alvis menyentuh tangan Nadiar yang memegang gagang busur. Lalu, Alvis membenarkan letak genggaman Nadiar dan tetap membiarkan genggaman tangan Alvis yang menggengam tangan Nadiar.
Nadiar terlihat menegang, dan matanya setengah terbelalak. Alvis tersenyum tipis melihat bagaimana rona merah muncul perlahan di pipi Nadiar.
"Kamu harus memegangnya seperti ini," Alvis berucap santai. Tangannya yang lain mengambil anak panah, lalu memberikannya pada tangan Nadiar yang bebas. Saat tangan Nadiar memegang anah panah tersebut, Alvis dengan sengaja kembali menyentuh tangan Nadiar dan membenarkan letak jari-jari Nadiar di ekor anak panah. "Kamu harus memegangnya seperti ini, lalu begini ..." Alvis kembali mengarahkan, lalu menyimpan anak panah tersebut di karet busur.
Nadiar terlihat makin menegang dan hanya dapat diam saat Alvis seperti memeluk tubuhnya dari belakang.
Alvis tersenyum miring. Ini seperti aksi balas dendam Alvis pada Nadiar. Jika tadi pagi Nadiar yang membuat Alvis menegang dengan pelukannya, kini Alvis yang melakukan hal tersebut pada Nadiar. Lalu, dengan sengaja lagi, Alvis sedikit membungkuk dan menyimpan kepalanya dekat dengan kepala Nadiar. "Mata kamu, harus fokus menatap pada lingkaran merah."
Napas Nadiar terdengar tersenggal sejenak, sebelum Nadiar menahan napasnya dan hanya diam di tempat. Ada kepuasan tersendiri dalam diri Alvis saat Nadiar bungkam karenanya.
Alvis lalu menggeser tangan Nadiar, membuat tubuh belakang Nadiar makin menggeser ke arahnya. "Kamu harusnya memegang busur seperti ini, lalu menarik ekor anak panahnya," jelas Alvis, lalu kembali dengan sengaja makin menggenggam tangan Nadiar dan menarik ekor anak panah sambil menggenggam tangan Nadiar. "Kalau sudah seperti ini, tinggal lepas," Alvis kembali menjelaskan, lalu melepaskan genggamannya, dan berganti mencekal pergelangan tangan Nadiar. "Lepas sekarang."
Anak panah pun melesat, dan sedikit bergeser, hingga menyentuh lingkaran warna kuning. Namun ternyata, bukan kekecewaan yang terlihat di wajah Nadiar. Senyum bangga tercetak, lalu kepala Nadiar tertoleh pada Alvis.
Entah siapa yang salah di sini. Alvis yang malah terpesona pada mata Nadiar, atau Nadiar yang hanya menatap Alvis dengan terpaku. Keduanya diam. Dan Alvis tersesat di kedalaman mata Nadiar yang jernih. Wajah mereka terlalu dekat. Dan Alvis pernah berada di situasi sekarang ini. Namun, kali ini beda. Alvis benar-benar tidak bisa mengontrol dirinya. Dia benar-benar tersesat pada manik mata Nadiar. Terkurung, dan tertahan di sana. Benar-benar membuat Alvis tenang. Melupakan tentang segalanya. Bahkan, melupakan siapa dirinya.
Suara dehaman terdengar, namun tidak juga membuat keduanya mengalihkan pandangan mereka. Lalu tawa sinis terdengar. Disusul dengan kalimat, "Ternyata, kelakuan kamu di belakang aku, begini ya?"
Kalimat itu berhasil membuat Nadiar menoleh, lalu tersentak kaget. "Calvin ..."
Tau kan Calvin siapa? Liat castnya deh
KAMU SEDANG MEMBACA
Handsome CEO [Repost]
ChickLit[Cold Devil Series] #3 dalam chiklit, sabtu, 7 & 17 April 2018 [CERITA MASIH LENGKAP DAN DI HAPUS SEBAGIAN BESOK] "Bos ih! Kalo saya ntar bilang sorry, gimana?" "Hm." "Kalo saya bilang thank's, responnya gimana?" "Hm." "Kalo please atau help me?" "H...