Once Upon
Jeon Jung Kook mengambil napas dalam. Mengulas senyum kecut tatkala rombongan kilas balik kembali menerjang tanpa ampun. Ia menghembuskan napas kuat. Sangat disayangkan sekali momen itu tak bisa lagi ia jamah, ia rindu. Rindu saat di mana ia mulai mengisi kekosongan seorang wanita dengan segala pilu. Karenanya.
Jung Kook tersenyum tipis, amat tipis hingga tak terlihat di mana letak lengkung bibirnya. Ia menghembuskan napas, mengambil cangkir teh yang sudah tersaji hangat di atas meja. Bersama dengan kotak tisu dan juga vas bunga, bunga mawar berwarna jingga. Menyeruput teh dan meletakkannya kembali di atas meja. "Mengapa aku seperti orang bodoh jika mengingat kebodohanku dulu?" Ia kembali tersenyum lebar dan menunduk menyembunyikan senyum malu-malu.
Tengkuk di gosok lambat, ini lumayan lucu jika Jung Kook akan tersenyum layaknya orang gila. Ia masih menunggu, menunggu kehadiran orang kedua setelah dirinya untuk menempati kursi seberang. Sudah pukul empat lebih dua belas menit. Terlambat, pikir Jung Kook. Ia masih mengulas senyum.
Netra Jung Kook memanas. Melihat dengan jelas bagaimana sosok cantik itu begitu rapuh saat ini. Saat di mana ia sedang mabuk dan entah mengatakan apa saja, ia tidak sadar. Dan yang ia tahu, sangat sulit mengendalikan perasaan orang mabuk. Jung Kook tercekat.
"Kenapa?"
Jung Kook terkejut mendengar kata itu keluar, melihat tangan putih itu mengusap wajah basah dengan kasar. Menarik napas tatkala sesak kembali mendera. "Kenapa kau memintaku tetap tinggal padahal kau masih mencintainya? Dasar idiot! Bodoh! Dungu!" Teriak wanita itu lagi, yang Jung Kook lihat hanya perasaan tidak sanggup lagi menahan segala kepedihan. Jung Kook benar-benar mati rasa saat itu juga, seolah tak memiliki daya saat suara itu terus bergerilya di dalam otak. Terus memproduksi perasaan tidak mengenakkan yang amat sangat di dalam sana.
"Kau keterlaluam. Jangan selalu mengingatnya, aku merasa ikut sakit jika kau terus mengatakannya."
Jung Kook tergelak mendengar kalimat panjang itu menyeruak bersama lantunan musik melankolis yang di putar di cafe yang mereka kunjungi saat ini. Hembusan napas terasa belum cukup meredakan tawa yang kian membesar detik berikutnya. Jung Kook mengesap teh kedua, memalukan, datang ke cafe dan yang ia pesan hanya dua gelas teh manis hangat. Ia mulai canggung dengan keberadaan orang di dalam cafe yang melihatnya aneh. Seakan ia tak peduli.
"Tapi aku senang mengingatnya. Kau tahu?" Jung Kook berdehem membenarkan posisi duduk. Menatap pria di hadapan penuh keyakinan. Pria di hadapan menggeleng lemah, menatap Jung Kook sayu. "Dia sangat marah saat aku mengingatkannya tentang hal itu. Itu memalukan, katanya." Menggeleng pelan akibat kalimat yang ia lontarkan, Jung Kook masih setia mempertahankan senyum lebarnya.
"Bagaimana kabar putramu?" Jung Kook mengalihkan topik tiba-tiba. Mungkin akan sangat membosankan jika ia terus membahas hal tak penting di saat pertemuan kedua dalam seminggu. Lagipula, pria tak kalah keras kepala di hadapan cukup tegas dan tidak suka bergurau dengan orang sepertinya. Sepertinya? Mungkin jika dengan wanita yang di panggil Ibu oleh putrinya akan berbeda. Jung Kook merasa geli sendiri.
"Dia tumbuh sepertiku. Mungkin ini karma karena aku terlalu menentang Ayahku, dulu." Jung Kook kembali tertawa renyah disusul kekehan lembut dari pria bersuara husky di hadapan. Keduanya seperti pasangan, mengenyahkan tawa dan kembali menikmati minuman masing-masing. Mereka kembali terkekeh pelan membuat beberapa pengunjung cafe bergerak mengedarkan pandang ke arah mereka duduk.
"Jangan katakan pada putramu jika Na Jung terus mencari letak keberadaannya. Mereka belum pantas untuk saling mencintai, lagipula putriku lebih pantas jadi seorang Noona untuk putramu, 'kan?" Senyum sinis. Jung Kook memiringkan kepala, berusaha menangkap ekspresi marah dari pria kurus berwajah sedikit kotor itu. Ia mengendus setelah mendapati beberapa rambut mulai tumbuh. "Ck! Apa Jung So Ryung tidak pernah memperhatikanmu? Lihat wajahmu. Kau mulai terlihat tua." Beda. Tak ada lagi senyum atau tawa lembut. Jung Kook kesal mendapati wajah itu, seolah itu adalah refleksi darinya. "Kim Tae Hyung!"
***
Naomi Park menerawang kosong langit cerah diantara pepohonan yang mulai menumbuhkan daun baru. Menanti kehadiran orang lain di sisinya, Naomi mengulas senyum manis sambil menggigit bibir bawah. Ia telah menetapkan kuat beberapa keputusan baik untuk semuanya. Menghembuskan napas lega dan panjang setelah mendapati seorang wanita bergaun putih kapas berjalan mendekat.
"Maaf menunggu lama, Naomi?" Sedikit menekankan nama Naomi, wanita itu memiringkan kepala duduk di samping Naomi tanpa titah. Naomi tersenyum manis menjawab sapaan wanita berambut gelombang cokelat gelap di samping. "Jadi, ada masalah?"
Naomi menggeleng kecil. Meraih salah satu tangan wanita itu dan menariknya. "Maaf," Wanita itu tampak terkejut dan bingung harus bersikap bagaimana. "Aku sudah memutuskan. Aku melepasnya, tanpa harus menyakitiku. Ini keputusan terbaik, dia mencintaimu." Naomi menggenggam kuat tangan wanita di hadapan dengan harapan wanita itu percaya akan ucapannya. "Im Na Young. Kau yang lebih pantas untuknya. Aku hanya masa lalu." Naomi menyunggingkan senyum kecut bercanda dan membuat wanita di hadapan ikut mengulas senyum tipis.
~~
Im Na Young berkeringat, melepas celemek dari tubuh dan meletakkannya di dekat lemari pendingin. Hari ini begitu mengharukan. Berbagai rekaman film beberapa tahun silam terus berputar di dalam otak. Ia menghela lalu mengulas senyum manis menatap bingkai foto berukuran sedang di nakas dekat dapur. Dirinya, sang suami, Kim Tae Hyung, Jung So Ryung dan juga Naomi tampak bahagia di sana. Hatinya berdesir.
~~
"Jadi, kau akan ke Jepang?" Na Young gugup bukan main. Ia telah menghancurkan hidup seorang wanita dalam sekejap. Membakar habis cinta pria yang kini menjadi suaminya. Ia mengerutkan dahi, membalas remasan kuat tangan Naomi yang sedari tadi ia diamkan.
Ia mengumpat dalam hati. Tak kan rela jika semuanya berakhir menyedihkan seperti ini. Ia akan merasa sangat bersalah telah memisahkan Jeon Jung Kook dari Naomi. "Jangan, kumohon." Naomi mematri senyum indah menepuk punggung tangan Na Young, memastikan bahwa keputusan yang ia ambil tidak ada hubungannya dengan ini.
"Di sana ada restoran keluarga yang terbengkalai. Aku akan mengurusnya, tenang saja, aku akan berkunjung setiap kali aku merindukan kalian."
Rindu? Bodoh atau apa? Mereka bukan teman. Bahkan dibilang kenal saja, mereka tidak berkenalan secara garis besar kebanyakan beberapa orang yang akan menjadi teman. Ia mengutuk kalimat terakhir itu. "Itu aneh. Yang kau rindukan pasti hanya Jung Kook dan So Ryung." Naomi tergelak. Na Young merengut.
"Kita lihat saja nanti."
***
Enam tahun sudah, hubungan mereka membaik sering berjalannya waktu. Ditambah lagi dengan hubungan Im Na Young dan Naomi Park yang juga ikut membaik. Dalam berbagai acara, mereka berusaha meluangkan waktu sekedar untuk makan bersama dan membakar daging di luar. Sangat menyenangkan, terutama dengan kehadiran malaikat kecil di tengah menghangatnya hubungan mereka setelah masa lalu mulai disimpan apik. Yang ada hanyalah saat ini, dan juga..
Menit-menit berikutnya, -----
fin
Hanya Chapter tambahan yang sengaja aku kasih buat jelasin masa depan serta masa lalu mereka dalam satu side. Ini timing-nya maju mundur loh ya, jadi aku harap kalian gak bingung. ^^ makasih banyak buat yang udah ngikutin sampai sejauh ini, aku senang banget 😙
KAMU SEDANG MEMBACA
Justice - Jeon Jung Kook [COMPLETE]
Fanfiction[REVISI] Kecelakaan yang membuat dua orang saling mengikat janji suci dan menebus dosa akibat perbuatan mereka. Namun, cinta terkadang tumbuh begitu saja tanpa mengenal waktu, usia, dan kondisi. Akankah mereka dapat menyatukan cinta mereka? Ide ceri...