Air mata Nadiar terus turun. Sedangkan kaki Nadiar terus melangkah dengan cepat, menjauh dari gedung apartemen dimana Alvis tinggal. Tidak ada taksi yang melewat, dan Nadiar merutuki dirinya yang menolak tawaran Alden untuk pergi bersama lelaki itu. Nadiar terlalu marah, dan tidak menginginkan komentar dari siapapun atau provokasi dari siapapun. Nadiar tahu, jika ia pergi bersama Alden, abangnya itu pasti akan mengatakan hal yang menurutnya benar.
"Sialan, berhenti nangis!" ucap Nadiar sesegukan sambil terus mengusap kasar pipi dan matanya. Untung saja, jalanan malam itu sepi dan Nadiar tidak akan malu untuk meneruskan tangisannya. Nadiar menghentikan langkahnya, lalu merogoh saku celana dan tasnya, mencari benda pipih pemberian Alvis dulu. Tidak mendapatkannya, Nadiar mendesah. "Sialan! Gue lupa bawa hape."
Nadiar menunduk. Ia membiarkan air matanya terus turun dan membiarkan bahunya terus bergetar hebat saat ia menangis. Nadiar kemudian kembali melangkahkan kakinya. Berjalan tak tentu arah karena tak tahu jalan pulang tanpa taksi ataupun jemputan yang menjemputnya.
Kesialan berlipat-lipat!
Nadiar ingin beristirahat. Ia terus berjalan dengan kaki yang di seret, dan tangis yang makin menjadi.
"Cantik, temenin abang, dong."
Nadiar tidak mempedulikan perkataan beberapa pemuda yang berada di depannya. Ia terus melanjutkan langkahnya, melewati sekawanan lelaki yang terus saja menjadikan Nadiar bahan lelucon mereka. Mungkin, karena mereka melihat wajah menangis Nadiar, mereka berhenti menjadikan Nadiar bahan tertawaan mereka, dan saling sikut sambil menundukan kepalanya.
"Kasian, bro."
"Lo, sih, bego!"
"Dih? Napa lu nyalahin gue?"
"Elu, tuh, yang duluan!"
"Elo!"
Nadiar mendesis. Ia menghentakan sebelah kakinya, kemudian berlari dengan tangis yang menyertai langkahnya. Nadiar benci menjadi bahan pembicaraan tentang kelemahannya, seperti dulu. Tangis Nadiar mengencang, dan Nadiar berlarian ke arah gang sempit yang bahkan tidak Nadiar ketahui berada di mana dirinya.
Ia terus berlari, dan berhenti saat kehabisan napasnya. Nadiar berjongkok, lalu mengencangkan tangisannya. Tangan Nadiar yang terkepal, memukul-mukul dada bagian kirinya guna menghilangkan rasa sesak yang bersarang di dadanya. Terasa di remas, dan sakit bahkan sebelum Nadiar berlari. Alvis sialan. Mengapa pengaruh Alvis pada Nadiar bisa sedemikian rupa?
Nadiar tersendu di sana sambil mencengkram dadanya dengan kepala tertunduk.
"Hai, manis."
Napas Nadiar terengah. Ia perlahan mengangkat kepalanya, menatap siluet seseorang yang berdiri menjulang dan tidak seimbang di hadapannya. Bau alkohol menguar dari tubuh pria itu, membuat Nadiar memundurkan tubuhnya yang langsung terduduk di tanah.
Mata Nadiar menatap liar pada siapapun pria yang berdiri dengan keadaan mabuk di depannya. Mempunyai firasat buruk, Nadiar merangkak mundur menjauhi pria mabuk itu. Baru saja Nadiar berniat untuk pergi menjauh, rambutnya terasa di tarik, membuat tubuhnya terseret mengikuti tarikan di rambutnya. "AAAHHH!! LEPAS!!" teriak Nadiar sekuat tenaga, berharap siapapun mendengarnya. Tangan Nadiar terangkat dan terus terulur pada pria yang menarik rambutnya sekuat tenaga itu.
"BERISIK!" orang yang menarik rambut Nadiar memukul kepala Nadiar berkali-kali. Memukul dengan kepalan tangannya, seolah ingin memberikan memar di pelipis kecil Nadiar.
Nadiar menangis kencang saat dirinya di lempar ke sudut gang, dan pria itu menatapnya dengan lapar dan penuh minat. Bibir pria itu menggunjingkan senyum bengis, membuat Nadiar terus memundurkan tubuhnya ketakutan. "TOLONG!! SIAPAPUN, TOLONG!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Handsome CEO [Repost]
ChickLit[Cold Devil Series] #3 dalam chiklit, sabtu, 7 & 17 April 2018 [CERITA MASIH LENGKAP DAN DI HAPUS SEBAGIAN BESOK] "Bos ih! Kalo saya ntar bilang sorry, gimana?" "Hm." "Kalo saya bilang thank's, responnya gimana?" "Hm." "Kalo please atau help me?" "H...