Alvis duduk sambil menatap kosong pada pintu UGD yang baru saja membawa Nadiar masuk ke dalamnya. Air mata Alvis terus berjatuhan, tidak peduli jika saat ini orang-orang menatapnya aneh karena Alvis tidak memakai atasan dan hanya memakai celana jeans yang longgar dan memperlihatkan boxer Calvin Klein miliknya. Terserah orang lain akan menilainya apa. Alvis tidak ingin meninggalkan tempat itu jika belum ada kepastian dari dokter.
Ada orang yang amat ia cintai yang sedang memperjuangkan nyawanya disana.
Bukan menjadi masalah jika ia dianggap gila oleh orang lain. Yang terpenting, Alvis dapat melihat perempuan itu kembali membuka matanya.
"Vis!"
Panggilan itu tidak juga membuat Alvis bergerak di tempatnya. Tidak menoleh, atau bahkan sekedar memutar bola matanya untuk melihat siapa yang datang. Orang yang memanggilnya barusan bahkan sudah langsung ada di hadapannya dan memegang bahu Alvis.
"Vis! Sadar!"
Alvis masih bergeming. Namun matanya menatap Devan, dengan air mata yang terus saja meluncur dari matanya. Alvis tidak peduli jika saat ini, Devan mengetahui jika Alvis sedang hancur-hancurnya. "Gue ..., liat sendiri ..., waktu Nadiar—" Alvis tidak dapat melanjutkan ucapannya lagi. Ia menunduk, menatap tangannya yang kini terdapat darah mengering di sana. Alis Alvis mengerenyit dalam, dan air matanya makin cepat turun dengan deras. Alvis menutup wajahnya dengan kedua tangan, meraung di sana dengan bahunya yang naik turun.
Devan menepuk bahu Alvis, memberi kekuatan pada sang sahabat. Ia melepaskan jaketnya, lalu menyimpannya di pangkuan Alvis. "Pake. Lo keliatan kayak orang gila, tau nggak?"
Alvis menurut. Ia masih terisak saat memakai jaket Devan dan meresletingkannya. "Dizi mana?" tanyanya serak.
"Dia lagi nunggu keluarganya Nadiar di luar," jawab Devan sambil duduk di samping Alvis.
Alvis menganggukan kepalanya. Ia menyandarkan punggungnya di tembok, lalu menghela napas panjang. Alvis menatap pintu UGD itu dengan pandangan yang sama seperti barusan. Kosong. Semuanya ..., terlalu jelas dan nyata untuk ditinggalkan dalam memori Alvis.
"Gue denger dari anak buah lo ...," Devan kembali membuka suaranya. Memberi jeda, seolah memilah kata untuk ia berikan pada Alvis. "... lo bunuh orang mabuk itu sama tangan lo sendiri."
"Hm." jawab Alvis seadanya.
"Lo gak takut di penjara?"
Alvis menggelengkan kepalanya. "Nggak."
"Yaiyalah. Hukum, kan, kebal sama orang kaya kayak lo."
"Hm."
"Lo sehari dapet berapa, Vis?"
"Gak tau."
"Masa, sih? Gue denger, sejam aja lo udah dapet Lima ratus juta—"
"Dave."
"Eh? Ya?"
Alvis menelan ludahnya. Ia menghela napas panjang, dan memejamkan matanya rapat-rapat. Saat matanya terbuka, air bening itu kembali meluncur bebas menuruni pipinya. "Gue nyesel jadi penjahat, Dave," ucapnya sambil terisak. "Gue nyesel ..."
Devan diam. Tidak merespon ataupun bergerak sama sekali.
Alvis terus menangis, bahkan tersedak tangisnya sendiri saat ia mengusap wajahnya dengan kasar. "Ini karma buat gue. Gue yang jahat. Gue yang bikin orang lain menderita. Dan sekarang, lo liat apa yang terjadi? Gue yang jahat dapet balasannya. Lewat orang yang gue cintai, gue ngerasain apa itu artinya menderita. Gue nyesel jadi jahat, Dave. Gue nyesel bunuh orang lain dengan gampangnya. Lewat orang yang gue cintai, gue ngebayangin gimana rasanya lo berpikir orang yang lo cintai tiba-tiba pergi selamanya. Gue nyesel, Dave. Nadiar menderita karena gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Handsome CEO [Repost]
Literatura Feminina[Cold Devil Series] #3 dalam chiklit, sabtu, 7 & 17 April 2018 [CERITA MASIH LENGKAP DAN DI HAPUS SEBAGIAN BESOK] "Bos ih! Kalo saya ntar bilang sorry, gimana?" "Hm." "Kalo saya bilang thank's, responnya gimana?" "Hm." "Kalo please atau help me?" "H...