Volume 12 - SOS

2.9K 369 42
                                    

Author's side

Irene menatap pantulan wajahnya di cermin yang berada di dalam kamar mandi flat-nya sembari meringis pelan. Ia menekan bagian bawah matanya yang sembab dan agak menghitam. Gadis itu kembali meringis, meratapi penampilannya yang benar-benar mengerikan. Sebelumnya gadis itu sudah membasuh wajahnya dengan air dan ia kembali melakukan hal itu sekarang. Berulang-ulang, berharap cipratan air bisa mengurangi bengkak pada matanya. Namun hasilnya nihil, matanya masih saja terlihat menakutkan.

Ya, lagipula mata siapa yang tidak akan membengkak jika terus menangis selama dua hari? Ditambah tidak tidur dan tidak makan. Sepaket lengkap khusus untuk orang-orang yang baru saja patah hati.

Setelah puas bermain-main dengan air tanpa berniat mandi, Irene meraih handuk yang menggantung di gantungan yang berada di salah satu bagian dinding di kamar mandi. Mengelap wajahnya dengan kasar dengan singkat lalu melempar handuk itu begitu saja saat menyadari handuk milik siapa yang baru saja ia kenakan untuk mengusap wajahnya.

Irene keluar dari kamar mandi dengan cepat, ia kemudian menghempaskan tubuhnya ke kasur kemudian air matanya merembes kembali. Inilah yang membuatnya tak ingin beranjak dari kasur miliknya yang masih mengenakan sprei yang sama selama berminggu-minggu ini. Setiap sudut dan inci flat ini selalu mengingatkannya pada sosok pria berkulit seputih susu dengan senyum memabukkan bernama Oh Sehun. Pria yang sudah merebut ciuman pertamanya kemudian meninggalkannya begitu saja.

Cukup!

Mengingatnya membuat dada Irene kembali terasa seakan dihimpit oleh dua benda berat yang menimbulkan rasa sesak sekaligus nyeri. Irene menenggelamkan wajahnya di bantal. Terisak tanpa suara menahan luka yang masih menganga karena tak ada yang bisa mengobatinya.

Dua hari Irene menikmati kesendiriannya di dalam luka dan kesedihan. Menyesali pertemuan serta perpisahannya dengan Sehun. Bolos sekolah, tak berniat untuk makan meski perutnya memberontak, bahkan gadis itu mengabaikan telepon dari Wendy sampai-sampai sahabatnya itu menggedor pintu flat-nya berulang kali. Meski begitu, ia tetap tak memiliki niatan untuk membuka pintu itu.

Rasanya Irene ingin selalu menutup matanya. Sebab, ia tak ingin melihat bayang-bayang Sehun tiap kali ia menelusuri flat-nya dengan pandangan kaburnya. Tak hanya itu, kehangatan bibir Sehun yang masih terasa di bibirnya begitu menyiksanya. Belum lagi rasa rindu aroma tubuh Sehun yang belakangan ini menjadi aroma kesukaannya membuatnya frustasi.

Namun apa daya. Irene harus bermain-main dengan perasaannya sendiri. Ia bahkan tak mengerti mengapa Sehun mencium bibirnya dengan lembut dan manis jika pria itu justru melangkah menjauhi dirinya. Meninggalkannya sendiri terbelenggu dalam rasa cinta bercampur sakit yang meluap-luap.

Irene menarik wajahnya menjauh dari bantal yang sudah basah. Benda itu belum kering tapi sudah dibasahi dengan air mata Irene lagi. Irene mengusap-usap pipinya kemudian meraih ponselnya yang berdering nyaring—memecah keheningan di flat minim cahaya itu—di atas nakas. Matanya sempat melebar kala membaca siapa gerangan yang menelponnya kali ini.

Ingin rasanya Irene mengabaikan panggilan itu, kemudian mencopot baterai ponselnya, namun ia tak ingin menjadi putri durhaka yang tega mengabaikan ibunya.

"Yeoboseyo, eomma?" Irene berusaha menutupi suara seraknya meski ia yakin ibunya pasti menyadari hal itu.

"Kau sakit?" Pertanyaan itu membuat Irene meringis tertahan, mengapa ibunya begitu peka?

"Ti—tidak, hanya saja aku sedang sariawan," jawab Irene berbohong, tentu saja.

"Oh, eomma kira kau kenapa-kenapa. Kau baik-baik saja 'kan disana, Rene-ah?" Suara lembut itu membuat perasaan Irene sedikit membaik. Ah, mendadak ia merindukan sosok ibunya.

L♡DK: Living With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang