fourty nine; the feeling

16K 1K 13
                                    

No edit.

"Nadiar! Nadiar!"

Langkah terburu Nadiar yang akan kembali ke kantornya terhenti. Nadiar sedang dalam perjalanan keluar dari dalam kantin saat dari arah kanannya ada seseorang yang memanggil Nadiar. Sambil mengerjapkan matanya perlahan, Nadiar berbalik untuk menghadap lelaki berjas dengan kacamata yang bertengger di hidungnya itu. Laki-laki itu terlihat kesusahan berjalan dengan bertumpuk berkas yang ia bawa. Dengan alisnya yang mengernyit heran, Nadiar bertanya, "Ada apa, ya?"

Sebuah senyum lega terukir di wajah lelaki itu. "Ini. Pak Wakil Presdir nyuruh saya ngasih ini ke kamu."

"Hah?" Nadiar masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi saat ini. Lebih tepatnya, apa inti dari pembicaraan lelaki asing ini kepada Nadiar.

Lelaki itu malah tersenyum kaku. "Saya sekertarisnya Wakil Presdir. Dan ini," ucapnya sambil sedikit mengangkat tumpukan berkas di tangannya. "Tentang berkas-berkas produk terbaru yang para dewan direksi pilih dan akan di rapatkan nanti pada Pak Alvis. Ini karna Pak Alvis yang selalu membolos kerja, tugasnya jadi menumpuk."

Alis Nadiar makin berkerut dalam. "Ya ..., dan maksudnya?"

"Saya ingin menitip ini," ucap sekertaris Wakil Presdir itu dengan wajahnya yang tersenyum cerah. "Ruangan kamu dengan Pak CEO kan berdekatan."

Lebih tepatnya, kantor Nadiar bersatu dengan kantor Alvis. Ah, Nadiar tidak menyangka jika bolosnya Alvis selama 2 hari bisa membuat berkas menumpuk sebanyak ini. Sambil menghela napasnya, kepala Nadiar mengangguk pelan. "Oke."

Senyum lelaki itu melebar. "Makasih, ya!"

Nadiar menganggukan kepalanya 2 kali dengan tangan yang terulur untuk mengambil berkas-berkas tersebut. Sekertaris Wakil Presdir itu memberikan tumpukan berkas tersebut dengan senang hati. "WOAH!" seru Nadiar saat merasakan tarikan kuat dari tumpukan berkas tersebut yang beratnya naudzubillah. "Gila! Berat banget!"

Lelaki itu malah cengengesan. "Hehehe, berat, ya?" dan tanpa ada niat membantu, setelah mengatakan hal tersebut, laki-laki itu malah berlari sambil melabaikan tangannya. "Duluan, ya!"

Sambil mendengus keras dan mendelik sebal, Nadiar melangkah dengan jalannya yang agak membungkuk. Nadiar mencoba tetap mempertahankan posisi tumpukan berkas tersebut agar tetap berada dalam pelukannya dan tidak jatuh. Sambil berjalan kesusahan, pikiran Nadiar berkeliaran ke mana-mana. Pada Alvis, dan segala yang Alvis katakan padanya. Tentang masalah yang mungkin Alvis punya, dan berhubungan dengan hubungan antara keduanya. Nadiar menghela napas, lalu memanyunkan bibirnya. Duh, Nadiar kini merasa tidak mengerti dirinya sendiri. Dirinya yang sekarang, terlalu asing dan seolah bukan Nadiar.

Mana Nadiar yang playgirl dan selalu bermanjaan pada siapapun?

Hah, yang ada, Nadiar selalu menolak ajakan Adrian untuk di jemput dan mengajak makan malam dengannya. Nadiar selalu beralasan sibuk atau kecapekan sehabis bekerja.

Sangat bukan Nadiar, kan?

Nadiar menghela napas panjang lagi. Ini benar-benar rumit bagi Nadiar. Benar kata Alvis. Nadiar ini ternyata sebenarnya lemot. Dan Nadiar baru tahu hal itu.

"NADIAR!!"

Nadiar berjengit, dan hampir saja menjatuhkan tumpukan berkas tersebut saat teriakan menggelegar itu memenuhi sekitarnya. Dengan napasnya yang agak tersendat, Nadiar menoleh ke belakang dan mendapati Alvis yang berjalan cepat ke arahnya. Wajah Alvis bukan seperti wajah Alvis biasanya. Entah penglihatan Nadiar yang salah, atau wajah Alvis memang terlihat marah dan khawatir? Ya, matanya yang memincing tajam dan rahangnya yang mengeras. Bukankah itu terlihat seperti orang marah? Dan ..., apa salah Nadiar sampai Nadiar di teriaki?

Handsome CEO [Repost]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang